42. Rasa Sayang

450 71 11
                                    

Note: Teman-teman dan Kakak-Kakak semua yang saya sayangi, mohon maaf, ya, kalau terkadang ada kata yang sedikit membingungkan 🙏 karena untuk meminimalisir tipo, saya mengaktifkan fitur koreksi otomatis. Hanya saja, koreksi otomatisnya itu suka semaunya sendiri. Kadang niatnya mau ngetik "saat" tapi koreksinya bekerja dengan menggantinya menjadi "saya" atau ketika ingin mengetik kata "meski" tapi otomatis berubah jadi "Meksi" dan masih banyak lagi yang lain.

Kadang mau edit lagi satu per satu sudah tidak sempat karena tugas yang juga menumpuk. Jadi, mohon maaf yang sebesar-besarnya, ya. 🙏🙏🙏

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Yura menatap wajah Robi yang pulas sambil tersenyum. Itu pertama kalinya ia terjaga sementara suaminya tidur pulas karena yang biasa terjadi justru sebaliknya.

Ia tahu seharusnya ia membangunkan Robi karena suaminya itu harus bergegas pergi untuk shift jaga di Jurang Akhir, tetapi ia tak sampai hati membangunkan suaminya itu. Akhirnya, beberapa menit yang lalu, ia menelpon Furi dan meminta tolong supaya ada yang bisa menggantikan suaminya sementara ini. Dan beberapa saat setelah panggilan itu, Furi balik menelpon dan mengabarkan sudah ada yang menggantikan berjaga setidaknya sampai sore nanti.

Yura bersyukur bisa hidup di lingkungan yang menjunjung tinggi kerukunan. Orang-orang di kampung Robi sangat ringan tangan dan tidak pernah hitung-hitungan ketika menolong dan membantu sesama warga. Meski kondisi mereka sendiri sedang kekurangan dan membutuhkan, tetap saja solidaritas dan kemanusiaan dijunjung tinggi. Terutama bersyukur karena Robilah suaminya.

"Aku akan memantaskan diri, Bi," bisiknya lembut sambil terus memandangi wajah suaminya. Tangannya gemas ingin mengusap wajah Robi, menelusuri garis bukti kerja keras yang terpatri di sana, tetapi ia tahan karena tak mau itu membangunkan Robi. Suaminya itu jauh lebih butuh istirahat dibanding dirinya. Demi dirinya Robi sampai rela menjadi kuli panggul tanpa dibayar dengan pantas.

Sebagai seorang istri, ia akan menemani dan mendampingi Robi dalam kondisi apapun, tetapi jujur saja dalam hatinya terus berharap semoga Robi bisa mendapat pekerjaan yang lebih layak dengan gaji yang manusiawi. Hatinya perih setiap memikirkan Robi harus bekerja seperti romusha.

Lalu, ia bangkit dari tempat tidur. Ia harus mandi dan menyiapkan siang untuk suaminya itu. Robi sudah seringkali, bahkan bisa dibilang hampir setiap hari selalu melewatkan waktu makan siang. Jadi, saat lelaki itu ada di rumah, ia harus memaksanya makan.

Setelah mandi, ia ke dapur. Untung saja Hawa sudah pulang sekolah, jadi ia bisa meminta banyak saran kira-kira makan siang apa yang bakal Robi suka.

"Abang, mah, makanan apa aja suka, Kak."

"Yang paling cepet siap dan paling doyan, apa?"

"Ya, paling sambal orek sama ikan asin."

"Kamu bisa bikinnya?" Yura bertanya antusias. "Ajarin, ya?"

Akhirnya selama kurang lebih satu jam setelahnya, Yura bergelut di dapur untuk menyiapkan makan siang untuk Robi. Meski hanya menu sederhana, karena itu pertama kalinya ia membuat sambal sendiri, menggoreng ikan asin, dan membuat kopi, ia harus melakukannya dengan hati-hati dan teliti. Ia mengerjakan semua sendiri sesuai instruksi Hawa. Yanh paling sulit ia lakukan adalah mengulek sambal karena ternyata sambal orek kesukaan Robi memakai cabai mentah yang kalau diulek suka licin, tetapi akhirnya ia berhasil.

Hari itu mertuanya memasak nasi putih yang dicampur tiwul. Menurut Hawa, itu juga nasi kesukaan Robi. Di kampung Robi, memakan nasi tiwul dan nasi aking sudah merupakan hal biasa. Untuk keluarga Robi sendiri tidak pernah membiasakan memasak nasi aking meski tetangga lain yang kondisinya lebih memprihatinkan, hampir setiap hari hanya bisa memakan nasi aking dan garam saja. Itulah yang membuat Yura akhirnya terpaksa mau memakan nasi tiwul dan akhirnya terbiasa juga.

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang