bittersweet

46 0 0
                                    

Menerima. dan untuk bisa menerima, pada awalnya kamu harus bisa bercerita. bercerita membuat kamu mengakui bahwa itu terjadi.


Seminggu berlalu semenjak acara bepergian ke danau waktu itu.

Sama seperti kegiatan di hari senin biasanya. Aku berboncengan dengan Fathur menuju ke sekolah, tanpa saling mengobrol. Setelah selesai dari sekolah, kami kembali ke kantor. Tapi tidak seperti biasanya, kali ini Fathur langsung pulang.

Begitu masuk ke dalam, Kak Hanum menyapaku, kemudian bertanya. "Gimana, Dhir? Udah chattan?"

"Nggak dibales chat Dhira, Kak."

Tidak ada pertanyaan apa pun lagi darinya, Kak Hanum hanya menyampaikan sebuah permintaan yang menggantung. "Jangan pulang dulu ya, ada yang mau aku bilang."

Sesuai janji, selepas shalat, Kak Hanum memulai topik percakapan yang sedari tadi ingin dia sampaikan kepadaku.

"Aku mau bilang sesuatu, Dhir. Tapi nggak enak, mungkin hal ini bakal ngerusak mood, Dhira."

"Gapapa Kak, cerita aja."

"Fathur ada bilang sesuatu sama aku Dhir, dua kali. Sebelum kita touring dan setelahnya." Kak Hanum mulai menjelaskan. "Sebelum tour, pernah ada momen aku bilang sama dia, "Udahlah thur, apalagi, biar ada temennya di rumah." Terus Fathur ngejawab, "Tolong kakak sampein ke dia buat jangan berharap sama aku, kayaknya bukan aku yang tepat, aku emang gini baik ke semuanya. Aku belum mau terikat sama apa pun kak, di umur segini aku masih mau main-main." Pernyataan Fathur yang di sampaikan Kak Hanum padaku menutup penjelasannya.

Jleb!

it hurts. 

Sebenarnya, saat Kak Hanum memberi peringatan di awal kalau sesuatu yang akan dia ceritakan berpotensi merusak mood-ku, aku sudah menduga isi cerita itu. Bagaimana mungkin, secara terang-terangan dia memintaku untuk mundur—melalui perantara Kak Hanum pula.

Aku mencoba mengatur napas, menetralisasikan perasaan agar tetap tenang meski setelah mendengar kalimat menusuk itu. Aku berkata pada Kak Hanum, "Oh dia bilang gitu. Ya udah lah kak, mau gimana lagi. Dhira bakal coba atur perasaan Dhira sendiri, walaupun sebenarnya perasaan itu nggak bisa diatur, ngalir aja. tapi mungkin setelah dengar semua ini, dan itu permintaan dari dia... i'll try, Kak."

Suasana lengang sesaat.

"Jadi, apa yang dia bilang setelah kita pergi ke danau, kak?" Tanyaku penasaran.

"Hmm... Kalau itu, inget ga sih waktu Dhira ngegodain dia, aku lupa dhira bilang apa tapi abis Dhira bilang sesuatu itu Fathur bilang, "Aduh kak, nggak bisa aku di giniin terus, luluh aku lama-lama."'

Kami tertawa bersama. 

Setelah percakapanku dan Kak Hanum selesai, aku beranjak pulang dari kantor.

Pada sepanjang perjalanan menuju rumah, di malam dengan fase bulan baru—yaitu fase di mana bulan dan matahari berada pada posisi yang sangat dekat di atas langit, kutata semua kalimat yang ingin ku sampaikan nanti padanya. Aku memutuskan untuk membicarakan perihal apa yang barusan disampaikan Kak Hanum padaku. Ya, aku harus bicara.

***

Selasa sore yang ku tunggu-tunggu itu akhirnya tiba juga.

Selesai mengajar di heritage school kelas robotic, di tempat parkir, aku menunggu Fathur melihat ke arahku. Dia sudah duduk di atas jok motor, berbalik arah bersiap untuk pulang. detik dimana dia melihatku, aku langsung bersuara,

Glimpse of MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang