Jelas saja Bayu menolak. Itu permintaan tak masuk akal dan cerita yang di luar nalar. Namun setelah disogok semangkok bakso, serta diimingi akan diputihkan segala utang-utangnya, Bayu pun luluh. Ia menyanggupi permintaan itu.

Mereka pun bertukar kamar dan Bayu langsung menyesal di hari yang sama. Dirinya kaget menjumpai kamar gadis yang pernah ia taksir dalam kondisi berantakan bak sehabis diterpa angin badai. Dengan mulut bersungut-sungut, Bayu terpaksa merapikan kamar itu. Beberapa hari kemudian, barulah dirinya tahu bahwa Julia bertukar kamar karena orang tuanya datang berkunjung. Ia habis patah hati dan tak sempat beres-beres.

Mengapa tak langsung bilang saja kalau perlu bantuan membereskan kamar? Mengapa sampai mengelabui teman sendiri? Bayu tak habis pikir jalan pikiran Julia.

"Jadi, apa kau patah hati lagi?" terka Bayu. "Kekasihmu dijodohkan dengan orang lain yang lebih mapan?" Agak sakit sebenarnya mengucapkan kalimat itu. Bayu jadi ingat mantan pacarnya sendiri. Wanita yang lebih muda lima tahun dibanding Julia. Putri pemilik konveksi yang sering dapat orderan seragam abdi negara.

"Ada-ada saja," tanggap Julia sembari menurunkan cangkir. "Jangan samakan aku seperti dirimu. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi dekat dengan pria lain."

"Hm? Oh?" Bayu mengkaget. Selama ini, ia pikir Julia sedang atau setidaknya pernah menjalin hubungan spesial dengan seorang pria berstatus mentereng. Koneksi Julia sangat luas. Penampilannya spek bintang iklan. Pasti banyak yang coba mendekatinya. Rasa-rasanya mustahil kalau ia tak kepincut CEO ganteng atau gombalan anak pejabat. "Menakjubkan."

"Apanya?"

Bayu lekas-lekas membelakangi Julia. "Danau Toba menakjubkan, ya? Di tengah-tengahnya ada Pulau Samosir. Pulau di tengah pulau."

"Jadi, kau sukanya pulau? Tidak suka gunung?"

Bayu membatu. Sementara di belakang, Julia kembali menikmati teh seolah-olah ucapannya barusan tak mengandung makna yang bersayap. Teramat sangat membingungkan sampai-sampai Bayu pelan-pelan memutar badan dengan mata melotot.

"Kau... punya... masalah... apa... hei... Ju...!"

"Maaf menyela, Nona Julia."

Bayu seketika tercekat. Mulutnya katup. Sebuah suara wanita yang rasanya tidak begitu asing tiba-tiba menggema di atas geladak.

"Saya sekadar mengingatkan," lanjut suara wanita itu. Bayu tolah-toleh mencari asal suara. "Sisa waktu Nona Julia tinggal lima menit lagi."

"Terima kasih sudah mengingatkan," sahut Julia.

"Sama-sama."

Bayu kini menatap Julia. "Itu bukannya suara Pemandu?" Ia akhirnya ingat dengan pola suara yang selalu menyambutnya ketika login di Travellillo.

Gadis di depannya mengangguk-angguk. Bayu malah mengerutkan dahi.

"Kok, bisa? Dia tadi bicara padamu, kan? Tapi, aku bisa dengar. Kalian juga mengobrol. Dia memanggilmu 'Nona'." Sepengetahuan Bayu, asisten virtual Travellillo akan selalu menyapa pemain langsung dengan nama. Pemandu tidak bisa diajak berkomunikasi dua arah, selain untuk menerima jawaban sederhana seperti "ya" atau "tidak".

Julia tersenyum tipis, lalu mengangkat cangkir. "The power of premium membership. Aku dapat early access fitur AI yang baru."

Leher Bayu menjenjang. "Oh..., sengaja pamer."

Gadis yang Bayu sindir bagai tak merasa disindir. Senyumnya tetap awet. Ia kemudian berucap, "Aku jadi ingat. Kalian dulu pernah mengembangkan AI, kan? Bagaimana kabarnya?"

Bibir Bayu membulat. Bisa-bisanya Julia mendapat topik obrolan yang baru. Ia pun menjawab, "MAYA? Kabarnya baik-baik saja."

"Oh, jadi dia punya nama."

"Mau aku kenalkan? Kalau mau, nanti aku kabari mantan wakilku di unit."

"Aku mau kau bawa dia juga."

***

Permintaan itulah yang membuat Malika meninggalkan fasilitas penginapan. Ia kembali ke kantor Unit Pengembangan Hubus dan menyalakan komputer yang biasa ia pakai.

"Harus, ya, dikerjakan malam-malam begini? Tidak bisa dari kamar?" Elwa ternyata ikut di belakang. Ia tarik kursi mendekat lalu duduk menemani Malika.

"Laptopku ada di koper." Malika mulai membuka beberapa aplikasi ketika berhasil login ke desktop.

"Tidak bisa pakai tablet?"

Malika diam. "Malas," katanya, tetapi di dalam hati.

Elwa membulatkan bibir. "Ini kalau Vika bangun, dia bisa marah."

"Kak Elwa kenapa ikut?"

"Kenapa, ya?" Elwa merapatkan jaket yang ia pakai. Walau AC tidak menyala, rasanya masih cukup dingin. "Supaya nggak cepat kangen." Ia kemudian tertawa kecil.

"Kangen denganku apa kangen dengan Pak Bay?" Malika mengetik beberapa perintah di terminal.

"Eh?" Elwa menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. "Kau mulai ikut-ikutan Vika jadi resek, ya?"

Malika tidak menyahut. Ia kemudian menguap. Seperti disengaja. "Aku ngantuk."

"Sudah hampir sebelas malam." Malika melirik jam di ponsel. "Apa tak bisa minta MAYA saja yang kerjakan sendiri?"

Malika menggeleng. "Ini konfigurasi keamanan jaringan. MAYA tak punya izin."

"Bukannya Pak Bay minta kau menyalin MAYA?"

"Aku buka port khusus supaya bisa menyalin MAYA dari perusahaan baru."

"Ng..., oh...." Elwa sebenarnya tidak paham bahasa teknis. Akan tetapi, ia menduga-duga bahwa Malika saat ini sedang mengatur sesuatu di komputer MAYA. Dengan begitu, nantinya ia bisa mengakses program kecerdasan buatan tersebut dari luar.

Malika kemudian terlihat menutup jendela aplikasi yang ia pakai. Lalu, mematikan komputer.

"Selesai?" tanya Elwa bingung. "Cepatnya."

"Cuma buka port dan atur beberapa policy."

"Ng..., oh...." Lagi-lagi Elwa membulatkan bibir. Kali ini, ia lebih banyak tak paham. "Sudah tidak ada lagi? Kita balik?"

Malika berdiri. "Aku lapar. Mau pesan nasi goreng?"

"Loh? Katanya ngantuk?"

Woles World Legend: AlphaWhere stories live. Discover now