Enam: Aku, Kamu dan Pertemuan

21 4 0
                                    

Now Playing: Daylight-Taylor Swift

Membaca buku adalah salah satu cara yang bisa kulakukan untuk menghilangkan stress. Aku sudah mencintai membaca buku sejak pertama kali aku mulai bisa membaca. Kira-kira saat usiaku 5 tahun. Ayahku sering membelikanku buku, buku anak-anak yang bergambar dan saat aku mulai beranjak remaja, aku pertama kalinya dibelikan novel remaja yang berisikan cerita romantis. Dari situlah awal aku mencintai buku dan mengenal tentang cinta.

Saat sedang banyak pikiran atau moodku sedang tidak bagus, aku biasanya akan pergi ke toko buku dan berlama-lama disana. Walaupun pada akhirnya, saat aku keluar dari toko buku, aku hanya membeli satu buku.

Melihat jejeran buku dirak toko, seakan memberikanku semacam healing dan melupakan sejenak beban pikiranku karena fokus membaca sinopsis disetiap buku yang menarik bagiku.

Hari inipun aku akan mengunjungi toko buku. Aku merasa mulai penat dengan aktifitas yang kujalani. Dan satu-satunya cara untuk menghilangkan beban pikiranku adalah dengan mengunjungi toko buku. Mumpung hari ini tidak ada jadwal kuliah.

Semalam, sempat aku mengajak Mila, tetapi ia menolakku, katanya dia sedang sibuk mengikuti kepanitian kampus yang akan mengadakan sebuah event. Event itu akan dilaksanakan sebentar lagi dan aku memakluminya. Dia pasti saat ini sedang sibuk-sibuknya.

Tentang kelompokku yang beberapa hari sempat bermasalah, kini sudah sedikit teratasi. Walaupun tak banyak yang berubah, setidaknya Rachel dan Adam berkontribusi mengerjakan tugas kelompok ini bersama. Ternyata ultimatumku pada saat itu berhasil.

Dan omong-omong tentang akun instagramku yang sempat difollow oleh Raka sedikit memengaruhi moodku pada saat itu yang sebenarnya sedikit rusak oleh perkara tugas kelompok. Dan ternyata dampaknya lumayan besar. Aku sangat senang, mengingat dulu ketika aku memfollow akun Raka yang berakhir tidak diacc. Berhari-hari aku memandangi ponselku menatap notifikasi yang muncul bahwa Raka memfollow Instagramku. Namun, setelahnya aku sadar, sebesar apapun rasa senangku terhadap hal ini, itu tidak akan merubah kenyataan bahwa Raka akan membalas perasaanku. Itu terlalu konyol dan tidak masuk akal. Aku juga membenci diriku kenapa bisa sesenang itu hanya mendapat notifikasi dari Raka padahal itu sebenarnya hal yang sangat biasa.

Aku sempat memikirkan untuk melupakan Raka. Aku memikirkan itu, karena aku merasa entah sampai kapan aku bisa membuka diri jika aku terus saja mengharapkan Raka. Angan-anganku yang sempat kuharap akan menjadi kenyataan, kini mulai membuatku memutuskan untuk melupakannya dan membuka hati pada siapapun yang mendekatiku, atau mulai menjatuhkan hati pada orang-orang yang kini kutemui.

Terasa sedikit nyeri dan sakit, ketika menyadari bahwa aku harus melepaskannya saat aku bahkan belum menggenggamnya.

***

Aku sudah turun dari kamarku setelah bersiap akan pergi ketoko buku.

"Mau kemana ki? Kok udah rapih aja, bukannya kata kamu sekarang enggak ada jadwal kuliah?" Tanya ibuku sambil memasak sesuatu didapur. Dari aromanya, mungkin ibu sedang memasak semur ayam. Ini pasti request dari ayah.

"Aku mau ketoko buku bu."

"Oalah, kirain kamu mau ketemu pacar, jam segini udah rapih aja."

"Halah pacar. Asal ibu tau, kayanya enggak ada yang mau sama aku deh." Jawabku asal.

"Heh! Jangan bicara kayak gitu."Ibu mematikan kompor dan menghampiriku kemudian memegang kedua pipiku.

"Enggak mungkin enggak ada yang mau sama anaknya ibu ini. Kamu nih cantik lho ki. Kamu harus pede!" Ibu mencoba menghiburku. Aku hanya menatapnya tak merespon apa-apa.

How It Ends [End]Where stories live. Discover now