Jemputan, Kesembilan!

173 27 29
                                    

>>,<<

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

>>,<<

Rey mengantarkan Ghaffar pulang, ke rumah. Sebuah pemandangan yang tidak biasa Rey rasakan, setelah hampir tiga minggu lebih, lelaki itu tak menceritakan tentang alasan mengapa ia tidak pernah menginginkan untuk menginjakkan kaki di rumah, sore ini ia meminta untuk mengantar pulang.

"Lo butuh sesuatu, Kak?" tanya Rey saat motor yang dikendarai oleh Ghaffar tiba-tiba berhenti di pinggir jalan. Padahal kalau dilihat di maps, tujuan mereka masih cukup jauh.

Ghaffar mengembuskan napas panjang. Ia melepas helm, kemudian menggeleng pelan. Tidak ada alasan mengapa ia harus se-gugup ini, kendati aksi menghindarnya sudah pasti mendapatkan balasan tidak enak ketika ia sampai rumah. Ghaffar lupa, ia membawa Rey bersamanya, mengingat selama ini dirinya melarikan diri tidak membawa barang sedikitpun, pula tanpa persiapan.

"Kalau lo belum siap, kita bisa balik ke kosan gue kok," kata Rey berikutnya. Namun, ia diberikan jawaban sebuah gelengan kecil.

"Gue udah terlalu lama perginya, Rey."

Senyum tipis terbit di bibir si muda. Tak lama setelah itu, Ghaffar kembali menghidupkan mesin motor milik Rey, lantas membawa keduanya pergi membelah jalanan kota yang rama lancar.

Hampir sepuluh menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah minimalis dengan desain sederhana di ujung komplek. Bangunan kokoh itu berwarna kuning gading, dibalut dengan dua pohon mangga di depannya, serta ... Rey bilang sedikit sepi dan menunjukkan bahwa di dalamnya sedang tidak baik-baik saja.

Ghaffar memarkir motor yang digunakan di garasi, kemudian tersenyum tipis sebelum berjalan menuju rumah.

"Gue cuma mau ambil keperluan beberapa. Kemarin gue udah bilang ke ibu kos lo, kalau mau nempatin kamar kosong yang gue bilang kemarin," jelas Ghaffar. Lelaki itu berusaha membuka pintu utama, tetapi tak bisa. Akhirnya, tangannya merogoh resleting tersembunyi di dalam ransel sekolahnya.

"Santai aja. Lo bisa tinggal bareng gue kok, Kak, tanpa pindah ke kamar yang kosong. Lagian, lo harus kerja juga, 'kan? Daripada bolak-balik rumah lo jauh begini dari tempat kerja, sekarang lo bisa tinggal sepuasnya di kosan gue." Rey menimbang alasannya kembali.

"Ntar kalau gue gajian, gue ikut bayar, ya?"

"Ih, kenapa? Gak usah kali."

Rey menggeleng singkat. "Daripada gue ngelunjak ntar. Pokok gue mau ikut bayar kalau gajian ntar."

Ghaffar berhasil membuka pintu utama rumahnya. Satu kata, sepi. Bangunan lima belas ru, itu memang hanya dihuni oleh tiga kepala saja. Ibu, ayah, dan Ghaffar. Ghaffar anak tunggal, kedua orang tuanya sibuk bekerja sebagai pegawai pabrik di tempat yang sama. Singkatnya, Ghaffar sudah terbiasa dengan sepi seperti ini, menjadi makanan sehari-hari sedari kecilnya.

Re-(Play)Where stories live. Discover now