Dengan berat hati Daren bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar mandi. Sedikit heran kenapa pintunya bisa bisa terbuka, padahal dia sendiri dari tadi malam tidak ada ke kamar mandi. Namun tidak ingin mengambil pusing, dia tetap berfikir untuk menutupnya.

"Bibi ke kamar mandi ini ya? Nggak mungkin deh. Soalnya di kamar pembantu udah langsung ada kamar mandinya."

Sebelum menutup pintu, Daren masuk ke dalam untuk memastikan apakah ada barang yang hilang. Ia tetap was-was walaupun di kamar mandi hanya ada sabun dan peralatan mandi lainnya, tidak ada satupun barang berharga.

"Sabun mandi kodomo gue mana, ya?" Ia bertanya-tanya kala menjumpai sabun kesayangan miliknya tak ada di tempat. Biasanya setelah mandi selalu dia taruh di atas wastafel.

Daren mencari-cari, mengelilingi seluruh ruangan kamar mandi. Saat dia berhenti di titik semula, Daren berinisiatif untuk membungkukkan badannya, melihat ke bawah wastafel, satu-satunya tempat yang bekum ia kunjungi.

"Di sini kamu!" Daren bersorak gembira, mengangkat botol kodomo ke udara. Namun ada sesuatu yang membuat senyuman Daren memudar. Dia melihat ada sobekan kertas kecil yang menempel di luar botol sabun-nya. Dengan dipenuhi rasa penasaran, matanya menyusuri baris-baris kalimat.

"Tidak bijaksana bermain api jika anda tidak dapat menahan panasnya."  Mulut Daren terbuka membaca tulisannya.

"Siapa sih yang nulis? Ngeselin banget!" Kesal Daren lalu menyimpan ke saku celana. "Gue harus ngasih tau Alvaro sama Seno," Daren keluar dari kamar mandi, tak lupa menutupnya kembali agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

••••

"Mau ngomong apa? Ganggu hari libur aja," Alvaro berdecik kesal.

"Dengerin dulu apa yang mau diomongin sama Daren. Kebiasaan banget nyolot gitu." ucap Seno sambil meraup wajah sahabat tertua-nya itu.

"Lancang."

"sshhtt, diam! Gue mau ngasih tau ini ke kalian." Daren mengeluarkan secarik kertas yang ia temui di kamar mandi tadi dan menunjukannya pada Seno serta Alvaro.

Mereka berdua langsung membaca tulisan tersebut. "R-ren..." Gugup Seno, "siapa yang nulis ini?"

"Ya itu! Gue juga nggak tau!" Daren mengacak rambutnya.

"Ini nggak mungkin ulah Kenzie, kan? Orang dia di penjara, kok," Alvaro berdeham, membuang muka dari teman-temannya.

Melihat tingkah laku aneh yang ditunjukkan oleh Alvaro, Seno menepuk pundak sahabatnya.

"Lo kenapa?"

"Eh? Nggak apa-apa." ucap Alvaro lalu tersenyum, menyembunyikan rasa takut di wajahnya.

Mereka bertiga terdiam di taman itu, tak ada yang berbicara. Hanya ada suara kendaraan yang lalu-lalang di jalan raya.

"Sekarang kita harus gimana? Kenzie udah di tahan, tapi teror-nya masih berlanjut." Seno menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Dia menutup mata.

"Kai! Gue yakin ini ada hubungannya sama Kai." Alvaro antusias.

"Kenapa lo bisa mikir sampai ke situ? Gue lihat-lihat Kai tuh orang baik, loh." Seno membuka mata, tapi matanya kembali menyipit kala mendapati sinar matahari yang sudah tepat berada di atas kepalanya.

"Kenzie cerita ke gue kalau Kai itu dibedakan sama Narel."

"Dibedakan gimana?" Raut wajah Daren menjadi bingung.

"Kai dituntut harus selalu bisa sampai-sampai dia harus mengenyam pendidikan di luar negeri. Beda sama Narel yang dibebaskan sama orangtuanya." jawab Alvaro seadaanya.

"Jadi, menurut lo, Kai balas dendam?" Seno bertanya, suaranya pelan agar tidak terdengar orang sekitar.

"Iya! Bisa dibilang gitu."

"Gue masih nggak yakin kalau Kai tega lakuin itu. Dari penampilannya, dia pria yang punya aura positif. Tapi kalaupun Kai dalang dari ini semua, apa motif lain selain 'balas dendam' ke Narel? Kenapa juga neror kita? Kan nggak masuk akal." Daren terus bersikeras untuk meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa Kai tidak terlibat dalam kasus ini.

"Buka pikiran lo. Kita udah lama menyelidiki kasus kematian ini, tapi sama sekali belum pernah ketemu satupun bukti. Dan kemarin pas Kai ikut bantu, kenapa tiba-tiba dia bisa dengan mudahnya ketemu bukti? Ini udah direncakan!" Alvaro berdiri dari duduknya, ia menatap Daren dengan mata elang.

"Akh! Gue pusing! Kepala gue sakit!" Daren meringis memegang kepalanya dengan kedua tangan.

"Kita pulang. Biar gue aja yang nyetir." Seno membantu Daren untuk berdiri, berjalan menuju mobil milik Daren.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Where stories live. Discover now