04.00

10 2 0
                                    

Saat hendak memasuki toko, ia menyipitkan mata guna memperjelas pandangan, menatap sosok wanita yang terlihat familier keluar dari gang kecil di antara impitan pertokoan. "Ninis?"

Perempuan yang semula sibuk dengan ponsel di genggamannya, kini menoleh ke arah sumber suara dengan ekspresi terkejut. "Eh? Al?"

"Habis dari mana?" tanya Alastar seraya menatap gang kecil yang terlihat sempit dan jarang di lalu-lalang oleh orang.

Perempuan itu mengikuti arah pandang Alastar, lalu dengan nada kikuk ia menjawab, "Eum, aku freelance di toko frozen food ini, Al."

Mengernyit, Alastar bertanya, "Lo ambil cuti?"

"Enggak. Semester sekarang aku ambil kelas siang. Kebetulan lagi butuh uang lebih juga," kata Nishkaina. Detik berikutnya, wanita itu kembali berujar dengan raut wajah panik dan suara yang gelagapan. "Ah! Bukan ... bukan berarti gaji dari kamu terlalu kecil. Enggak, sama sekali enggak gitu."

Alastar tertawa kecil melihat tingkah Nishkaina. "Gue enggak ngomong apa-apa, loh."

Pipi dan telinga Nishkaina memerah. Perempuan itu segera menutup setengah wajah dengan telapak tangannya. Malu sekali! "Ya, kan, siapa tahu kamu berasumsi kayak gitu."

"Iya, iya, gue paham. Lo udah makan?" tanya Alastar. Cowok jangkung itu melangkah masuk menuju toko frozen food dengan tangan menggenggam erat plastik makanan yang tadi dibeli.

Tungkainya mengikuti Alastar dari belakang, jemari wanita muda itu terulur ke arah kantong plastik besar sembari berucap, "Sini, aku bantu bawa."

Alastar menyerahkan tanpa ragu. Netranya fokus memilih beberapa bungkus nuget yang akan dibeli. "Lo udah makan belum?"

"Belum. Nanti pas di kampus aja," jawab Nishkaina seadanya.

Ekor matanya melirik sekilas ke arah belakang. "Makan bareng aja di rumah. Ada adik perempuan gue juga. Ah, mulai sekarang dan ke depannya dia bakal tinggal bareng gue."

Nishkaina tampak antusias, ia berjalan ke depan Alastar lalu tersenyum lebar. "Serius? Wah, seneng nih, brother yang satu ini."

Alastar tersenyum lepas, terlihat jelas jika pria itu sangat bahagia. "Tentu aja. Udah berapa tahun gue enggak bisa tinggal bareng adik kandung gue sendiri. Cuma, ya ... gitu."

"Gitu gimana?" tanya wanita itu penasaran.

"Gue cuma ngerasa kayak udah dimaafin. Gue ngerasa ... apa, ya. Gini, loh, 'emang pantes, ya, gue—Abang yang enggak becus ini— bisa dapet maaf dengan mudah' gitulah," ucap Alastar seraya mengambil keranjang belanja yang berada di samping meja kasir.

"Kalau adik kamu udah nerima kamu, ya, berarti enggak apa-apa. Jangan dibuat rumit lagi, Al." Nishkaina menepuk pelan punggung Alastar yang mencoba memasukkan banyak nuget ke keranjang. "Tiga bungkus aja, jangan langsung banyak."

Alastar mengaduh lalu menatap Nishkaina dengan wajah memelas. Merasa tidak ada tanggapan dari perempuan itu, akhirnya dengan terpaksa ia meletakkan kembali beberapa bungkus nuget ke chest freezer. "Gue bukannya mau memperumit. Cuma susah dipercaya aja gitu."

"Dengan tinggal sama kamu, mungkin adik kamu mulai berdamai dengan diri sendiri dan keadaannya yang sekarang. Dia lagi ngasih kesempatan untuk kam—"

Alastar memotong. "Kalau bakso, mending berapa bungkus?"

"Itu isinya yang sepuluh, ya? 5 bungkus aja, cukup," jawab Nishkaina. "Duke ada di rumah juga enggak?"

Alastar menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa nanyain dia?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 15 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pra; Kenangan yang Berpulang [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang