eps. 2

30 4 0
                                    

"Caleo, aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku! Kita itu sama, sama-sama memiliki nasib sial dan tidak beruntung."

Padang rumput yang membentang luas dihadapan Caleo membuatnya merasa linglung. Apalagi suara yang menggema tampak menakuti dirinya.

Disana kosong, hanya ada Caleo. Dengan angin kencang dan awan hitam mendung yang pekat. Seakan-akan badai bisa menerjang kapan saja.

"Caleo, kamu harus lebih kuat! Jangan lemah! Aku benci orang lemah. Kita adalah satu, tapi kamu lemah! Aku tidak ingin bersama orang lemah."

Caleo tidak mampu menjawab. Mulutnya seperti sulit untuk terbuka, suaranya terhimpit.

"Ingat Caleo, Kita adalah satu!"

Gelap.

.
.

Hah.

Caleo mengambil napasnya dalam-dalam. Mimpinya sangat aneh dan menakutkan. Mimpi yang sudah lama tidak pernah Ia alami kini muncul kembali.

Caleo coba mengatur napasnya. Keringatnya bercucuran membuat tak nyaman. Matanya tak sengaja melihat jam dinding, pukul 22:30.

Ah, Setelah Jima keluar Caleo mencoba merebahkan tubuhnya. Tidak tahu bahwa akan ketiduran. Bahkan, makanan yang Jima bawakan untuknya belum Caleo sentuh sama sekali.

Caleo jadi teringat cerita Jima. Apa dirinya, tidak! Ini jelas bukan dirinya, meskipun dengan kemiripan yang sama sekalipun. Namun, bagaimana jika Ia salah?

Apa mimpinya memiliki ikatan terhubung dengan dirinya saat ini atau sesuatu kebetulan setelah setahun Ia tak mengalami mimpi buruk itu kembali.

Klek.

Jima masuk kedalam kamar. Senyum keibuannya menguar, membuat Caleo menjadi lebih tenang.

"Eum .. Jima, maaf aku sepertinya ketiduran. Makanan nya bahkan belum ku sentuh."

Jima mengerjap, lalu melihat nampan diatas nakas yang memang masih lengkap.

Lantas Jina mengangguk, "Tidak apa-apa Tuan Muda, apa Tuan Muda mau Saya bawakan makanan yang baru?"

Caleo mengangguk.

"Jima, apa aku punya kembaran?"

Aduh! Mulutnya ini sangat tidak bisa kontrol. Bagaimana bisa Ia dengan gamblang bicara tanpa berpikir seperti itu.

Jima mengerutkan dahi, berpikir dalam. Wajahnya keruh, namun sebisa mungkin Jima mengaturnya dengan tenang.

"Tidak, Tuan Muda. Apa yang Anda maksud, Tuan Muda Dion? Jelas bukan. Saya membantah itu, lagipula siapa yang mengatakan Anda memiliki kembaran? Anda bungsu terakhir tanpa memiliki kembaran di keluarga Weinstein, Tuan Muda."

Caleo melihat dengan jelas gurat kemarahan Jima. Apalagi dengan menekan setiap katanya.

"Jima, maaf. Aku .. aku hanya bertanya, aku belum bertemu siapa-siapa dari kemarin."

Jima menghela napas lega.

"Baiklah. Apa Tuan Muda ingin masuk sekolah besok? Atau membutuhkan waktu untuk beristirahat beberapa hari lagi?"

Bersekolah? Caleo hampir melupakan nya. Ia kira hanya akan berdiam diri di kamar ini tidak kemana-mana.

Caleo mengangguk antusias. Ia rindu sekolah. Meskipun di sekolah Ia tidak memiliki teman dan harus mengerjakan tugas orang lain, tapi Ia senang. Huh, Caleo lupa jika ini bukan di dunianya. Pasti akan sangat berbeda.

"Baik, nanti Saya akan kembali. Membantu Anda menyiapkan segalanya yang diperlukan. Saya mohon undur diri."

Lantas Jima keluar beserta nampan yang masih lengkap, meninggalkan Caleo yang bingung hendak apa.

Tidak lama kemudian Jima kembali, tanpa mengetuk pintu. Mendorong pintu menggunakan lengannya.

"Tuan Muda, makanan hangat siap!"

Caleo buru-buru keluar dari kamar mandi. Perutnya lapar, minta di isi. Bau harum dari sup tahu kimchi pedas ala korea menguar di kamar, membuat perutnya semakin bergejolak meminta.

Caleo duduk di tepi ranjang, segera Jima letakkan nampan anti panas di paha Caleo dengan hati-hati. Kemudian berjalan mondar-mandir di kamar Caleo. Ingat, kan kalau Jima akan membantu Caleo meyiapkan segala keperluan sekolah Caleo.

"Tuan Muda, besok Anda ingin berangkat bersama sopir atau Saya yang mengantar?"

"Jima!"

Jawaban antusias dari Caleo menghangatkan hati Jima. Ngomong-ngomong soal Jima, Jima sebenarnya adalah pengasuh Caleo yang sudah bersama Caleo bahkan sebelum Caleo lahir, tepatnya sejak Caleo di dalam kandungan yang saat itu berusia 8 bulan.

Jima tahu apa yang disukai dan tidak disukai oleh Caleo, karena memang Jima termasuk orang yang paling dekat dengan Caleo. Namun, semenjak keluarga Caleo menjadi dingin, atau lebih tepatnya Caleo berumur 7 tahun. Caleo menjadi jarang berinteraksi dengan Jima.

Apalagi saat itu Jima dijadikan pelayan biasa, tidak lagi menjadi pengasuh pribadi Caleo. Jima menerimanya, asal masih satu atap dengan Caleo dan masih bisa melihat tumbuh kembang Caleo. Jima tidak masalah.

Hingga Caleo berumur 15 tahun, Caleo tidak pernah lagi berbicara dengannya. Caleo hanya menatap keluarganya. Jima sedih, tentu saja. Tapi, selagi Tuan Mudanya baik-baik saja, Jima pun baik-baik saja.

"Baiklah jika begitu. Tuan Muda ingin naik motor atau mobil?"

Caleo berpose seperti seseorang yang tengah berpikir keras, "Motor!"

Jima belum setua yang kalian pikirkan. Umur Jima 45 tahun, hanya selisih 5 tahum dengan Tuan Besar. Awal menjadi pengasuh Caleo saat Jima berusia 28 tahun. Meski umurnya 45, Jima tidak mengalami penuaan yang berat. Wajahnya masih segar dan kencang, tidak ada keriput.

"Eum .. Jima, besok hari apa?"

"Besok? Besok hari Rabu, Tuan Muda."

Caleo meletakkan nampan yang mulai kosong di atas ranjang. Kaki kecilnya berjalan mendekati Jima yang masih menyiapkan buku beserta alat tulis lainnya. Mencocokan jadwal.

"Jima, aku mau membantu juga!"

"Baiklah, Tuan Muda bisa menyiapkan aksesoris yang ingin Anda pakai. Itu ada di laci bawah cermin."

Aksesoris yang dimaksud adalah semacam name tag, lalu hiasan seperi bros yang berada di atas name tag dan bros tanda sekolah yang berada di sebelah name tag.

'Caleo Jeshein Weinstein'

Sepertinya nama itu tidak asing, pernah Caleo temukan, rasanya pun seperti lebih dari sekali Ia menemukan atau bahkan membaca nama itu. Namun, Ia lupa dimana Ia pernah menemukan nama tersebut.

Sekitar 10 menit sudah Jima dan Caleo menghabiskan waktu untuk menyiapkan keperluan sekolah. Seragam, sepatu, buku, tas, alat tulis kaos kaki, dasi, san aksesoris lainnya sudah siap.

"Nah, sudah hampir jam 11 malam. Waktunya Anda tidur. Selamat tidur, Tuan Muda."

Jima mematikan lampu utama kamar Caleo, lalu menyalakan lampu tidur yang berada di nakas sisi kanan ranjang. Tangannya mengambil nampan, sebentar mengelus rambut Caleo yang halus. Lantas pergi dengan menutup pintu.

'Caleo Jeshein Weinstein, tidak asing. Tapi siapa ya?'

Iya, Caleo belum tidur. Pikirannya penuh. Rasa kantuk seolah menguap begitu saja. Rasa penasaran menjadi membumbung tinggi.

'Ayo pikir, pikir! Aku pernah membaca di .. di suatu buku? Buku!'

'Huh, buku? Yang benar saja, lalu aku berada di dalam buku? Jima .. Jimaya Hiraga?'

"Hng! Tidak tahu, pusing!"

Caleo menutup mata dengan perasaan kesal. Masa sih dirinya masuk ke dalam buku? Tidak masuk akal, tahu. Hm, mungkin saja Caleo pernah membaca di pamflet atau selebaran, bukan buku. Tapi karena Ia yang sehari-harinya selalu membaca buku, makanya teringatnya membaca nama itu di buku. Ya, seperti itu. Sepertinya, Caleo pun tidak yakin.

To Be a Ordinary Boy as a Figurant Onde as histórias ganham vida. Descobre agora