Chapter 8

4.2K 856 131
                                    

Happy Reading

Setelah urusan di perusahaan Ayahnya selesai, London memutuskan langsung izin pulang meski beliau tetap memberinya tumpukan dokumen yang diminta untuk dipelajari demi kepentingan masa depan—katanya. London paham, beliau hanya ingin dirinya mengerti lebih banyak tentang bisnis keluarga mereka karena masih menaruh harapan ia bisa ikut melanjutkan XNR Group suatu saat nanti. Rigel selalu meyakinkan bahwa London sangat berhak berada di tempat itu, sebab bagaimanapun juga ia tetap anak kandungnya meskipun tidak dihasilkan dari pernikahan sah bersama Sea.

Itu memang benar. Tapi, London cukup tahu diri. Masih banyak anak Ayahnya yang lebih berhak daripada dirinya—dan diakui secara sah oleh Negara dengan perempuan yang dicintai beliau.

Tak ingin memperpanjang obrolan sebab hari sudah mulai mendung, London mengambil tumpukan berkas yang disodorkan tanpa banyak berkomentar. Ia sedang tidak dalam mood yang bisa diajak beragumentasi oleh siapa pun. Satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini—adalah mencari cara agar bisa cepat bertemu dengan si maling itu. Tidak peduli jalan apa yang harus ditempuh, ia harus bisa segera menemukan dompetnya.

Bergegas, mobil membelah jalanan Ibu Kota yang cukup padat merayap sebab bersamaan dengan kepulangan anak-anak sekolah. Semoga hujan tidak turun meski awan pekat sudah mulai mengelilingi gedung-gedung tinggi pencakar langit. Sesekali mengecek alamat yang diberikan oleh orang bayarannya di layar ponsel, London fokus menyetir ke alamat tujuan. Berada di pinggiran Kota sesuai informasi, hampir 1,5 jam perjalanan dan beberapa kali sempat salah tempat, dirinya baru tiba di depan gang daerah pemukiman padat penduduk yang sangat kotor, kumuh, dan jauh dari kata layak—membuatnya tercengang seperkian detik, kehilangan kalimat.

Mula-mula berusaha mencari jalan yang cukup lebar agar bisa dilalui mobil, tapi setelah berputar-putar mengelilingi area itu, London kembali ke tempat semula, nihil. Semua gang sempit, hanya bisa dilalui oleh motor kurang lebih 1 meteran jarak antar sesama bangunan. Miris.

Pada akhirnya, London memarkirkan mobil sport hitamnya di depan sebuah warung kelontong kecil yang banyak menjual minuman keras. Tak ingin terlalu memedulikan, tetapi matanya tidak bisa mengabaikan keadaan setiap warung yang berdebu seperti tak berpenghuni sekian tahun. Padahal si pemilik sedang asyik bermain ponsel di dalam, kini tampak berdiri memerhatikan dengan penasaran di tengah pintu—mengecek, siapa yang datang.

Jika bukan karena benda berharga yang ada di sana, sepertinya London tidak akan sanggup untuk mendaratkan kaki di area itu. Rasanya seumur hidup, baru kali ini ia mendatangi sebuah lokasi dan speechless dibuatnya. Sisi gelap Jakarta yang dihuni oleh ribuan Jiwa, bahkan banyak bedeng-bedeng didirikan di bawah jembatan layang yang biasa dilewati mobil, tidak disangka di bawahnya diisi oleh banyak nyawa.

Seperti sedang ditampar realita atau hanya salah satu mimpi buruk yang terasa nyata, London masih membatu di jok mobilnya—mengedarkan pandangan ke seluruh area pemukiman padat yang ada di hadapan. Miris, mengapa di zaman secanggih sekarang masih ada orang-orang yang hidup dalam garis kemiskinan separah ini?

"Ya Tuhan... bagaimana bisa mereka hidup di tempat sekotor itu?" lirihnya, sambil menerawangkan pandangan ke segala sisi.

Banyak anak-anak di bawah umur berpenampilan tak terurus duduk di bawah jembatan memegang barang dagangan, padahal seharusnya di usia segitu tugas mereka hanya fokus belajar.

Hiruk-pikuk Ibu Kota yang gemerlap nan mewah, seketika terlupakan oleh kekumuhan lokasi yang terpampang nyata di depan mata. Mengerikan, tumpukan sampah berserak hampir di mana-mana, dengan kali berlumpur hitam pekat menyimpan begitu banyak sarang penyakit.

Setelah cukup tenang, London baru berani keluar dari mobil. Hampir semua orang memerhatikan kedatangannya, ternganga melihat secerah apa kulitnya padahal dalam naungan awan hitam—dia masih bersinar seolah berada di bawah teriknya matahari. Seketika, dia menjadi pusat perhatian banyak orang. Mereka jarang sekali melihat mobil semahal itu terparkir di daerah sini, semakin tercengang saat melihat paras si pengendara yang tampak tak nyata dan glowing.

Rain in London Where stories live. Discover now