3. Peran yang Tertukar

106 19 18
                                    

Angin malam menghapus kepulan asap rokok yang baru kutiupkan ke udara. Entah sudah berapa batang yang kuhabiskan, aku enggan menghitung juga enggan memikirkan risiko yang kata para tenaga kesehatan tidak baik untuk paru-paru dan jantung. Otakku terlalu ruwet, bak gumpalan benang kusut. Aku butuh pelarian agar kewarasanku tidak bergeser apalagi sampai berlari ke mana-mana. Tali kekangnya lepas dari genggaman.

Pantat dan pinggangku mulai penat karena terlalu lama duduk. Kutengok jam di pergelangan tangan kiri. Ternyata sudah dua puluh menit meninggalkan pukul sembilan dan Amyra belum menjejakkan kakinya di rumah. Sampai larut malam begini ke mana perempuan itu pergi? Apa masih lembur seperti katanya tadi pagi? Namun, bukannya kemarin-kemarin kalau lembur dia pulang pukul delapan?

"Pa, Rio ngantuk." Jagoanku datang sambil mengucek-ngucek mata. Tatapannya sayu. Bocah berusia lima tahun yang sejak mandi sore tadi kupakaikan setelan Tayo itu mengangsurkan kedua tangan minta digendong.

"Mau tidur sekarang?" tanyaku sembari membuang lintingan nikotin yang tertinggal setengah ke rerumputan usai mendesakkan ujungnya di pinggiran kursi kayu yang kududuki.

Rio mengangguk dan langsung melompat memelukku. Tanpa menatapku lagi kepalanya lunglai di bahuku, persis bunga layu. Dia mungkin sangat lelah karena sepanjang sore hingga malam ini kujejalkan ponsel.

Dilarang menghujat! Pikiranku saja sudah kacau balau, mana aku punya stok kesabaran meladeni kerewelannya. Memikirkan nasibku yang akhir-akhir ini kian merana sudah sangat menguras emosi, aku tidak mau meledak jika dia tantrum karena kemauan yang tidak dituruti. Di zaman serba gadget seperti sekarang, ponsel menjadi jalan ninja untuk 'menenangkan' anak-anak.

"Baterai hapenya habis?" Aku mengayun langkah menuju rumah sementara Rio dalam gendongan. Dia menguap lebar sekali sebelum menggeleng.

"Capek. Ngantuk," sahutnya pelan. "Mata Rio sakit."

Mungkin yang dia maksud matanya perih dan panas. Wajar, sinar biru gadget memang semenyiksa itu dengan sederet dampak buruk bagi kesehatan tak hanya mata, tapi seluruh tubuh.

"Sepertinya mata Rio mau meledak."

Aku terkekeh.

"Kalau mata Rio meledak, di mana kita bisa beli mata baru?" tanyanya lugu.

"Nggak ada toko yang jual mata, Nak," sahutku jujur menanggapi pertanyaannya yang konyol.

Rio menegakkan tubuh. Dia menatapku lekat, tampak tak percaya. "Nggak ada di toko mainan?"

Aku menggeleng.

"Supermarket?"

Aku menggeleng lagi sambil mengunci pintu penghubung antara taman dengan ruang keluarga.

"Mal?"

Lagi-lagi aku menggeleng.

"Kalau di pasar yang nggak ada AC-nya?"

Gosh, ada-ada saja! Maksudnya pasti pasar tradisional. "Nggak ada, Sayang. Kecuali kalau kamu mau matanya diganti sama mata sapi, ayam atau ikan. Di sana ada banyak," jawabku menahan geli saat dia bergidik ngeri.

"Sebelum tidur, nggak mau sikat gigi dulu?"

Rio menggeleng. Dia kembali lemas di bahuku. "Mau langsung bobo," sahutnya. "Sekali aja nggak sikat gigi nggak bikin gigi aku hancur. Kecuali kalau kumannya punya ludar."

"Ludar?" Aku mengernyit. Diksi baru yang tidak kumengerti maknanya.

Rio menggumam.

"Apa itu?" tanyaku seraya menaiki tangga menuju kamar Rio di lantai dua.

Is There a Second Chance for Us?Where stories live. Discover now