1. Melepas Beban

982 62 1
                                    

Guyuran hujan yang menerpa tubuhnya tidak membuat Yura bangkit dari tempatnya duduk. Entah sudah berapa lama atau berapa jam tepatnya ia duduk di tengah alun-alun kota itu. Sejak matahari baru saja menyingsing hingga hampir tenggelam. Cukup lama. Tapi hanya di situ ia merasa bisa duduk berlama-lama dengan tenang, gratis, dan tanpa gangguan.

Kedua lengannya memeluk erat ransel yang ada di pangkuan. Hanya ransel itu barang berharga yang ia miliki saat ini. Bukan benar-benar berharga karena hanya berisi beberapa potong pakaian dan barang pribadi lain yang tak seberapa nilainya.

Ponselnya sudah ia jual untuk bertahan hidup selama beberapa waktu belakangan dan sewa kamar kos, sementara tabungannya di rekening pun telah terkuras habis. Kemarin, lagi-lagi dirinya dipecat dari pekerjaan sebagai penjaga konter handphone karena dianggap tidak bisa bekerja secara maksimal setelah sebelumnya juga dipecat dari pekerjaannya sebagai karyawan serabutan di sebuah swalayan kecil.

Dari semua pemecatan itu, ia tak mendapatkan pesangon atau uang yang cukup karena dianggap tak becus bekerja.

Perutnya kian membesar, membuat dirinya tak bisa lagi bergerak dengan leluasa. Ia pun merasa lebih cepat lelah dan pusing ketika berdiri terlalu lama. Dan penyebab utama ia dipecat karena izin ke toilet untuk buang air kecil lebih sering dibanding teman-temannya yang lain.

Yura tidak tahu mengapa ia tak bisa menahan keinginan buang air kecil dan mengapa itu terjadi lebih sering belakangan ini. Tentu saja dirinya tak bisa bercerita atau meminta pendapat pada siapa pun karena semua orang yang dulu pernah ia sayang dan menyayanginya saat ini membencinya.

Dalam hati kecilnya sadar bahwa semua itu akibat ulahnya sendiri. Ia telah mengecewakan begitu banyak orang termasuk dua sahabat terbaiknya, Karen dan Lana. Itulah mengapa dirinya tak mengeluh sedikit pun atas nasib buruk yang harus ia jalani saat ini. Itu sudah sepantasnya ia terima.

Akan tetapi, hidup tidak bisa hanya dengan menerima dan pasrah. Ia harus menemukan solusi terbaik dari segala permasalahan yang ia alami. Setelah diusir dari kos karena tak mampu membayar, dipecat dari kerja hingga tak punya uang sepeser pun, dan saat ini kondisi perutnya lapar luar biasa, Yura harus memikirkan solusi itu dengan cepat.

Malam akan segera datang dan ia belum memiliki tujuan. Ke mana ia harus pergi mencari tempat berlindung dari dinginnya malam? Masih adakah yang mau menerimanya bekerja tanpa bekal pengalaman?

Tubuhnya tak sanggup lagi berjalan. Selain lapar, haus yang ia rasakan juga sudah tak tertahankan karena sejak semalam ia belum menenggak air sama sekali.  Dengan harapan terakhir yang masih ia miliki, sekali lagi ia memeriksa isi tasnya, mencari sesuatu yang mungkin masih bisa ditukar dengan sebotol air minum.

Saat itulah ia menemukan pisau cukur alis di bagian resleting dalam tasnya. Ia lupa pernah mempunyai pisau cukur itu di tas karena sejak terusir dari rumah, tak sekali pun ia terpikir untuk memerhatikan penampilan.

Napasnya terembus berat. Itulah solusinya. Solusi terakhir yang ia rasa paling baik dan pastinya akan menyelesaikan segala permasalahan hidupnya. Meski ada setitik rasa takut menghadapi keputusan terakhirnya itu, akal sehatnya tetap mendesak bahwa itulah yang terbaik.

Kepalanya menoleh ke sekitar, mencari tempat sedikit terlindung agar tak ada yang melihat aksinya. Hatinya menangis, tetapi air matanya sudah mengering. Lalu, dengan langkah gontai ia mendekati salah satu bilik di deretan mesin ATM tak jauh dari tempatnya berada.

Ia masuk ke dalam ATM salah satu bank yang tidak terlalu ramai. Matanya menatap sendiri bayangan dirinya sendiri yang tertampung di layar mesin yang ada di hadapannya. Dingin dari AC yang ada di atas membuat beberapa helai rambutnya berkibar. Tangannya gemetar.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now