03.00

13 5 0
                                    

Duke tidak bisa menonton acara live musik dengan perasaan tenang. Pria itu merasa lelah sebab kemarin malam begadang tanpa tidur barang sedetik pun. Ditambah, kini harus berduaan dengan orang yang bahkan tidak dikenalinya. Tentu saja selain nama, ia tidak mengetahui apapun tentang gadis itu.

Selama hampir 20 menit, tidak ada suara yang terdengar selain suara dari televisi. Duke penasaran, akhirnya ia pun menoleh ke belakang. Menatap gadis asing yang sekarang terlihat mengantuk, dengan posisi yang sekali lihat saja bisa tahu jika posisi tersebut sangat tidak nyaman.

Dengan penuh keberanian dan sedikit rasa kasihan, pria itu berdiri di hadapan Prayesha. jemarinya terulur pada kedua kelopak mata berbulu lentik itu."Tutup, jangan dipaksain kalau cape. Tidur."

Setelah mengatakan itu, Duke merasa Prayesha mulai terlelap. Jelas sekali jika gadis berpostur kecil itu kelelahan—sama sepertinya.

"Ngerepotin banget, sih. Masa yang kayak ginian mau tinggal di rumah ini?" gumam Duke dengan tangan kanan yang menyelinap ke belakang leher dan tangan kiri yang berada di belakang lutut gadis itu.

Mengangkat perlahan ke samping— agar tidur terlentang. Tidak lupa juga, pria itu meletakkan throw pillow di bawah kepala Prayesha.

Untung aja dia enggak berat. Duke memandang wajah Prayesha dengan seksama. Hanya ada sedikit kemiripan antara gadis itu dengan Alastar. Namun, dengan pasti ia tidak akan menyangkal jika gadis yang tengah terlelap itu terlihat cukup indah.

Satu detik kemudian, Duke terdiam. Tiba-tiba dia merinding dan merasa aneh sendiri dengan isi kepalanya barusan. Indah? Gila, gue mikir apaan, sih?

Menggeleng-geleng kepala beberapa kali, Duke terus menyangkal asumsi gilanya tadi. Segera mata legam pria itu terlihat menajam, memandangi Prayesha. "Lo ngerepotin."

Setelah mengatakan itu, Duke kembali ke posisi semula. Duduk menyamping dengan kedua kaki yang menggantung di lengan sofa. Mungkin karena musik yang berputar memiliki nada melankolis, semakin didengar pria itu semakin tidak mampu melawan rasa kantuknya.

———

Alastar menghabiskan sekitar 40 menit untuk membereskan kamar tidur dan membersihkan diri. Setelah menyisir rambut dengan tangannya sendiri, pemuda itu berjalan menuju ruang televisi tempat Duke dan Prayesha berada.

Langkahnya terhenti tepat di samping Prayesha yang tertidur pulas dengan posisi terlentang. Ia tersenyum tulus dan mengulurkan tangannya, mengelus pucuk kepala gadis itu. "Selamat tidur, kesayangannya Abang."

Beralih mendekati Duke, Alastar cukup terkejut melihat pria itu tertidur pulas dengan posisi menyamping dan kaki yang menggantung di lengan sofa.

Sejauh yang diketahuinya, Duke bukanlah orang yang mudah tidur di sembarangan tempat seperti ini. "Pasti begadang ni bocah," gumamnya pelan.

Alastar menjauhkan diri dari sana. Pria berkaus putih polos dipadu dengan celana jeans hitam selutut itu berjalan ke arah dapur; mengecek persediaan bahan makanan. Namun, nihil. Hanya ada snack ringan, mie instan dan sereal yang biasa ia makan untuk sarapan.

Di hari Sabtu dan Minggu, Alastar selalu makan di bistro miliknya atau di resto sekitaran taman kota sekalian refreshing. Sedangkan Duke, biasanya kembali pada malam hari, di hari Minggu setelah sehari sebelumnya pulang ke rumah utama.

Maka dari itu, ia selalu meminta Nishkaina—Ninis, agar tidak menyediakan stok makanan berat untuk persediaan di hari weekend.

Namun, kali ini berbeda. Prayesha ada di sini, begitu juga dengan Duke. Alastar berjalan kembali ke kamar, mengambil dompet dan kembali menuruni tangga. Pemuda itu melangkah menuju laundry room, mengambil dua selimut bersih dari lemari kayu tanpa kaca berukuran jumbo yang ada di sana.

Dengan telaten, Alastar menyelimuti Prayesha. Gadis itu sedikit menggeliat—merasa tidak nyaman. Namun, setelahnya kembali tertidur pulas. Beralih ke arah Duke, pemuda itu melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan pada Prayesha.

Setelah selesai, Alastar menghela napas, lega. "Berasa punya dua adek kalau gini."

Pemuda itu melangkah menuju bufet dekat pintu utama. Mengambil kunci motor yang ada di laci, lalu berjalan keluar. Mendorong motor hitam kesayangannya dari garasi, tanpa menyalakan mesin hingga ke luar gerbang yang sebelumnya telah ia buka.

Setelah menutup gerbang dan memastikan ulang jika pintu utama tertutup, Alastar melaju dengan kecepatan sedang. Ia berkendara sembari menimbang makanan apa yang harus ia beli. Ayam goreng bumbu sama sup bakso oke juga kayaknya.

Alastar memarkir motor di depan bistro miliknya yang terlihat ramai. Pria itu masuk ke dalam, lalu duduk di kursi bar sembari mengambil kertas pesanan yang ada di sana.

"Eh, Mas Alastar, tumben kok enggak makan di sini?" Kiran—pegawai bistro yang bekerja sebagai staff pelayan itu menyapanya dengan ramah. "Supnya tiga porsi dan ayam bumbu satu ekor, nih? Wah, lagi ada tamu, ya, Mas, di rumahnya?" tanyanya lagi setelah menerima kertas tersebut.

Alastar tersenyum lalu menjawab, "Iya. Saya tunggu, ya."

Pipi Kiran merah merona tatkala mendapat senyuman dari seorang Alastar. Gadis itu mengacungkan jempol tangan kanannya sembari tersenyum malu-malu. "Siap, Mas."

Sepeninggalan Kiran, Banyu— orang kepercayaan Alastar sekaligus pengurus laporan administrasi bistro menghampirinya. "Tumben ke sini pagi, Mas, biasanya siang atau sorean."

Alastar menoleh lalu ber-high five. "Udah jam 10 ini, udah siang."

Banyu tertawa sembari membalas tos. "Iya, juga, ya." Pemuda itu duduk di samping Alastar, lalu bertanya, "Take away, mas?"

Alastar mengangguk. "Oh, iya, laporan buat minggu ini kirim ke email saya aja, ya. Bisa?"

"Bisa, Mas. Besok sore saya kirim, ya," jawab Banyu.

"Enggak ada masalah, kan?" tanya Alastar dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang secara bergantian mengetuk-ngetuk meja bar.

Banyu menggeleng. "Enggak ada, Mas. Proposal penambahan beberapa furnitur yang minggu lalu di ACC sama Mas juga sudah mulai dipesan sesuai rancangan. Beberapa barang masih di perjalanan, jadi laporan keuangannya akan saya kirim begitu semua barang sampai."

Alastar manggut-manggut, tanda mengerti. Obrolan terus berlanjut sekitar 25 menit hingga akhirnya Kiran menghampiri mereka dengan tangan yang membawa plastik berlogo 'Yesha semi-Bar & Bistro' juga bill pembayaran. "Semuanya 248 ribu. Mau bayar pake cash, kartu, QRIS atau e-wallet, Mas?"

"Cash aja, bentar." Alastar mengeluarkan dompet cokelat tua, lalu mengambil uang 100 ribuan dua dan 50 ribuan satu. "Nih. Thank you."

Kiran menuju meja kasir, merapikan uang yang diberikan Alastar lalu mengambil satu lembar uang dua ribu.

Alastar mengambil plastik di meja, lalu menepuk pelan pundak Banyu. "Titip, ya."

Banyu sedikit membungkuk lalu berkata, " Siap, Mas."

"Eh, kembaliannya," kata Kiran dengan raut wajah kecewa melihat Alastar yang kini tengah menarik pintu bistro dan berjalan ke arah parkiran.

Banyu menatap Kiran dengan air muka datar. "Masukin kotak amal aja kembaliannya."

"Gitu, ya? Oke, deh." Kiran berjalan lesu menuju kotak amal yang berada di depan kasir. Melipat uang kertas tersebut menjadi kecil, lalu mendorongnya agar masuk.

———

Alastar memarkir kendaraan beroda duanya di depan toko frozen food. Niat ingin langsung pulang menjadi urung, ketika teringat jika Prayesha sangat menyukai nuget, baso, dan sosis goreng.

Saat hendak memasuki toko, Alastar dikejutkan oleh sesosok wanita yang terlihat familier keluar dari gang kecil di antara impitan pertokoan. "Ninis?"

—————

Jangan lupa tap bintang sebelum tutup chapter ini, ya!

Sudah?

Thank you, Darl :)

Pra; Kenangan yang Berpulang [On Going]Where stories live. Discover now