🧩GAME IN PROGRESS🎮 : 29

448 35 0
                                    

Monday.

_

Vanessa pura-pura terkejut dengan ucapan Eric. "Loh? Gak mau. Udah gue bilang gue suka sama dia, gue gak peduli dia mau anggap gue apa nantinya setelah gue terima confess dia."

"Lagipula nanggung loh, udah enam hari. Yang ada dia kalah taruhan, sayang duit dia karena harus traktir temen-temennya."

Melirik pada tangan Eric yang terkepal kuat semakin membuat Vanessa ingin tersenyum bahkan tertawa lebar, entah kesalahan apa yang Vanessa perbuat padanya hingga Eric terlihat begitu sangat membencinya.

Eric tidak suka Nando didekati siapapun, itu kesimpulan yang Vanessa dapat.

"Dia ngerasa kalau dia bakal menang taruhan, makanya dia uring-uringan kan nyari dua temennya yang ilang gak tau kemana buat nagih reward, sampe ngehajar Samuel yang gak tau apa-apa."

"Apa yang lo rencanain?" tanya Eric.

"Gak ada tuh." Vanessa mengangkat kedua bahunya acuh.

Eric berdecih, ia mencengkram bahu Vanessa. "Lo udah hancurin hidup si Samuel, sekarang lo mau hancurin hidup temen gue? Gue minta lo jauhin Nando."

"Apa sih?" Vanessa mengerutkan keningnya, dia mendorong tubuh Eric agar menjauh darinya. "Lo kenapa, Ric?"

"Si Chessy yang jelas-jelas cewenya si Nando diem aja, tapi kenapa lo yang cuma temennya sebegitu gak mau gue deket sama Nando?"

Eric bungkam saat Vanessa yang kini menatap tajam dirinya.

"Kalo lo gak mau ujungnya kayak gini, harusnya lo cegah mereka buat jangan main taruhan!"

.

"Nyebelin, tapi gak bisa gue bunuh."

Vanessa menggerutu sepanjang jalan sepulang sekolah, berkali-kali dia memukul stir mobil dan kaca di sampingnya.

Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, satu tangannya mengambil ponsel dari dalam tas. Vanessa menghidupkannya dan memandangi wallpaper ponselnya.

Foto saat Vanessa dan Samuel masih berpacaran dijadikan wallpaper olehnya.

"Susah banget buat balikan," gumam Vanessa.

Hampir saja dia menabrak tiang listrik di pinggir jalan akibat terlalu fokus pada menatap ponselnya, hingga akhirnya dia kembali memasukkan benda pipih itu ke tas.

Vanessa menyadari jika saat ini dirinya berada di tempat di mana kecelakaan beberapa waktu lalu terjadi yang menimpa dirinya dan Sherly. Dia menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan dan turun dari mobil.

Dia mengamati perubahan yang ada di tempat ini setelah kecelakaan itu berlalu. Jalanan yang semula tidak ada pagar pembatas, kini sudah dibangun setinggi 1 meter. Lampu jalanan dan kamera cctv pun terpasang di mana-mana, sekarang jauh lebih baik daripada sebelumnya.

Di sekitarnya pun tidak sesepi waktu itu, ada beberapa warung dan rumah di sini.

Vanessa menghela napas dan menutup mata sejenak, kejadian mengerikan itu kembali terputar di pikirannya hingga membuatnya merinding.

"Meski udah lama, tetep aja masih kerasa sakitnya." Dia menyentuh bahu dan lengan kirinya yang sebelumnya patah juga retak akibat menghantam aspal.

Meski sudah sembuh, Vanessa tetap merasa ngilu saat mengingatnya.

Dia menumpu tubuhnya pada tembok pembatas jalan dan menghadap ke arah aliran sungai yang deras.

"Maaf, gue gak bermaksud ninggalin lo, Sher. Justru gue pergi karena cari bantuan, gue gak sanggup sendirian."

"Emang pada dasarnya aja hari itu sial banget. Jalanan licin, ujan, gelap, tanahnya longsor, jadinya lo ikut hanyut."

Vanessa merenggut kesal, dia menendang kerikil di sekitar kakinya. "Lo juga! Ngeyel! Dibilangin gue aja yang nyetir, tetep aja batu. Kan mati akhirnya. Gue juga yang dituduh nyelakain lo, untung gak di penjara."

Dia terdiam sesaat, mengingat kembali hal-hal menyenangkan yang dilakukan saat bersama Sherly. Dari sana dia teringat pada Lauren.

"Gue gak tau apa alesan dia tetep tutup mulut, padahal dia satu-satunya orang yang gue hubungin waktu itu."

Iya, Lauren memang orang yang tahu betul kecelakaan itu terjadi selain Vanessa, bahkan Lauren mendengar dan melihat semua pembicaraan Sherly dan Vanessa saat berada di dalam mobil lewat panggilan video.

Tapi entah kenapa Lauren selalu beralasan dan menunda-nunda ketika Vanessa menyuruhnya untuk menjelaskan kesaksiannya, apalagi saat kepada Samuel.

Sampai dirinya meninggal pun, Lauren tidak mengatakannya.

Sejak saat itu Vanessa menaruh kebencian pada sahabatnya meski Lauren tidak pernah menyadarinya.

"Rasa sakit gue gak sebanding sama rasa sakit yang lo rasain waktu kejebak di mobil, kan? Gue gak bisa bayangin setakut apa diri lo di malem itu."

"Mau gimanapun juga ini salah gue." Vanessa menundukkan kepalanya, dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, rasa menyesal muncul di hatinya.

Beberapa detik kemudian dia berdiri tegak dan menjauhkan tangannya dari wajahnya. "Eh? Enggak anjir, bukan salah gue, tapi salah cowo lo. Seandainya cowo lo gak nyakitin lo, semuanya gak bakal terjadi kek gini."

"Emang bener-bener bangsat tu cowo, bisa-bisanya lo suka sama dia."

"Akh!" Vanessa mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kayak orang gila gue ngomong sendirian, udah ah pulang."

Vanessa masuk ke dalam mobil untuk mengambil setangkai bunga yang dirinya beli tadi dan melemparkannya ke sungai, bunga tersebut bergerak mengikuti aliran air.

"Lusa gue bakal dateng ke tempat lo, siap-siap buat dengerin curhatan gue, oke?"

Vanessa tersenyum tipis lalu segera masuk ke dalam mobil, saat akan menyalakan mesin, tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Di layar ponsel yang menyala, terpampang jelas nama Nando di sana. Vanessa tidak ada niat sama sekali untuk mengangkat teleponnya.

"Sekarang giliran gue yang mainin lo, Nan."

Mobil yang dikendarainya melaju pergi dari sana, Vanessa tidak menyadari jika sejak tadi Samuel membuntutinya dan memperhatikannya dari jauh.

_

GAME OVER : Who's The Winner?[✓]Where stories live. Discover now