Chapter 14

3.2K 616 108
                                    

Happy Reading



***
Rain, bangun. Udah siang lu, ntar keburu digembok gerbangnya." Satria mengguncang bahu kecil Rainey yang untuk kesekian kali, masih tidak mau beranjak dari tempat tidur. "Gua siram ya kalau sekali lagi dibangunin, masih belum gerak juga!"

"Siram aja, nanti Bapak juga yang repot ngeringin kasur." Gumam Rainey tak peduli, masih menutup mata.

Satria menggaruk kepala jengkel, mengembuskan napas panjang—setiap hari harus bergelut dengan watak Rainey yang keras kepala.

"Gue nggak mau tahu lu harus bangun sekarang. Gue udah beliin sarapan, lu makan buruan!" Satria berkacak pinggang sambil memerhatikan putrinya yang masih mengulet di kasur. "Lu mau jadi kayak gue? Hidup nggak jelas arahnya kalau lu nggak sekolah. Zaman sekarang SMP aja nggak lulus, mau kerja apa?!"

"Jualan lah kayak biasa. Dapet duit, nggak perlu sekolah." Rainey menaikkan selimut lebih tinggi. "Aku nggak mau sekolah pokoknya, kecuali dianter pake motor!"

"Pake motor-motoran, mau?" Satria mendecak, "sepeda aja kita nggak punya. Boro-boro motor. Lu sabar dulu, ntar gue beli kalau udah ada duit."

"Dari tahun lalu gitu mulu ngomongnya. Sampe sekarang motor-motoran pun nggak kebeli!"

"Gue bilang juga sabar. Lu pikir beli motor cukup duit goceng? Gue beli seratus biji kalau iya!"

"Bapak nggak tahu sih...,"

"Tahu apaan?" Satria mengernyit, sambil menarik-narik tangan Rainey. "Buruan, lu jangan susah diatur gini. Lama-lama urat leher gue putus nih!"

"Siapa suruh ngomong kayak pake Toa Masjid. Sekampung bisa denger."

"Ya makanya lu jangan bikin gue kesel terus. Buruan bangun. Nggak nurut, gue kresekin lu, gue jual ke penadah organ!"

Rainey akhirnya sudi membuka mata, bangkit duduk dan menatap Satria dengan kesal. "Aku dicegatin mulu sama anak-anak kampung sebelah kalau jalan kaki. Dipalakin duit tiap hari, jadi nyampe sekolah nggak pernah jajan. Mau minum aja kadang pake air kran toilet karena udah nggak disediain galon lagi di sekolah!"

Satria kaget mendengar keluhan Rainey yang tiba-tiba meninggikan suara, lalu membanting tubuhnya lagi ke kasur.

"Pokoknya aku nggak mau sekolah lagi. Terserah Bapak kalau mau marah, aku nggak peduli!"

Satria masih mencerna ucapan Rainey. Dalam sesaat, ruangan itu hening, tidak ada yang bersuara lagi.

Tiba-tiba, tubuh Rainey diangkat, dipanggul ke bahu oleh Satria dan dibawanya ke kamar mandi.

"Bapakk! Lepasin! Aku nggak mau sekolah. Nggak mau pokoknya!" Rainey memberontak sepanjang jalan. Badannya diletakkan di tengah lantai kamar mandi, Satria mengambilkan handuk dan menutup pintu.

Rainey menggebrak pintu kamar mandi sambil merengek nelangsa, "Pak, aku nggak mau sekolah. Tolong kasihanilah aku!"

"Buruan mandi. Nanti gue anter!"

"Beneran yaa...?!"

"Iye bener. Cepetan!"

Mendengar ucapan meyakinkan Ayahnya, barulah Rainey bersedia mandi.

Tak butuh waktu lama, Rainey sudah rapi mengenakan seragam sekolah. Keluar dari kamar, ia berjalan ke meja makan dan menarik kursi plastik untuk menyantap sarapan sambil mengedarkan pandangan mencari-cari keberadaan Satria yang tidak terlihat sejak tadi.

"Bapak, aku udah selesai. Ayo sarapan bareng, nanti kesiangan!" Rainey mengunyah uduk yang sudah disediakan, melarikan pandangan ke segala arah. "Satria, awas aja ya kalau bohongin. Gue nggak akan lagi mau sekolah sampe kapan pun!"

Rain in London Where stories live. Discover now