Mengetahui adiknya mendapat kekerasan verbal dari ibu mertua, juga kasus perselingkuhan yang dialami kakaknya, membuat Fyan yakin tidak menikah seumur hidup adalah keputusan yang tepat. Hanya saja, ia malah terjebak dalam perasaan baru pada seorang...
Fyan menyimak sembari mengunyah sisa mi ayamnya. Entah kenapa kalau Rianti sedang bercerita benar-benar terlihat menarik. Gerakan bibir dan mata mewakili setiap kata yang terlontar, dan selalu diakhiri dengan senyum. Itu membuktikan bahwa Rianti senang dengan obrolan ini.
"Boruto bukan anak yang kurang ajar sama orang tua, kok. Dia, kan, cucu salah satu klan terbesar di Konoha, udah pasti diajarin unggah-ungguhsama ibunya. Coba perhatikan lagi gimana dia memandang ibunya, berinteraksi dengan teman-temannya, hubungan dengan adiknya, di situ ditunjukkan bahwa Hinata berhasil mendidik Boruto," lanjut Rianti.
"Saya pernah lihat di salah satu episode Boruto itu dapet nilai sempurna padahal di kelas dia nggak pernah perhatiin guru, dan di situ banyak orang yang bilang anime Boruto nggak kerasa perjuangannya. Menurut kamu gimana?" tanya Fyan.
"Menurut saya wajar sekali kalau Boruto pintar. Ayahnya memang nggak bisa paham teori, tapi saat praktek bahkan di medan perang jangan diragukan lagi skill-nya. Sedangkan ibunya itu pintar tapi nggak percaya diri. Apalagi Hinata tidak menjadi ninja lagi setelah punya anak. Dia benar-benar di rumah jadi ibu rumah tangga. Artinya dia punya banyak waktu buat memperhatikan anak-anaknya, Boruto tumbuh dengan layak. Beda dengan Naruto kecil, orang tua nggak ada, jadi nggak ada yang perhatiin dia, bahkan pernah minum susu basi. Terus yang katanya di era Boruto nggak kerasa perjuangannya, menurut saya kurang tepat. Kita di jaman sekarang tetap berjuang, tapi bedanya aksesnya jauh lebih mudah. Mau era dulu dan sekarang, semuanya punya sisi perjuangan masing-masing."
Saking fokusnya mendengarkan, Fyan sampai tidak sadar mangkuknya sudah kosong. Minumannya juga tandas. Rianti benar-benar teman ngobrol yang asyik. Perempuan itu selalu menemukan pelajaran dari apa yang dilihat. Tidak fokus pada satu sisi saja.
Obrolan ini rupanya sepertinya juga berhasil mengubah suasana hati Rianti. Sejak tadi Fyan tidak melihat wajah mendungnya lagi, padahal entah kenapa ia merasa kakak perempuan itu tidak sekadar bertanya kabar. Entah apa dasarnya Fyan bisa kepikiran sampai sana, padahal dirinya tidak kenal dengan keluarga Rianti. Fyan penasaran apa memang secepat itu Rianti melupakan masalahnya?
"Rianti, saya mau tanya lagi, tapi kalau terlalu pribadi kamu boleh nggak menjawabnya."
Rianti berhenti menyendok mi ayamnya dan beralih menatap Fyan. "Mau tanya apa emangnya?"
Terbersit keraguan saat akan mengajukan pertanyaan ini. Namun, rasa penasarannya jauh lebih besar. Fyan mengembuskan napas. "Kamu udah punya pacar?"
"Eh?" Mata Rianti melebar. Terkejut. "Belum."
"Sebelumnya kamu pernah pacaran?"
"Pernah dua kali waktu SMA, tapi dua-duanya ketahuan papa, akhirnya disuruh putus."
Fyan menelan ludah. Antonio ternyata sangat memproteksi anaknya. "Kalau sekarang suka sama seseorang, ada?"
Detik berikutnya, Fyan mendengar suara batuk-batuk berasal dari Rianti yang memang sedang minum. Perasaan tidak enak muncul. Kenapa tiba-tiba Fyan menanyakan itu? Padahal bukan itu yang sejak tadi dipikirkan.
"Bukan apa-apa," jawab Fyan sedikit tergagap. "Saya tadi bukan mau tanya itu. Maaf kalo kamu nggak nyaman."
"Oh, nggak, kok. Berarti Mas mau tanya apa?"
"Kamu punya ketakutan nggak?"
Rianti mengernyit. "Ketakutan dalam hal apa?"
"Segalanya. Kayak---maaf---orang tua kamu, kan, berpisah, kamu punya ketakutan untuk menjalin hubungan dengan laki-laki mungkin."
"Buat apa saya takut? Itu, kan, masalah orang tua saya. Apa yang terjadi pada mereka tidak ada hubungannya dengan saya. Jadi, kenapa saya harus takut?"
Hening. Segala rangkaian kalimat di dalam kepala Fyan mendadak hilang.
"Saya memang sakit hati, nggak terima dengan keputusan mereka, tapi bukan berarti saya harus stuck di situ aja. Saya masih diberi umur panjang. Kalau saya tetap di lingkaran itu, apa bedanya dengan mereka? Kalau di dalam keluarga saya nggak bahagia, maka saya akan pastikan untuk menciptakan keluarga yang bahagia buat anak saya."
Fyan mengerjap beberapa kali. Untuk kesekian kalinya, ia salah menilai Rianti. Jika dibandingkan dengan dirinya, perjalanan hidup Rianti sangat berat. "Apa yang bikin kamu kuat?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Fyan. Sungguh jika dirinya yang jadi Rianti, tidak mungkin bisa berdiri setegar itu.
"Saya masih punya Allah. Saya percaya segala yang terjadi di dunia ini atas izin Allah. Manusia itu dinamis, bukan statis. Saya nggak mungkin berharap kepada manusia yang perasaannya bisa berubah-ubah. Jadi, saya menggantungkan harapan saya ke Allah yang jelas mampu merangkai hidup saya. Ya, hubungan saya ke Allah memang belum seromantis orang-orang, tapi saya yakin Allah mau dekati saya. Di sini saya nggak lagi merendahkan orang yang punya mental issue setelah tertimpa masalah. Karena saya paham dunia medis, saya nggak bisa menyuruh orang lain memiliki pikiran yang sama seperti saya."
Luar biasa.
Rianti seperti ombak yang berhasil menggulung Fyan berkali-kali. Sekali lagi Fyan tidak berhasil mematahkannya. Rianti bukan asal bunyi. Perempuan itu pasti sudah mempelajari semuanya. Fyan dapat merasakan itu. Ia bisa membedakan mana orang yang mulutnya manis dan orang yang belajar sungguh-sungguh. Rianti bukan termasuk yang kedua.
Dalam sebuah bangunan, tiang dibutuhkan untuk penopang. Semakin baik materialnya, semakin kokoh pula struktur bangunan tersebut. Melihat Rianti, Fyan seperti menemukan tiang yang bagus. Namun, dalam waktu yang bersamaan, ia merasa tidak pantas menjadi tempat untuk menopang.
Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.
Bentar lagi tamat, mungkin 3 atau 4 bab lagi, dan seperti biasa ekstra part-nya bakal aku bagi di Karyakarsa. Jadi jangan lupa menabung.