Bab 26| Flashback; Kekacauan dan Kehancuran

72 14 0
                                    

Aku tidak bisa lagi menikmati apa hal yang seharusnya aku lakukan.
Segalanya hilang, lenyap begitu saja.
Tidak ada yang tertarik, yang ada hanyalah kegelapan yang dimiliki.
Rasanya melelahkan.
Tidak ada yang bisa dipercaya.
Lantas, apa yang harus kulakukan?

Titik Koma; Sketsa

...

"Gam, lo nggak punya lampu tidur atau apa gitu? Gue nggak bisa tidur gelap-gelapan kayak gini."

Gama diam saja, menahan dalam hati. Orion telah memasuki area kamarnya, cowok dengan selimut yang menyelimuti sebagian tubuhnya itu menatap langit-langit kamar. Sekelilingnya tampak gelap.

Gelap? Gama tersenyum, gelap apanya. Baginya ini masih terang, cahaya lampu jalanan dari luar masih memasuki kamar. Ya, untuk cahaya sedikit seperti itu saja kadang membuat Gama kewalahan tidak bisa tidur, apalagi harus memasang lampu remang dan utama.

Yang benar saja!

"Gam!"

Gama langsung menyentak saklar lampu utama dengan kuat, berhasil membuat kamar terang benderang dengan cahaya lampu di atasnya yang menyilaukan. Ya, Orion akan menginap beberapa hari dan itu pula sebagai tanda penyiksaan untuk Gama beberapa hari ini.

***

Wajah pucat dan rasa dingin di sekujur tubuh yang tiada dapat dihapus lagi. Beberapa hari setelahnya, Gama berjalan gontai, sesekali memejamkan mata dan berhenti di tiang koridor kelas begitu sekelebat bayang hitam kerap kali melewatinya sejak kemarin.

Sial, menyebalkan. Gama menarik napas terengah, sesekali ia memukul dada dengan kuat berharap agar dapat mengosongkan ruang dan mengambil oksigen sebanyak-banyaknya. Nihil, bahkan ia tidak dapat merasakan sakit sama sekali.

"Gama."

Dalam tubuh yang menunduk, Gama dapat melihat sepatu hitam formal milik seseorang. Oh, ayolah! ada apa lagi ini?

Pak Aryan, pria paruh baya itu menunduk, mengembus napas panjang. "Saya minta maaf sama kamu, saya tidak tahu akan kondisi kalau pada akhirnya dengan menceritakannya ke orang tua kamu malah--*

"Tidak apa," ucap Gama, menatap dingin. Mata bundar itu membulat lalu tersenyum miring. Ya, sekilas tampak sinis, tapi siapa pun yang melihat bahwa Gama sedang mengatur emosinya mati-matian untuk tidak meledak di mana saja.

Bukankah seharusnya begitu? Tidak boleh sedih, apalagi marah. Sekarang, dalam hati kecilnya Gama tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Gama, kamu ada masalah?"

Gama menggeleng kaku, rahang itu tampak mengeras, berulangkali membasahi tenggorokkan sebelum memutuskan untuk berbicara. "Saya duluan, Pak."

Pria paruh baya itu hanya diam, ingin menahan tetapi tidak mungkin bila melihat kekacauan Gama di saat ini. Alih-alih meminta maaf dan berusaha menenangkan, yang malah riuh dan ribut.

Bingung cara mengatasi tingkah salah satu anak didiknya, pria itu memgembus napas panjang, membalikkan badan.

---

"Temani Orion, jaga dia. Dia sedang menderita sekarang."

Entah berapa kali perkataan dari Papa senantiasa menghantui, rasa-rasanya seperti lagu yang tiada pernah habis. Di mana musik terus berputar dan nahasnya ia tidak tahu bagaimana cara menghentikannya.

Titik Koma; SketsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang