"Biyu dari tadi nggak bisa tidur karena ramai orang. Sekarang lagi coba ditidurin Kak Furi." Yura membuka percakapan yang sekiranya bisa menarik perhatian suaminya. Ia tak mau membahas soal kepergian mertuanya karena itu akan membuat Robi makin sedih. Dan usahanya berhasil. Robi sangat menyayangi Biyu melebihi apa pun. Jadi, apa pun tentang Biyu pasti akan menjadi prioritasnya.

"Biyu?" Robi tersentak seolah baru ingat bahwa dirinya mempunyai balita. "Ahh, iya, di mana dia?"

"Lagi coba ditidurin Kak Furi di gang sebelah yang sedikit sepi." Yura bergeser mendekati sang suami, lalu memeluk erat lengan suaminya itu. "Aku ambilin roti atau minuman mau, nggak?"

"Kagaklah, Beb." Robi menjawab sambil menyandarkan kepala di punggung sofa.

"Kamu semalam nggak makan apa pun, loh."

"Gak laper," jawab Robi sedikit kethus.

"Dikit aja." Yura membujuk. "Secuil roti, ya?"

"Beb!" Robi mengangkat kepalanya yang terkulai, menatap istrinya kesal. Entah mengapa rasanya ia tak suka diganggu dengan cara seperti itu. Apa Yura tidak mengerti bahwa dirinya hanya ingin sendiri saja?

Ia mencelos menyadari betapa pucat wajah istrinya dan dia juga terlihat begitu lelah. Seketika kekesalannya surut. Ia pun duduk tegak, lalu menarik istrinya dengan lembur agar naik ke pangkuannya. "Sorry," bisiknya penuh penyesalan.

Yura mengangguk dalam dekapan Robi. "Aku tahu kamu sedih. Sangat sedih. Bahkan, aku tak bisa mengukur seberapa sedihnya kamu, tapi kamu harus tetap jaga kesehatan. Aku dan Biyu butuh kamu, Bi. Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya aku dan Biyu kalau sampai kamu kenapa-kenapa."

"Ya, Beb. Ya." Robi menenggelamkan wajah ke rambut sang istri dns menghirupnya dalam. "Aku janji nggak bakal kenapa-kenapa. Aku pasti terus jagain kau dan Biyu."

"Tapi kamu nggak makan. Sampai kapan? Kamu bisa sakit kalau kayak gitu terus."

"Entahlah." Robi mengembuskan napas berat. "Kau dah makan, kan?"

"Belum."

"Belum?" Robi tersentak. Ia seketika melepaskan pelukan dan menjauhkan tubuh istrinya agar bisa mengamatinya dengan lebih jelas. "Kenapa?" tanyanya dengan nada gusar.

"Karena aku sudah janji, kalau kamu ingat, aku hanya akan makan kalau kamu juga makan. Jadi, kalau kamu nggak makan, begitu juga aku."

"Jadi, ini dari pagi tadi kau belum makan?" Robi melotot menatap sang istri dan ketika Yura mengeleng, ia langsung mengumpat kasar. "Brengsek! Sialan kau, Beb? Di mana otak kau tu?!"

Robi menurunkan Yura dari pangkuan, lalu bergegas lari ke dapur di belakang untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Ia mendesah lega karena di dipan dapur penuh dengan aneka kue, lalu di atas kompor juga ada satu panci Kare ayam dan bakmi ayam di wajan. Magicom juga penuh nasi.

Ia mengambil piring, mengisinya dengan nasi, kare, dan juga bakmi. Sejenak ia melupakan kesedihan hatinya. Pikirannya terus mengkhawatirkan Yura dan calon bayinya. Ia kesal karena Yura masih saja memegang prinsip konyolnya—hanya mau makan kalau ia sudah makan. Brengsek! Sialan! Ia terus memakai di dalam kepala. Bukan memakai Yura, tetapi memakai dirinya sendiri yang tak becus sebagai seorang suami.

Saat ia kembali ke ruang tengah, Yura sudah tertidur dengan posisi duduk. Tubuhnya bersandar di sofa dengan posisi kepala terlihat tak nyaman. Bertepatan dengan itu Furi masuk sambil menggendong Biyu yang sudah tidur. Dia tersenyum melihatnya.

"Akhirnya tidur juga." Furi melirik Biyu.

"Sorry," ujar Robi merasa bersalah karena sempat mengabaikan anaknya.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें