2. Sahabat Sejati

692 67 3
                                    

Yura terus memalingkan wajah dengan mulut diam membisu, sementara tangannya terus digenggam oleh seseorang yang menangisi dirinya. Ia tak tahu harus merasa bahagia atau sedih. Beberapa jam yang lalu ia masih berharap ada satu saja orang di muka bumi ini yang peduli padanya, yang bisa menolongnya, dan pastinya menolongnya dari jurang kehancuran hingga ia tak perlu terus mencari cara untuk mati. Namun, bukan Lana. Bukan sosok yang sudah ia lukai dan hancurkan hidupnya.

Ia tak tahu apa yang terjadi saat tak sadarkan diri, tetapi begitu bangun dirinya sudah berada di ruangan berbeda. Bukan lagi di bangsal umum rumah sakit, melainkan di satu ruang dengan satu tempat tidur nyaman. Karena sudah pernah berada di ruangan yang sama sebelumnya saat neneknya sakit, ia tahu itu adalah kamar penunggu di ruang VVIP rumah sakit. Dugaannya benar begitu mengetahui bahwa yang menempati kamar pasien di ruangan itu adalah Lana.

Hatinya hancur mengetahui bahwa Lana, sahabatnya dulu, lumpuh dan harus berada di kursi. Meski tidak menceritakan detailnya seperti apa, tapi ia sudah lama tahu bahwa itu karena kecelakaan yang dia alami bersama Ricko, tetapi melihat secara langsung kondisi sahabatnya itu, atau mungkin ia harus menyebutnya mantan sahabat, membuat hatinya teriris perih.

Ricko bajingan!

Setelah mengelabui dan memanfaatkan dirinya untuk mendapatkan Lana, pria itu justru meninggalkan Lana di saat sahabatnya itu berada dalam kondisi terpuruk dan sangat membutuhkan dukungan. Itu membuat perasaannya kian memburuk, merasa bersalah sekaligus marah pada dirinya sendiri.

Akan tetapi, yang membuat hatinya kian merasa tertekan adalah fakta bahwa saat ini Lana menangis untuknya, terus memohon agar dirinya kuat dan terus bertahan. Sungguh, ia sadar diri tak pantas mendapatkan itu. Seharusnya Lana marah atau bahkan membunuhnya saja sekalian.

"Ohh, Yura." Lana memeluk lengannya yang berbaring miring di atas tempat tidur dengan tatapan kosong ke depan. "Kamu masih punya aku dan Karen, Sayangku. Aku janji, kamu dan bayimu tidak akan telantar."

Yura tak menjawab, tapi air matanya menetes mendengar ucapan Lana. Ia tahu Lana tulus dan pasti akan membantunya, tetapi rasa malu akan cibiran yang akan ia terima kelak, ia tak akan sanggup menghadapi itu. Nama baiknya sudah rusak. Bahkan, keluarganya saja membuangnya. Ia tak mau hidup, apalagi bila harus menjadi beban bagi Lana. Tidak! Ia akan terus berupaya untuk mengakhiri hidup.

Lalu, seseorang masuk ke dalam ruangan. Yura tahu dari suara sandal yang diseret di atas lantai, tapi ia tak mau repot-repot menoleh untuk mihat siapa yang datang. Paling-paling perawat atau petugas kebersihan.

Akan tetapi, yang akhirnya mengalihkan Yura dari lamunan adalah pendatang baru itu bertekad untuk mengumumkan kehadirannya dengan terus berdiri di samping ranjang, tepat di depan wajahnya. Mau tak mau ia pun menoleh.

Ohh, Tuhan! Jangan dia! Yura menjerit dalam hati.

Dia adalah Robi, lelaki bermulut sadis yang selalu bersikap sinis dan kejam padanya sejak awal bertemu. Ia sendiri tak tahu mengapa Robi begitu membencinya. Seingatnya, ia tak pernah melakukan kesalahan apa pun pada pemuda itu, tetapi setiap ada kesempatan, Robi selalu melontarkan ucapan-ucapan kasar padanya.

"Kau masih mau mati?"

Nah, kan?! Baru saja ia membatin tentang si mulut sadis itu, dia sudah mulai melontarkan pertanyaan yang membuat hatinya panas mendengarnya.

"Bukan urusanmu!" Yura menjawab kethus sambil melotot. Sungguh, ingin sekali ia mencabik-cabik wajah yang terlihat begitu menyebalkan itu.

"Di rumahku ada parang yang biasa dipakai untuk menyembelih sapi saat qur'ban. Kalau kau butuh, aku bisa meminjamkannya padamu. Leher sapi yang begitu besar dan tebal saja bisa langsu—"

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Where stories live. Discover now