07;

19 4 1
                                    

Seperti biasa, pagi ini Arden terbangun dengan pukul jam 04.25. Kepalanya pusing entah kenapa, dia tadi merasa seperti mimpi sesuatu, tapi apa? Sudahlah.

Arden membuka gorden jendela, dan melihat mega pagi yang sangat indah untuk di pandang. Udaranya lumayan sejuk walau tak seperti di desa. Arden hari ini berinisiatif berangkat lebih cepat dari pada sebelumnya. Ia ingin sedikit membaca buku buku perpustakaan.

Walau sehari tak buka buku arden merasa itu sangat hampa, seakan hidupnya tak kemasukan sesuatu layaknya makanan.

Pagi ini dengan sigap Arden bersiap untuk membersihkan diri dan bergegas berangkat. Karena apa? Karena tak ingin ketemu mama gumamnya. Akhir akhir ini Arden memang jarang menjumpai mama nya. Bahkan melihat mama bersantai di rumah pun tak pernah.

"Maaf mah" bukan tak ingin jumpa tapi pasti itu sakit. Bukan tak ingin menyapa tapi itu pasti di abaikan. Dan bukan tak sayang tapi Arden hanya ingin tau apa mama merasa punya anak seperti dirinya.

Mendapatkan peringkat pertama dan memenangkan beberapa lomba olimpiade tak buat mama bangga sedikitpun. Sebenarnya apa yang mama minta dari Arden? Apa yang harus Arden lakukan agar mama bisa menganggap dirinya sebagai anaknya.

Mengambil raport semester pun mama tak ingin, pasti ayah yang mengambilnya. Padahal sudah jelas Arden memiliki nilai tertinggi dari pada teman-temannya. Lalu arden harus bagaimana?

Pikirannya penuh sekali kata kata yang ingin ia ucapkan di hadapan mama, tapi arden tak pernah meminta. Cukup Arden saja yang merasakannya.

Setelah membersihkan diri Arden berdiri di depan cermin. Memandingi nasib yang ia miliki. Menatap wajahnya sekitar beberapa menit membuat ia cukup kecewa.

"Seorang gw kenapa harus hidup seperti ini? Gw gak pernah meminta lahir dalam keadaan kayak ini... bukannya gak ikhlas, ahh dasar cengeng!" Yaa mata Arden tak bisa membohonginya bahwa itu sangat sakit.

Ia mengusap wajahnya kesal. Dadanya tiba tiba saja sesak seperti baru saja di tinju oleh beda keras. Badannya lemas seperti berenang melawan arus ombak. Hatinya dadakan perih seakan bekas itu kembali terluka.

Tuk tuk

Ckleck!

Arden menatap siapa yang membuka pintu kamarnya. Ternyata itu bibi Asa yang berniat ingin membangunkan dirinya tapi sayangnya ia sudah terlebih dahulu bangun.

"Arden sudah bangun dari tadi ya... niatnya bibi padahal mau bangunin" senyumannya membuat Arden cukup tenang. Senyuman itu entah mengapa menjadi obat pengganti sosok ibu. Ah sial itu lagi di pikirnya.

"Iya bi... Arden udah bangun dari tadi...maaf yaa" Arden membalas dengan senyuman, sedangkan bibi memperhatikan dirinya dengan cermat seperti ada yang salah.

"Arden kamu gak apa apa? Kamu terlihat seperti sakit" bibi berlari menuju Arden yang duduk di pinggiran kasur. Karena jika di lihat wajah Arden sedikit pucat.

"Arden gak apa apa kok bi...cuman ngerasa gimana aja gitu" jawab Arden seadanya padahal jika di rasakan itu cukup sakit.

"Kalo sakit gak usah berangkat aja dari pada kamu kenapa kenapa" wajah bibir terlihat sangat cemas.

"Paling ya kecapean doang bi" Arden berusaha agar bibi tidak mengkhawatirkan keadaan dirinya. Bagaimanapun juga tak ingin sekali merepotkan mama nya yang sangat sok sibuk itu.

"Ya sudah bibi buatin sarapan dulu ya...kalo butuh apa apa bilang sama bibi" ujar bibi yang beranjak dari tempat dan pergi meninggalkan Arden sendiri di kamar.

Tak ingin membuang waktu ia segera bersiap siap berangkat sebelum mama nya bangun atau...ya atau apalah.

Tapi itu di luar dugaan. Mama nya ternyata sudah berada di ruang makan sembari memainkan handphone nya. Dan ayah...? Jangan di tanya pasti sudah berangkat.

Arden menghela nafas berat, harus bagaimana ini? Arden jujur tak ingin bertemu tapi keadaan seperti ini terpaksa harus menyapanya.

"Pagi mah" suara Arden terdengar di seluruh ruangan. Tak berharap lebih, jika itu di balas oleh mama nya.

"Oh pagi" dugaan Arden salah mama nya membalas sapaannya darinya. Yah cukup membuat mood pagi lumayan baik. Tanpa basa basi Arden langsung melahap sarapan yang ada di depannya tanpa di sadari bahwa mama nya memperhatikan anaknya itu.

"Kalo makan tak usah buru buru, ini masih cukup pagi buat kamu berangkat sekolah" tukas mama dengan nada datar. Tapi Arden tak acuh dengan perkataan itu. Ia tetap melanjutkan makannya dan langsung ingin bergegas pergi.

Setelah selesai Arden ingin langsung berangkat tapi...

"Mau berangkat sekarang?" Pertanyaan itu tiba tiba saja membuat Arden mematung deg deg an. Aah sial harus bagaimana?

"Iya Arden langsung mau berangkat" baru saja ingin melangkah kan kakinya pertanyaan itu kembali terdengar.

"Bagaimana sekolah mu?" Kali ini Arden sangat kesal benar benar kesal. Arden tak suka di interogasi seperti ini apalagi mama. Hati Arden seketika memanas karena tak ingin membuat onar di pagi hari Arden hanya menjawab singkat.

"Cukup baik...gak perlu tau kok yang pasti bakal dapet peringkat" ada sedikit nada sombong di akhir ucapannya, walau jujur saja Arden tak berani mengatakan seperti itu.

Jawaban tadi cukup membuat wanita itu sedikit tergores. Entah kenapa omongan nya seakan menusuk pada uluh hatinya. Matanya tak henti melihat tubuh jangkung itu hilang dari pandangannya.

"Sekarang kamu udah berubah ya..."

Pertanda penyesalan kah atau bagaimana?













KEW KEW haii... bagaimana bagaimana??? Yaaa semoga aja suka yaa...untuk selanjutnya jangan naruh ekspektasi pada cerita ini, cukup pemasukan dan saran saja...and jangan lupa vote dan komen💋


Arden Bagaswarha Onde as histórias ganham vida. Descobre agora