Pembicaraan Dengan Father

70 8 0
                                    

Parfum maskulin mulai dia hafal, membuat pria berbuntut lima itu diam-diam terkekeh. Bahunya tanpa sadar bergetar melihat kelakuan putra keduanya. Ekor matanya telah melirik beberapa kali, walau dia juga tengah membaca koran.

Kenangan semasa kecil ketiga putranya terbesit tiba-tiba. Sorot penuh kerinduan terpancar kala mengingat.

Menyeruput kopi dibawa oleh sang teman dari Kepulauan Riau. "Itu yang bersembunyi habis tinggalin tempat makan, gak habisin bekal, lupa tugas buat dibawa besok, atau pecahin barang, ya?" goda Papa Raffi dengan jahil.

Hampir saja Jamal kehilangan keseimbangan dan hendak menyenggol cas kesayangan sang Mama. Beruntunglah dia memiliki reflek cukup bagus, sehingga menopang vas agar tak terjatuh, menyeimbangkan tubuhnya sendiri agar tak terjatuh, serta tak lupa menyembunyikan kegugupan juga.

"Pa," panggil Jamal masih dengan posisi berdiri di hadapan sang Papa.

Papa Raffi mendongakkan kepala menatap putra keduanya, lalu mengangkat sebelah alis pertanda menanti kelanjutan.

"Papa." Papa Raffi berdeham sebagai balasan sang putri, yang menurutnya mulai hendak menguji kesabarannya.

"Father." Tolong ingatkan Papa Raffi untuk tidak menjadikan putranya sebagai adonan cilok. Papa Raffi mulai menatap datar putranya.

Jamal menatap liar seluruh sudut rumah lalu membasahi bibirnya. Bibirnya dia gigit-gigit tanpa sadar karena terlampau gugup. Jamal mengusap tengkuknya yang tak gatal.

"Ada apa, Nak?"

Sunyi membuat Papa Raffi menghela nafas panjang. Dia masih setia menanti penjelas sang putra, walau kesabarannya mulai menipis.

"Nak, tak maukah kau duduk saja? Tahukah kau bila leher Papa pegal mendongak?"

Senyum dengan lesung pipi yang cekung itu, membuat Papa Raffi serasa melihat ekspresi polos sang putra semasa kecil. Jamal lagi-lagi mengusap tengkuknya setelah duduk di samping sang Papa.

"Pa."

"Nak."

Tawa Papa dan anak itu mengudara kala kekompokkan terjadi. "Papa saja duluan," perintah Jamal mempersilakan.

"Kau saja Nak, Papa rasa yang ingin kau katakan jauh lebih penting."

Jamal kembali dilanda keraguan untuk bertutur kata. Dia menatap ragu sang Papa dengan curi-curi pandang.

"Pa, bolehkah Mas bercerita?"

Papa Raffi mengernyitkan dahi bingung. Mengapa juga dia tak memperbolehkan putranya bercerita? Apa alasan dia tak mengizinkan untuk bercerita? Tahukah putra-putranya bila orang tua sangat bahagia saat anak-anaknya bercerita?

"Tentu."

"Mas, berkenalan dengan gadis. Ah, hm... Lebih tepatnya dikenalkan deh, Pa."

Papa Raffi membelalakkan mata terkejut. Kecurigaan memiliki peluang kenyataan terbesit di benak.

"Dikenalkan oleh siapa? Dan gadis mana dikenalkan olehmu, Nak? Apakah kau punya potret gadis itu? Bolehkah Papa lihat bila punya?"

Boom! Jamal seketika kebingungan harus menceritakan darimana. Dia takut bila salah sedikit memilih kata, maka kemungkinan besar kecurigaan yang bangkit. Dan membuat penghuni rumah yang kesal dengannya bertambah selain sang Mama.

"Pa--Papa masih mengingat Johnny teman Mas semasa menjadi idol bukan?"

Papa Raffi memilih mematung sejenak. Tidak, tidak untuk melamun melainkan guna mengingat-ingat. "Yang Chicago itu, Mas?"

"Benar, Pa. Jadi yang dikenalkan oleh Mas adalah sepupu dari Johnny. Hm, ini fotonya, Pa."

Papa Raffi menerima uluran handphone sang putra. Netra setengah segar terdorong kopi, seketika seutuhnya segar kala melihat penampilan khas kebarat-baratan gadis diceritakan sang putra.

"Yang tahu gadis ini siapa aja, Mas?"

"Papa dan Aa saja."

Papa Raffi mengangguk-anggukkan kepala mengerti. "Apakah gadis itu tulen Chicago?"

Jamal mengayunkan bahu tak tahu. Dia cukup sering membalas pesan dengan gadis dikenal sang sahabat, tetapi belum banyak tanya hingga ke beberapa hal.

"Mas, menyukai gadis itu?"

Pandawa Lima Where stories live. Discover now