Chapter 2

4.4K 918 81
                                    

23 Tahun Kemudian

***
Gemerlap dunia malam bukan lagi hal asing baginya. Suara musik DJ yang memekakan gendang telinga, membuat para pengunjung semakin liar berjoget di lantai dansa. Ia mengangguk-anggukan kepala menikmati irama, sambil mengunyah permen karet—mencari mangsa. Matanya dilarikan ke sana-ke mari, menelaah situasi, duduk di salah satu kursi yang tidak terlalu menarik perhatian orang sambil menunggu kesadaran si calon korban sedikit hilang agar tidak terlalu merepotkan saat melakukan aksinya. Sungguh keji, bukan? Tapi, kehilangan beberapa lembar uang seharusnya tidak dipermasalahkan oleh mereka yang menghabiskan uangnya pada hal sia-sia. Anggap sedang sedekah pada orang tak punya.

Tubuh mereka berkerumun di satu titik, saling menempel, tabrak-menabrak tak bisa dihindari antar si pencari hiburan untuk melepaskan beban, Atau, sekadar bersenang-senang menghilangkan kepenatan. Sebagian besar dari mereka sudah dikendalikan oleh alkohol, bergeliat seperti orang kerasukan seolah tak ada hari esok sambil berseru tanpa malu. Pemandangan gila, tetapi ladang duit baginya.

Ya, bermabok-maboklah kalian. Dan stress kemudian.

"Rain, lo mau minum lagi nggak?" tanya bartender yang sudah kenal dekat dengannya. "Orange juice?"

"Nggak, Kal. Gue udah mau balik. Semoga malam ini Ikan yang ditangkap cukup besar, nggak se-teri kemaren." Rainey turun dari kursi bar, menepuk bisep lengan teman baiknya sebagai perpisahan. "Tolong doain gue semoga berhasil. Jangan pasang wajah pait gitu, makin jelek lo. Gue jadi nggak enak ninggalinnya."

"Najis harus doain orang yang merencanakan kriminal. Duitnya lu yang telen, tapi gue ikut kecipratan dosanya. Tobat lu, Rain!"

"Iya Pak Ustadz, maaf kalau begitu. Nanti tolong bawa gue ke jalan yang lurus kalau gue udah kaya. Sekarang, gue perlu duit, gue perlu makan, biar nggak mati cepet. Kalau lo bisa mencukupi sih, gapapa, dengan senang hati gue bakal berhenti dari dunia hitam ini." Rainey mengedipkan satu matanya, sambil mengusap dagu Haykal yang ditumbuhi bulu-bulu halus. "Kalau aja kita nggak sepersusuan, udah gue nikahin lu!"

"Siapa yang mau sama perempuan bar-bar kayak lo? Dih, ogah!"

"Gini-gini juga gue masih rapet."

Haykal menoyor kening Rainey, perempuan tengil berpenampilan urakkan itu cuma terkekeh ringan.

"Udah udah pergi sana lo. Enyah dari hadapan gue. Males dengerin orang nggak waras!"

"Jangan kangen." Rainey menyeringai, lalu membetulkan topi hitamnya untuk menutupi sebagian wajah. "Gue pengin malam ini cepat berakhir. Gue pengin cepet pulang dan rebahan di kamar. Capek banget." Katanya, sambil mengembuskan napas panjang.

"Tetap hidup sampe besok."

Setengah wajah Rainey sudah tak terlalu kentara, apalagi jika dia agak menundukkan kepala. Sepenuhnya, perempuan itu semakin tidak dikenali.

"Semoga..." balasnya pelan, setiap kali ia akan pergi memasuki medan perang—harapan yang sama selalu diucapkan Haykal. Dia hanya ingin dirinya tetap hidup sampai besok. Sederhana, tapi dipenuhi banyak makna.

"Harus! Biasanya Pendosa kayak lo umurnya panjang."

Rainey tertawa ringan, tidak menanggapi serius ucapan Haykal yang sudah ia anggap seperti Kakak kandungnya sendiri. Ditambah, mereka berbagi darah yang sama untuk bertahan hidup. Sehingga baik dan buruknya Rainey termasuk pekerjaan paling kotor yang selama ini ia geluti sekaligus jadi keahliannya, Haykal sudah tahu semua. Rainey tidak pernah menutupi apa pun darinya. Mereka tumbuh bersama selama 23 tahun ini, sehingga hanya dengan saling menatap saja, tidak ada kebohongan yang bisa lolos.

"Ya, ya, lo bener." Rainey berbalik, sambil melambaikan tangan. "Sampai ketemu nanti, brother. Gue kerja dulu!"

"Hooh, bye. Take care anak nakal!"

Rain in London Where stories live. Discover now