Hari Ketiga Tanpa Mas

128 11 0
                                    

Masih dengan perasaan kesal dan kecewa membungkus tebal di hati, namun Mama Gigi tetap tak ingin mendominan perasaan negatif tersebut. Jiwa keibuan telah menumpuk di tiap inci tubuh. Dia tak tengah berulang tahun tetapi putra keduanya justru memberikan kejutan.

Kejutan apabila putra keduanya akan benar-benar pergi pemotretan di luar negeri. Sekaligus kejutan apabila tak menyadari lusa telah begitu sangat egois berjalan cepat.

Jemarinya dengan telaten menyiapkan jumlah bekal tambahan. Melihat tumpukan koper ntah sedari jam berapa Jamal pindahkan ke bawah, membuat Mother Gi teringat DJJ semasa masih kecil.

"Mother nanti bekalnya asin kena air mata loh," tegur si tengah berbalut gurauan.

Hampir saja spatula masih panas-panasnya melayang ke surai lebat putra tengahnya. Juan spontan meringkuk melihat sang mama terperanjat.

"Juan Malik Ahmad!" gerutu Mother kesal.

Juan terkekeh jahil melihat kekesalan sang Mama. "Ma--maaf, Ma."

Mama Gigi menghela nafas seraya menganggukkan kepala maklum. "Abang jam segini kenapa? Mau keluar juga kayak Mas? "

Juan menatap sendu sang Mama. Perkataan kedua kakaknya semasa belum tiba di tanah air, membuatnya seketika merasa bersalah dan spontan teringat karena perkataan Mama Gigi. Juan mengingat-ingat jadwalnya kini di handle seorang diri tanpa melibatkan manager, namun tak berselang lama anggukan tersebut berubah menjadi ayunan bahu membuat mother kebingungan.

"Loh," celetuk Mama Gigi keheranan.

Juan mengusap tengkuk tak gatal seraya terkekeh kecil. "Juan ragu jadwal Juan, Ma. Bisa jadi ada perjalanan ke luar kota atau neger, tapi juga bisa tidak ada."

Mama Gigi memutar bola mata malas. Ya, beginilah sikap dari ketiga putranya tak banyak berubah. "Kalau Aa si pendirian teguh dalam keputusan dan memilih. Mas si pelupa tetapi tiba-tiba teringat dengan telah persiapan mandiri. Kalau Abang bikin Mama gregetan karena mirip Papa yang pelupa." Juan hanya membalas dengan tawa kecil mendengar Omelan sang Mama.

Koper-koper semula sempat mengisi salah satu sisi rumah Andara, telah berpindah posisi menjadi di troli barang dari fasilitas disediakan bandara.

"Ma nggak mau peluk Mas nih?" goda Jamal dengan nada merengek membuat ketiga adik dan sang kakak kompak memasang wajah julid.

Mengabaikan saudara-saudaranya jahil menguji kesabaran, Jamal memilih bertahan merentangkan kedua tangannya.

"Ya udah sini biar Papa aja peluk Mas udah," celetuk sang Papa baru tiba, karena harus mengurus suatu hal.

Tak terima dengan sang suami justru terlebih dahulu mendekap sang putra, Mama Gigi menepis sang suami. Lalu mendekap putra keduanya secara posesif. Sebenarnya dia masih kesal dan tak ingin Jamal telah melakukan pekerjaan jauh. Tetapi mengingat keinginan para putranya kian bertumbuh maka sukar ditentang, membuat Mama Gigi mengesampingkan kecemasan, mengikat kepanikan, dan memupuk kepercayaan pada putra-putranya.

"Mas ingat omongan Mama tidak?"

Jamal menatap jahil sang Mama. Jamal menggelengkan kepala yakin. Mama Gigi seketika membelalakkan mata terkejut.

"Begitu tiba harus video call Mama."

"Setiap beberapa jam atau puluh menit hubungi bagaimana keadaan Mas."

"Istirahat tepat waktu dan jangan begadang."

"Makan teratur bukan bolong."

"Chat sempatkan chat walau pesan suara untuk Mama."

Apakah kalian mengira yang merincikan adalah Jamal sendiri? Atau justru Mama Gigi mengulang aturan? Yah, mohon maaf karena tebakan kali ini salah. Yang tepat adalah Dimas, Juan, Rafathar, Rayyanza, dan Papa Raffi bergantian menyebutkan aturan.

Mama Gigi menatap sengit Papa dan keempat putranya, yang menurutnya sama-sama mengesalkan dan menguji kesabaran dirinya. Jamal tersenyum hangat hingga matanya melengkung, serta lesung pipi tampak.

"Mas nggak lupa kok, Mah. Nanti akan Jamal lakukan begitu tiba."

Pandawa Lima Where stories live. Discover now