Chapter 3

4K 851 136
                                    



Happy Reading


***
Matahari menyingsing cukup tinggi, Satria mengerjap cepat sambil memegang kepala saat pening hebat mendera—membuat bibirnya mendesis kesal.

"Gue minum kebanyakan kayaknya!" Berusaha duduk, matanya masih sesekali dipejamkan sambil menggeleng-gelengkan kepala untuk menggali kesadaran. "Rain, ambilin gue minum!"

Ditunggu beberapa saat, tidak ada sahutan dari anak itu.

"Setan kecil, ambilin gua minum. Jangan pura-pura budeg lu. Masih terlalu pagi, jangan ngajak ribut!"

Tetap tidak ada sahutan, Satria membuka matanya lagi lebih lebar dan menggertakkan rahang bersiap ingin memakinya.

"Anak anj—" bibirnya urung mengumpat ketika di samping bantal, melihat ada plastik Alfa. Ia mengambil, mengecek isinya yang ternyata ada Susu Beruang dan roti sobek kesukaannya. Satria tersenyum kecil, senang. "Dasar anak setan, baru juga mau gue kutuk lu jadi duit se-M. Untung masih berbakti."

Tak menunggu lama, Satria langsung membuka kaleng susu, menenggaknya sekali tandas. Dilanjut makan roti dengan lahap, perutnya memang sangat lapar karena dari sore kemarin belum makan sama sekali. Duitnya dipakai untuk taruhan Bola, sialnya ia kalah hingga tidak bersisa. Ingin ngutang di warteg-warteg depan, tidak enak pada Rainey karena baru selesai melunasi. Jika ketahuan, pasti anak itu akan mengomelinya sepanjang hari. Diberi jeda dulu, mungkin besok ia akan kembali ke sana.

Satria belum kenyang, tetapi roti sobek yang dibawakan Rain sengaja tidak dihabiskan dan diikat. Hanya dimakan dua sisir, sisanya untuk sarapan anak itu.

Ia bangkit dari lantai dan berjalan ke luar dari kamar yang cuma dihalangi oleh gorden tipis. Sementara kamar Rainey, meskipun cuma berbahan kayu triplek, tetap disediakan pintu agar anaknya ada privasi.

"Rain, lu masih molor jam segini?" Satria mengedarkan pandangan ke seisi kontrakan sempit itu, mengecek jam dinding sudah menunjukkan pukul 8. "Tumben amat lu belum bangun jam segini? Anak cewek, males amat. Beberes lah, jangan betingkah!"

Satria berjalan menuju pintu depan agar ada sedikit hawa dan membuka gorden supaya cahaya Matahari bisa menembus ke dalam ruangan yang pengap ini.

Tidak ada tanda-tanda Rainey akan keluar dari kamar, Satria mengetuk pintunya dua kali. "Gua masuk!" Ia mendorong pintu, menemukan Rainey yang masih tergelung sepenuhnya oleh selimut dari bawah sampai atas. "Heh, bangun lu. Udah jam berapa ini? Enak amat jam segini masih molor!"

Rainey tetap tidak menyahuti cicitan Satria, semakin membenamkan kepala pada bantal.

"Lu kenapa? Mending masak apa kek buat sarapan. Gue laper."

"Gue udah beliin roti sama susu. Ganjel itu dulu." Gumam Rainey pelan, belum bergerak. "Mending keluar, jangan ganggu gue. Gue butuh istirahat lebih!"

Satria yang semula cuma bersandar di pintu, mengerutkan kening heran sambil mendekati ranjang. Tidak biasanya anak itu masih bergulat di dalam selimut pukul segini.

"Lu kenapa? Sakit?" sambil menepuk punggungnya. "Coba buka itu selimut, gue mau lihat muka lo."

"Gue nggak kenapa-napa. Sana keluar, berisik!"

"Lu abis digebukin warga semalem? Lu ketahuan?!" Satria coba menarik selimut Rainey untuk melihat kondisinya. "Mana coba gue cek?! Mana tahu gue bisa obati."

Dengan jengkel, Rainey menarik selimut itu kembali dan mendesis geram. "Gue nggak kenapa-napa. Udah sana lo keluar, tolong biarin gue tidur lebih lama hari ini. Gue capek banget!"

Rain in London Where stories live. Discover now