2. Biang Masalah

131 22 20
                                    

"Jujur atau hancur!"

Sorot tajam Amyra ditingkahi bunyi pisau dapur yang dientakkan mencacah pisang di atas talenan kayu di depannya mendadak membuatku merinding. Aku meneguk liur yang terasa bagai gumpalan duri. 

Tidak sekadar merajuk, aku yakin kali ini dia menyimpan amarah yang sangat besar padaku. Terlihat jelas dari tatapannya yang berkobar seolah ingin membakarku hidup-hidup. 

"Jujur atau hancur!" ucapnya sekali lagi. Matanya seakan ingin melompat keluar. Sementara itu, pisau yang tadi berada dalam genggamannya telah menancap di talenan dalam posisi berdiri tegak. 

Aku meneguk ludah. Tidak pernah kulihat Amyra semarah itu. Matilah aku!

"Semalam ke mana kamu, Mas?" cercanya tak sabar. 

"Aku … lembur." Ucapan yang sialnya justru membuat amarah Amyra semakin berkobar.

"Lembur, heh? Pulang pagi dan berbau alkohol kamu bilang lembur?"

"Ada tamu dari Singapura yang harus aku jamu. Kamu tau, kan, cara kerjanya gimana?" Kulemparkan satu-satunya alasan yang melintas di otakku. Sialan! Aku sama sekali tidak bisa berpikir saat ini.

"Bullshit!"

"Amyra, percaya sama aku."

"Berengsek kamu, Mas! Laki-laki bajingan!" Bukannya tenang, dia malah memaki.

"Aku—"

"Bisa-bisanya kamu menghabiskan malam sama perempuan lain di hotel sementara aku sama Rio nungguin kamu di rumah!"

Mampus! Mau kasih alasan apa lagi kamu, Ar? Naluri istri itu kuat, ya?

"Apa kelebihan perempuan itu dibanding aku, Mas?" Bahu Amyra melorot lesu. Dia menunduk, menyembunyikan wajah—yang kuyakini basah oleh air mata—dengan telapak tangan. Tubuh rampingnya membungkuk. Siku-siku yang menempel di meja menopang tubuhnya agar tidak luruh.

"I'm sorry, Ra. I'm really sorry." Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Aku berjalan mendekati Amyra. Tangisnya semakin hebat. "Ra, please, jangan begini. Aku khilaf." 

Kusentuh bahu Amyra, tetapi dia mengelak. Tubuhnya menegak. Mata basahnya menatapku lekat. 

"Kamu nggak tau gimana hancurnya aku, Mas! Kamu nggak akan paham! Kamu memang berengsek! Sialan!" Dia terus meluapkan kemarahan dengan makian. Khas Amyra. Nyaris sepuluh tahun berumah tangga membuatku paham benar tabiatnya.

"Aku frustrasi, Ra! Dia cuma pelampiasan. Aku—" 

"Apa?" Dia menatapku nyalang. Menantang.

"Perusahaan sialan itu menghabisiku," akuku lemah.

-***-

Amyra sudah lebih tenang. Sekalipun masih marah, dia tidak lagi mengumpat seperti tadi pagi. Kini kami duduk berhadapan. Meja kayu persegi panjang menjadi penengah. Di depannya—di atas meja—selembar kertas dengan logo PT. Kaltim Finest Coal, perusahaan batu bara terbesar ke dua di Kalimantan. Surat pemutusan hubungan kerja yang kuterima kemarin.

Sialan! Sampai detik ini aku masih tidak percaya. Bagaimana bisa baktiku selama lebih sepuluh tahun di perusahaan itu berbuah pemecatan? Secara tidak hormat! Tanpa pesangon! Tanpa tunjangan! Tanpa surat rekomendasi!

Benar-benar sial!

Debas keras Amyra menarikku dari lamunan. Saat ini dia menatapku dengan tatapan sayu. Bibir merah tanpa lipstik itu melengkung ke bawah. Dia terlihat sangat sedih.

"Kamu harus banyak-banyak introspeksi diri, Mas." Dia menunjuk kertas di atas meja. "Ini yang aku takutkan. Kebiasaanmu minum-minum yang bahkan nggak mengenal tempat dan waktu. Judi. Perempuan. Kebiasaan meninggalkan lokasi di jam kerja."

"Itu alasan yang terlalu dibuat-buat, Ra! Mereka sengaja menghabisiku karena—"

"Apa?" Amyra menjerit. Dia menatapku putus asa. "Dua nyawa melayang karena keteledoran kamu, Mas! Insiden ini seharusnya bisa dihindari andai kamu berada di tempat. Kamu sebagai supervisor adalah pemimpin bagi mereka. Dan ingat, ini kali ke tiga insiden terjadi di bawah pengawasanmu."

"Harusnya mereka mengingat gimana loyalitas aku selama ini."

Melipat tangan di bawah dada, Amyra tertawa sinis. Keputusasaan yang tadi menguar di sorot matanya, berubah tajam dan meremehkan saat menatapku. Dia kembali ke mode singa yang siap menerkam mangsa.

"Bayangkan kerugian yang harus perusahaan tanggung. Pertama, ekskavator yang nyaris tenggelam. Kedua, penyelundupan bahan bakar. Ketiga, insiden tabrakan truk bermuatan yang memakan dua korban. Seloyal apa pun kamu, keteledoran kamu begini benar-benar merugikan." Amyra tersenyum hambar. Dia menyambar surat pemecatanku lalu melemparkannya tepat ke mukaku. "Kamu terlalu percaya diri, Mas! Maaf kalau ucapanku menjatuhkan. Mereka benar mengambil keputusan ini," ucapnya sebelum bangkit dan melenggang meninggalkanku.

"Berengsek!" Aku meremas kasar kertas itu hingga menjadi gumpalan besar lalu melemparkannya ke ujung ruangan.

Entah untuk siapa makian itu. Pada nasib buruk yang mendadak merusak hidupku. Pada Amyra yang begitu berani berkata seketus itu padaku. Pada perusahaan yang dengan semena-mena mendepakku. Atau mungkin pada semua hal di alam semesta ini.

-***-

Lagi-lagi malam yang dingin terpaksa kulewati sendiri karena Amyra memilih tidur di kamar Rio. Jangankan bermesraan dan melayaniku di ranjang, bertatap muka denganku saja dia enggan. Terhitung satu pekan sudah dia menghindar. Padahal, aku memerlukan dirinya untuk melewati musibah ini. Aku perlu dia untuk jadi sandaran. Aku butuh dia sebagai penyemangat dan pemberi dukungan.

Aku meraba bagian selangkangan yang menegang di bawah selimut tebal. Malang sekali nasibmu, Bro

Amyra bilang dia jijik padaku. Padahal sejak dulu dia tahu bahwa dirinya bukanlah yang pertama juga bukan satu-satunya. Walaupun pada kenyataannya setelah Rio lahir aku berhenti dari kebiasaan menyenangkan diri dengan perempuan selain Amyra.

Saat sedang meratapi nasib yang tidak lagi dinaungi bintang keberuntungan, pintu kamar tiba-tiba terbuka. Amyra melenggang masuk dengan hanya mengenakan selembar handuk melilit tubuhnya. Dia berlalu—begitu saja, seolah aku makhluk tak kasatmata—membuka pintu lemari sambil bersenandung. Handuknya terlepas, memamerkan lekuk tubuhnya yang sintal.

Aku meneguk liur menikmati pemandangan yang memanjakan mata sekaligus menyiksa selangkangan yang kedinginan tanpa lawan. Berengsek! Apa dia tau tindakannya menyiksaku?

Usai mengenakan pakaian dalam, Amyra menuju meja rias. Sebelah kakinya diangkat, menyangga pada kursi meja rias saat membaluri bagian itu dengan lotion. Saat sudah selesai, Amyra melakukan hal yang sama pada kaki sebelahnya. Seolah aku tidak ada, dia terus melakukan ritual paginya. 

Sial! Aku tidak bisa berbohong. Aku merindukan Amyra, segenap jiwa. Juga tubuh dan kehangatannya. Aku rindu menjamah dadanya yang bulat membusung, bokongnya yang padat dan sekal, juga tubuhnya yang wangi dan putih bersih. Aku rindu saat-saat dia mengerang berbagi peluh denganku. Aku rindu saat dia menyerukan namaku di saat pelepasannya. Aku rindu—

"Aku akan pulang larut."

Aku menoleh. Sejak kapan tubuh Amyra ditutupi pakaian? Dia bahkan telah selesai berdandan.

"Mas dengar, nggak, sih, aku tadi ngomong apa?"

Aku melengos sambil menggumam malas. Aku tidak peduli. Yang kuinginkan saat ini melucuti pakaiannya, menariknya ke ranjang lalu bergelut menikmati seks di pagi hari.

"Aku pulang malam lagi. Lembur," ucapnya dingin.

Ah, ya, teruskan saja! Anggap aku tidak ada. Begitu terus selama sepekan ini dan mungkin untuk hari-hari selanjutnya. Entah keberuntungan di tengah musibah atau justru menambah masalah, Amyra dan jabatan barunya. Aku merasa bagai lelaki pecundang di matanya. Sial!

Ketukan heels Amyra terdengar konstan lalu mengecil perlahan hingga suara itu menghilang menandakan perempuan itu telah pergi meninggalkanku. 

Damn!
.
.
.
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak 🥰
Jangan lupa mampir ke lapaknya Kak AhyaBee_ buat kelanjutan cerita ini. POV Amyra update setiap Senin, ya....
Samarinda, 08 Februari 2024
Salam sayang,
BrinaBear88

Is There a Second Chance for Us?Where stories live. Discover now