16;

20 4 1
                                    

Arden terbangun dengan sakit di kepalanya. Bahkan ia tidak tau ia sedang berada dimana. Rumahnya cukup besar tapi ini lebih besar dari rumah milik Arden. Ia melirik kanan kiri untuk melihat siapa yang membawa ia ketempat asing ini.

"Lo udah bangun?" Tiba tiba saja Melisa datang dengan tangannya membawa minuman hangat untuk Arden.

Arden mengingat kembali apa yang sedang terjadi. Terakhir yang ia ingat adalah ketika dirinya di hajar habis habisan oleh ketua gerombol tadi di sekolah.

"G-gw dimana?"

"Lo di rumah gw" kini Melisa menepatkan badannya di kursi yang berhadapan dengan lelaki itu. Ia menatap luka yang ada di wajah Arden. Bentukan Arden saat ini sangatlah gembel, berantakan dan juga usang.

"Gw mau pulang" Arden berusaha berdiri tapi sial kakinya mati rasa. Ia terjatuh dari tempat tidur itu, lagi lagi ia merasakan memar di kakinya mulai terasa ngilu.

"Udah tau sakit masih aja di paksa berdiri...lo itu manusia bukan robot" Melisa berusaha membantu Arden untuk kembali ke tempat awal tapi kali ini dengan posisi duduk.

"Gw emang bukan robot tapi gw di paksa kuat"

"Tapi nyatanya lo jatuh"

Mereka berdua kini bertatap mata seperti ingin mengatakan sesuatu. Melisa menatap Arden sendu seakan ingin sekali melepaskan luka walau hanya bercerita. Tapi dia siapanya?

"Nginep dulu di rumah gw. Gak usah khawatir gw udah izin sama paman gw" Melisa menuangkan teh hangat pada cangkir kecil. Sedangkan Arden hanya menghela nafas kasar. Untuk saat ini badan Arden memang tidak bisa di gerakkan walau hanya berjalan saja, itu sangat susah seperti anak kecil baru belajar berjalan.

"Oh ya gw minta maaf tadi udh lancang karena ngobatin luka lo tanpa izin...pas tadi lo lagi tidur" Melisa memberikan minuman itu kepada Arden, yang diterima dengan lembut oleh lelaki itu.

Arden melihat memarnya di perban oleh gulungan putih yang melingkar di betisnya. Seperti rasa ngilu itu perlahan memudar. Entah apa yang di lakukan Melisa padanya.

"Itu memar lo kenapa bisa separah itu?"

Arden tersenyum pasrah ketika mengingat kembali kejadian itu yang membuat ia trauma.

"Gak apa. Ini gw gak sengaja jatuh dari tangga" celetuk Arden bohong, mengelus halus perban di kakinya .Ia tak ingin tau ke siapapun tentang lukisan di tubuhnya.

"Mana ada jatuh dari tangga bisa bikin memar cantiknya kek gitu?"

Cantik? Dari mananya?

Arden bingung dengan ucapan perempuan yang sedang ia ajak bicara. Melisa yang dari tadi memperhatikan ia juga tak kalah intens untuk bisa akrab dengan lelaki itu.

"Haha gak jelas. Lupain aja" Melisa hanya memalingkan wajahnya ke sembarang tempat mengalihkan sesuatu yang sedang ia tahan sekarang.

"Gw minta maaf Den..." Arden mengerutkan keningnya seperti bertanya "maaf untuk apa?"

"Gw minta maaf karena terlalu terobsesi biar bisa berbicara sama lo..." Melisa menghela nafas berat. Kini Melisa menunduk mengepalkan tangannya yang berusaha untuk kuat. Matanya tidak bisa berbohong bahwa hatinya benar benar hancur.

"Gw cuman kesepian"

Arden tiba tiba merasa iba pada perempuan itu. Ia juga bisa merasakan bahwa perempuan itu punya luka bahkan trauma yang membuat ia selalu merasa sendiri.

"Gw tuh aneh, aneh banget mau akrab sama teman sekelas tapi dari diri gw sendiri gak ada niatan buat ngajak mereka berbicara"

"Apa seorang gw gak pantas punya teman?"

Arden Bagaswarha Where stories live. Discover now