Chapter 7

1 0 0
                                    

"Iya, gue bakal hati-hati kok nyetirnya. Salam buat mama papa lo ya."

"Orang gila!" gumam Deyana ketika mendengar kalimat yang baru saja Aafi lontarkan kepadanya.

Kali ini Deyana harus benar-benar menebalkan dinding tembok hatinya. Ia tidak boleh terbawa perasaan dengan sikap Aafi yang manis. "Iya, gue cuma temen ..." ucapnya menyakinkan diri sendiri. "Ya, temen ... tapi bukan juga. Argh ... gimana ini konsepnya."

Deyana mendengar suara deru mobil, ia mengintip sedikit disela-sela pagar, ketika memastikan mobil Aafi pergi dengan selamat, Deyana melanjutkan perjalanannya untuk masuk ke dalam rumah. Rumah sederhana yang ia tinggali bersama dengan 5 anggota keluarganya. Ibu ayahnya, juga 2 adik laki-lakinya.

"Assalamualikum," sapa Deyana ketika masuk ke dalam rumah.

Hem, sudah dipastikan kondisi rumah pasti sepi seperti ini. Ayah Deyana yang bernama Zaffar Amin Pasha pasti melembur dikantornya, sedangkan ibu Deyana yang bernama Niken Alula masih mengolah usaha chateringnya di tempat yang tak jauh dari rumahnya. Tempat usaha ibunya, hanya berjarak 7 rumah dari kediamannya. Tempat itu seperti rumah besar dan semua produksi makanan diolah di sana, ibunya mengelola ibu-ibu yang menganggur untuk bisa menghasilkan penghasilan dengan pekerjaan yang mudah dan disenangi.

Walaupun begitu, keadaan di rumah besar ini benar-benar sepi, adik laki-laki pertamanya yang bernama Zifran yang memiliki umur 1 tahun dibawahnya, kini sedang duduk sendiri bermain play station di ruang tamu, dan adik keduanya yang duduk di kelas 2 SMP yang bernama Zafier sedang duduk di ruang makan bermain game diponselnya dengan semangkuk mie instan didepannya.

Ini pemandangan yang amat-amat biasa bagi Deyana, karena seperti ini keseharian mereka.

"Setan semua isinya. Gue salam tadi." Kesal Deyana yang duduk disebelah adiknya yang sedang bermian PS. Kini untuk menanjak pergi kearah kamarnya sudah tak sanggup bagi Deyana.

"Waalaikumsalam, Kak ...."

"Waalaikumsalam, Mbak. Bawa makanan ga?" tanya si bungsu Zafier bertanya seperti itu padahal masih ad amie instan dihadapannya.

"Makan terus. Mandi sana, udah pasti belum pada mandi," ucapnya ketika melihat adiknya masih lengkap pakai seragam mereka masing-masing padahal mereka pulang lebih awal dibanding dirinya.

Ocehannya tidak pernah dianggap oleh kedua adik menyebalkannya itu. Deyana hanya bisa mendesah pasrah, beginilah nasib memiliki 2 adik laki-laki, sibuk dengan dunia mereka maisng-masing.

"Lo sakit tadi?" tanya Zifran sambil melihat kearah kakaknya. Zifran memiliki wajah yang lumayan tampan, tubuhnya lebih-lebih jangkung dibanding Deyana. Ia masih duduk di kelas 10 SMA tapi, berbeda dengan SMA-nya.

"Tau dari mana?"

"Mama yang bilang, mama lembur kayanya, tapi dia udah siapin makanan. Obatnya udah disiapin mama juga di kamar lo. Mama lagi banyak pesanan."

"Kenapa gak lo bantuin?"

"Lo pikir gue mau gabung sama ibu-ibu?"

Betul juga, selama ini Deyana hanya membantu ibunya ketika di hari minggu dan itu pun hanya membantu merecoki pegawai yang ada di sana. Tenaganya tidak diperlukan karena pegawai ibunya cukup banyak.

"Gue ke atas. Pada mandi cepet, papa datang ngeliat kaya gini mampus lo semua."

Deyana sudah tidak mau ikut campur dengan kegiatan adik-adiknya, kini ia berjalan menaiki tangga untuk sampai kekamarnya. Walaupun lelah tapi ia harus benar-benar istirahat.

Deyana memilih untuk membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Tak lupa ia melakukan rutinitas malamnya yaitu menyiapkan buku yang akan ia bawa esok hari. Namun ketika ia memilih buku, ada beberapa notif pesan yang masuk keponselnya yang ia simpan di samping bantal diatas kasur.

ANDREPATIWhere stories live. Discover now