50. Kemujuran

379 68 14
                                    

Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tanah itu lapang, sangat luas, dengan banyak material bangunan yang masih menumpuk di salah satu sudutnya. Pondasi sedalam dua meter sudah jadi dengan besi yang sangat tebal sebagai pilar di banyak sisi. Kedua tangannya di pinggang, wajahnya berkilat terbakar matahari yang terik, tapi bukan itu masalahnya. Ia menoleh.

"Ngerjain ini?" Robi bertanya dengan mata menyipit karena silau.

"Tidak. Kontraktor milik kakakku yang akan menggarap proyek ini."

"Lalu?" Robi masih berusaha menahan emosi karena hingga detik itu, orang yang saat ini menjadi bosnya itu masih belum juga menjelaskan dengan detail pekerjaan yang harus ia lakukan. Jika hanya menjadi kuli di proyek itu, ia tak masalah. Namun, bila harus menjadi  jago pukul atau sejenisnya, ia terpaksa harus meminta supaya dikembalikan ke gudang di pasar, betapa pun besar gaji yang akan ia terima.

"Di sini cabang bengkelku akan berdiri. Menurut kakakku, sekitar empat atau lima bulan lagi sudah siap pakai. Tapi, sebelum semua itu siap, aku harus mulai merekrut banyak pekerja yang bisa ku percaya untuk ditempatkan di sini. Biasanya, aku lebih suka merekrut karyawan dari warga di sekitar tempat usahaku. Selain memberi lapangan pekerjaan ke warga setempat, juga banyak pertimbangan lain seperti keamanan, dan macam-macam lagi.

"Furi bilang, mau punya banyak skill yang sangat kubutuhkan. Kau mengerti mesin banyak kendaraan, jujur, dan pekerja keras. Bisa mengemudikan banyak jenis kendaraan berat juga yang itu tentu berguna untuk usahaku ini."

Robi menyimak dalam diam. Rasa curiganya pada pria itu sedikit berkurang. Yah, dengan banyaknya kepahitan yang sudah ia alami, wajar bila dirinya harus waspada dengan segala kemujuran yang tiba-tiba saja datang. Tidak! Ia tak pernah percaya itu. Kemujuran itu tak ada!

"Kau tau, dengan ratusan cabang bengkel dan kafe, aku tak mungkin mengurus sendiri perekrutan karyawan. Aku butuh bantuan dan kau yang akan membantuku untuk itu. Tugasmu, mulai detik ini mencari pemuda sekitar yang memiliki kemampuan dan keahlian yang dibutuhkan. Pastikan mereka mau bekerja keras, jujur, dan tidak terlibat dalam hal-hal negatif apapun seperti narkoba, judi, dan sejenisnya. Aku mau pegawai yang bersih dan bisa diajak maju. Kau akan mengajari mereka, mengawasi mereka, dan mengatur mereka nantinya."

Robi menelan ludah, gugup mendengar beban pekerjaan yang diberikan padanya. "Sa-sa-ya tak punya SIM, ijazah, atau keahlian—"

"Aku tau." Bosnya tersenyum miring. "Aku tak peduli. Ijazah hanya bukti bahwa seseorang itu pernah bersekolah, bukan bukti bahwa orang itu punya otak. Dan untuk SIM, kau akan mendapatkannya sebagai fasilitas dari perusahaan."  

Robi melongo. Ia baru menemui seorang pengusaha yang tidak menganggap penting sebuah ijazah. Apalagi dengan statement berbahaya dan konyol yang baru saja bosnya itu sampaikan, ijazah hanya bukti bahwa orang pernah sekolah bukan bukti bahwa orang itu punya otak? Fix, bos barunya itu pernah sinting!!

Mau tak mau Robi pun tersenyum. Rasa curiganya pada sang bos berubah menjadi kekaguman. Jarang atau bahkan bisa dibilang langka ada sosok seperti bosnya itu. Pantas saja Furi selalu membanggakan bosnya dengan cara yang sangat menjengkelkan dirinya, dulu.

"Lalu, sebelum bangunan ini jadi?"

"Kau harus training untuk mengetahui sistem kerja di bengkelku supaya bisa mendapat gambaran saat memimpin di sini nanti."

Robi terdiam beberapa saat, mencoba mencerna ucapan sang bos. Tunggu! Bosnya tadi berkata bahwa dirinya yang akan memimpin di calon bengkel itu?

"Maksudnya? Memimpin siapa?"

"Anak buahmu di sini nanti." Pria itu menjawab santai.

"Kau gila!" Menyadari ketidaksopanannya, ia pun menambahkan, "Bos!"

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang