Prolog

9.7K 787 25
                                    

Mumpung ide ngalir, mari kita gassss!

.

.

Cakrawala menarik senyum tipis ketika seorang gadis membuka pintu kliniknya. Matanya yang nampak teduh dipadukan dengan adanya mole di bawah mata kiri Cakra membuat tatapan itu kian lembut dan menyejukkan.

"Selamat pagi, Elis," sapa Cakra. Suara cakra sangat halus dan tenang, seperti aliran mata air kecil. Setiap tutur katanya pun mampu membawa kedamaian bagi siapapun yang berbicara dengannya. Meski hal itu sepertinya tidak berpengaruh banyak pada gadis yang lebih muda ini.

"PAGI, KAK CAKRA! Wiihhh, Kak Cakra masih ganteng aja nih! Spil skincarenya dong, kakk~" seru gadis itu sambil dengan cepat duduk di hadapan Cakra. Keduanya hanya terpisah oleh meja putih.

Gadis yang tampak sangat bersemangat ini bernama Elisya Mellody, seorang mahasiswa semester awal sekaligus... klien Cakra.

Cakra diam sesaat dan tersenyum ketika mendengar suara bersemangat itu. Tidak, dibandingkan bersemangat, Cakra berpikir bahwa gadis itu sedikit tergesa-gesa untuk mengucapkan sesuatu. Ia juga menyadari bahwa basa-basi itu bukanlah tujuan utama gadis ini.

Tidak ingin kliennya berpikir macam-macam, Cakra pun membalas seruan Elis. Ia masih dengan senyum dan tatapan teduhnya.

"Saya hanya menggunakan skincare yang dibelikan oleh adik saya."

Elis menepuk tangannya dengan heboh.

"WOOOOWWW! Adiknya Kak Cakra hebat banget milih skincare! Mau dong temenan sama diaaa. Kapan-kapan kenalin ya, Kak!"

Dengan lembut, Cakra menjawab, "Iya, kalau ada kesempatan akan saya kenalkan."

"ASIIKKK!"

Cakra masih memerhatikan setiap tindakan yang dilakukan oleh kliennya. Dari suara, tempo, gerakan, bahkan perubahan posisi tubuh, Cakra memerhatikan semuanya.

"...Elis," panggil Cakra yang membuat wajah bersemangat Elis langsung tertoleh padanya.

Masih dengan suara lembutnya dan tatapan yang teduh, Cakra bertanya, "Bagaimana kabar hatimu hari ini?"

"..."

Mendengar pertanyaan itu, senyum yang selalu melekat di bibir Elis mendadak kaku. Manik karamelnya bergetar sesaat sebelum buliran air berlomba-lomba untuk turun dari pelupuk matanya.

Bibir peach gadis itu masih tertarik ke atas ketika ia menjawab dengan bisikan serak yang tertahan.

"Kayaknya... Nggak baik, kak... Hiks..."

Tatapan Cakra semakin teduh, senyuman tak pernah luntur dari wajahnya.

"Kamu selalu bisa menceritakan apapun pada saya, Elis."

Tak ada nada perintah. Tak ada pula kesan bingung. Yang dikatakan Cakra adalah sebuah pernyataan bahwa ia akan menjadi pendengar kisahnya jika Elis mau.

Setelah kata-kata itu terucap. Isak tangis yang pilu segera memenuhi ruangan itu. Klinik Cakra telah dipasangi alat kedap suara, jadi tak perlu khawatir kebisingan akan mengganggu orang-orang di luar klinik.

Elis menceritakan banyak hal disela-sela tangisnya. Gadis itu sama sekali tak berhenti menangis bahkan setelah satu jam berlalu. Hanya ketika ia menyadari bahwa durasi konselingnya habislah gadis itu baru berusaha untuk menghentikan tangisnya walaupun Cakra bisa melihat bahwa gadis itu masih sedikit sesenggukan.

Cakra's PoV

Elisya Mellody.

Gadis itu datang ke klinik sekitar dua minggu yang lalu. Dari luar ia memang tampak seperti gadis ceria dan bersemangat. Ia juga memiliki kepribadian yang penuh kasih sayang dan empati. Elis juga anak yang cerdas, dia bahkan menunjukkan banyak sertifikatnya padaku.

Namun anak seperti itu juga punya cerita sendiri.

Yah, tidak ada orang tanpa kisah masing-masing. Namun mereka yang datang ke seorang psikolog hanya berarti bahwa mereka tak lagi sanggup menangguk konflik kisahnya sendirian.

Elis misalnya...

Gadis itu berasal dari keluarga yang terpecah, atau tepatnya nyaris terpecah? Aku sendiri tidak tau bagaimana menyebutnya.

Ayah dan ibu Elis adalah seorang pengusaha. Keduanya dijodohkan dan akhirnya memiliki seorang anak, yaitu Elis. Namun kedua orang tua Elis itu... juga memiliki kekasihnya masing-masing. Bahkan mereka telah membangun keluarganya sendiri. Keduanya tidak bercerai, hanya saja ya... begitu...

Orang tua Elis tidak memberikan kasih sayang pada Elis selayaknya anak-anak pada umumnya. Mereka sibuk dengan keluarga masing-masing dan meninggalkan Elis sendirian di mansion terpisah dengan satu orang yang ditugaskan sebagai pengasuhnya.

Gadis itu tak pernah menerima perhatian orang tuanya sejak kecil. Bahkan mereka sering mengungkapkan rasa jijik mereka pada Elis dan menyuruhnya menjauh.

Karena ia tak bisa mendapatkan pengakuan orang tuanya, jadi ia menginginkan pengakuan dari orang lain. Dan bukankah orang selalu menyukai mereka yang ramah? Itulah mengapa Elis selalu tampak ceria dan bersemangat di depan orang lain.

Tapi ada satu masalah...

Ketika menginjak remaja, wajar bagi mereka untuk mulai tertarik dengan lawan jenis. Namun Elis ini... dia bukan hanya tertarik, namun terlalu bergantung.

Elis sangat mempercayai siapapun yang memberikan bahkan sedikit saja perhatian padanya. Jika wanita, Elis akan menjadikannya sabahat. Jika pria, Elis akan menjadikannya kekasih.

Ia akan mematuhi dan memberikan semua yang ia miliki pada orang-orang itu tanpa pikir panjang. Elis bahkan tidak segan-segan menghabiskan hartanya, termasuk... tubuhnya. Semua akan ia lakukan agar orang-orang itu tidak meninggalkannya.

Sebersar itulah rasa ketergantungan Elis.

Fakta bahwa ia menemuiku adalah bukti bahwa ia menyadari kesalahan pola pikirnya dan adanya niat untuk berubah.

"Hmm... Kali ini masih belum ada perkembangan. Jika minggu depan masih sama, sepertinya kita harus mengubah pola terapinya."

Aku menutup dokumen tentang Elis dan memasukkannya ke dalam lemari khusus dengan dokumen klien lainnya.

Krtk-

Hm? Suara apa itu?

"Ayo rapikan dokumennya dulu." Dokumen para klien itu sudah kuanggap seperti nyawaku sendiri.

Ngomong-ngomong, aku mencium sesuatu yang hangus- ?!

BOOOOMMMM!!!

.

.

-TBC-

Vote and comment, please!


Putra Bajingan Duke Adalah Seorang PsikologWhere stories live. Discover now