72. Tak Berdaya

Mulai dari awal
                                    

"Saham? Apa hubungannya ini dengan saham, Bebi?"

"Kamu boleh nggak percaya, tapi bagi kalangan atas, menjadikan pernikahan dan pertunangan sebagai perangkat bisnis itu sudah biasa. Bahkan, terkadang menjadi suatu keharusan ketika perusahaan mengalami kondisi genting dan butuh diselamatkan. Penggabungan keduanya tentu membawa dampak besar, menguatkan posisi dan bisa meningkatkan harga saham. Karen sudah paham akan hal itu karena kedua orang tuanya pun menikah juga bukan karena cinta, tapi demi keberlangsungan bisnis yang lebih menguntungkan."

Robi mendenguas. "Kau setuju dengan aturan konyol itu?"

"Hmm, ini bukan perkara setuju atau tidak, Bi. Hanya skala prioritas saja. Dan jangan menatapku dengan pandangan menuduh begitu!" Yura mendelik garang ketika sang suami mencibir ke arahnya. "Faktanya sekarang aku istrimu!"

Robi tersenyum. "Yup," ujarnya sambil meraup wajah sang istri dan mencium keningnya cukup lama. "Aku lelaki paling beruntung memang."

"Ya sudah, aku mau kembali memasak." Yura menarik diri menjauh dari suaminya karena bila tidak, ia tak bisa membayangkan ke mana itu akan berakhir. Robi bisa saja tak memedulikan keberadaan Mas Aris dan menyerangnya di situ juga. Jadi, sebelum itu terjadi, ia harus lekas menghindar.

***

Sekitar pukul enam pagi sarapan sudah siap dan Robi berhasil menyeret Aris untuk duduk di meja makan. Namun, sama seperti semalam dia hanya duduk diam menatap kosong ke arah meja makan.

"Makanlah meski dikit." Robi mengambil sendok dan memaksa Aris memegangnya. "Sumpah, ya, jangan minta suapin."

Aris menoleh sekilas ke arah Robi berusaha tersenyum mendengar ucapan kawannya itu, tetapi karena hatinya masih terasa nyeri senyum yang ia paksakan justru tampak seperti seringai menyedihkan. Ia tak tahu bagaimana cara menghadapi itu semua. Rasa sakit dan terpukul yang begi dahsyat. Andai saja sejak awal ia tahu Karen bukanlah malaikat yang mudah ia jangkau untuk dimiliki, ia tak akan pernah menaruh harapan sebesar itu. Akan tetapi, Karen tak pernah menunjukkan itu. Dia selalu bersikap seolah mereka adala dua sejoli yang sangat serasi.

Karen menunggunya dengan sabar dan tenang ketika ia masih harus mengunci semua gelas dan gedung-gedung di kampus supaya mereka bisa pulang bersama. Gadis itu tak pernah menunjukkan sikap bahwa di antara mereka ada jurang terlalu dalam yang membentang. Dia juga tak pernah merasa risih ketika ia hanya mampu membelikan Ayam Geprek paket hemat dengan harga sepuluh ribu sudah include es teh atau semangkuk bakso murahan di pinggir jalan.

Aris memejamkan mata menahan perih di hati ketika mengingat bagaimana Karen mengusap peluh di dahinya saat menunggu dirinya membersihkan beberapa bilik toilet di gedung kampus. Tidak pernah nampak ekspresi jijik atau keberatan di wajah malaikatnya itu hingga ia yakin bahwa cintanya dan Karen sangat tulus. Bahkan, ia percaya bahwa cinta bisa mengalahkan segala hambatan yang ada.

Karen, batinnya dengan hati berdenyut nyeri. Apakah semua sikap dan cintamu selama ini palsu?

"Brengsek!" Aris mendengar Robi mengumpat keras. "Buka mulutmu, sialan! Kalau kubiarkan kau terus begini, lama-lama kau bisa berakhir di rumah sakit dan mati!"

"Bi!" Yura menegur sang suami.

"Tunggu saja sampai Furi datang. Kusuruh dia buka paksa mulutnya. Mau mati dia?" Robi terus mengomel sendiri. "Mana pula si Furi, lama banget."

"Bi, sabar, dong."

"Kagak bisa. Bentar lagi aku harus kerja. Dia harus makan sebelum diantar Furi berangkat kerja atau bisa kena pecat dia."

"Ya sudah, biar aku saja yang oencetin hidungnya biar dia buka mulut, nanti kamu suapin makannya."

"Apa? Enak aja mau mau sentuh-sentuh cowok lain!"

Antidotum (Cinta Manusia Biasa 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang