TB14 - Bayangan Kelam

Start from the beginning
                                    

"Kei, nggak ada siapa-siapa."

"Ada, Fik. Mereka tadi ada. Mereka kejar aku." Keisya berusaha meyakinkan.

"Lo cuma mimpi buruk." Fikra menyeka peluh di kening Keisya dengan punggung tangannya. Kemudian dia seka pula cucuran air mata di wajah istrinya.

"Mereka bawa aku ke tempat yang pengap, bau. Badanku sakit!" Keisya terus mengadukan apa yang dia lihat di dalam mimpinya. Digenggamnya begitu kuat tangan suaminya. Dia sangat berharap, Fikra percaya atas apa yang dia saksikan dalam tidurnya.

"Keisya, tenangin diri lo dulu."

Keisya menggelengkan kepalanya begitu kuat. "Aku takut. Aku nggak mau dibawa sama mereka. Badanku sakit, panas."

Saat itulah Fikra turunkan selimut istrinya. Dia periksa tangan dan kaki Keisya, khawatir ada yang terluka. Ternyata semua masih sempurna, walau pecahan kaca dari gelas telah berserakan di bawah ranjang. Fikra tatap dua mata sayu yang kini menyiratkan luka.

"Kei ... lo kenapa?" Kali ini pertanyaan dilontarkan dengan kekhawatiran mendalam. Seumur hidup, Fikra tidak pernah melihat Keisya seperti ini. Tidak saat setelah menikah, pun saat mereka bersahabat di usia anak-anak.

"Mereka siapa, Idad?" Tangis Keisya sekarang benar-benar pecah. Bahkan rintihannya melebihi tangis akibat pertengkaran dengan suaminya tadi siang. Maka yang Fikra lakukan adalah memberikan pelukan. Tidak luput dia usap-usap punggung perempuan dengan piyama lengan panjang paduan warna merah jambu dan putih tulang.

"Istigfar, Kei. Astagfirullah hal 'adzim. Astagfirullah hal 'adzim. Astagfirullah hal 'adzim."

Tanpa sadar Keisya mematuhi aba-aba suaminya.

"Inhale, exhale. You are safe in here."

Tangis Keisya mulai reda, tetapi racauan aduannya belum berhenti juga. "Ada perempuan dan laki-laki yang mendekat ke aku. Mereka bawa pisau," adu Keisya.

Kali ini dia lepaskan pelukan suaminya lalu sambil menggenggam tangan Fikra, dia tatap laki-laki dengan rahang tegas di wajah yang tirus begitu dalam.

"Kamu kenal mereka? Kamu tahu siapa mereka? Aku nggak bisa lihat wajah mereka di mimpiku." Walau sering berkata kasar padanya, Keisya tahu laki-laki dengan kaus hitam dan bawahan berupa sarung mampu menjadi pelindungnya.

Sorot tatapan Fikra pada Keisya perlahan-lahan meredup. Dia lihat istrinya dengan cara begitu lembut. "Mimpi yang buruk datangnya dari setan. Tenangin diri lo dulu. Nanti ngeludah tiga kali ke sebelah kiri dan baca ta'awudz," pintanya tanpa ragu.

"Aku takut ...." Lirihan itu bukan bermaksud dia tak mau melakukan apa yang Fikra minta. Dirinya hanya masih membutuhkan pelukan hangat sebagai obat. Dia dekap suaminya sangat kuat dan kedua tangannya mencengkeram kaus yang Fikra kenakan.

"Gue ada di sini, Kei. Nggak akan kemana-mana."

Pelukan Keisya pada Fikra pelan-pelan terlepas. Dia tarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskan perlahan. Sekalipun tidak lancar karena terjeda oleh sisa isak tangisan. Keisya meludah tanpa liur ke kiri sebanyak 3 kali. "A'udzubillahi minasy syaithon niir rajiim," ucapnya 3 kali.

Fikra menemani Keisya berdoa. Keduanya sama-sama melafalkan, "A'udzubikalimatillahit taammati min ghadabihi wa syarri 'ibaadihi wa min hamazaatisy syayaathiini wa 'an yahdhuruuni (Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari yang menyebabkan kemurkaan-Nya dan kejahatan semua makhluk-Nya, dan dari bisikan setan dan godaannya). Aamiin allohumma aamiin."

Keisya menumpukan tangan di keningnya. "Ya Allah, Ya Rabb .... Ya Allah, Ya Rabb ...."

Fikra memberi ruang lebih banyak pada Keisya untuk menenangkan batin. Dia hanya diam sambil menggenggam tangan perempuan di hadapannya sampai bermenit-menit setelahnya. Genggaman tangan itu tidak dia lepaskan sebelum Keisya sendiri yang membubarkan tautan.

TANAH BAGHDADWhere stories live. Discover now