door of possibilities

54 2 0
                                    


Terhitung, empat hari berlalu semenjak kejadian ban motorku yang bocor waktu itu.

Hari ini adalah hari selasa. Seperti biasanya, aku punya jadwal mengajar club robotic di sekolah bersama Fathur dan tiga trainer lainnya pada pukul setengah empat sore nanti.

Masih terbawa suasana ban bocor jumat lalu, aku merasa harus berterima kasih pada Fathur. Jadi, sudah ku putuskan akan mengajaknya makan bakso selesai mengajar nanti. Kali pertama bagiku mengajak seorang lelaki makan berdua bersama. Tapi tidak apalah, karena Fathur orangnya—meskipun harus mengesampingkan gengsi. Kalau bukan Fathur, mungkin tak pernah terbesit niat seperti itu.

Pukul lima sore. Waktu kbm selesai.

Aku tidak tahu kapan saat yang pas untuk menyampaikan kalimat ajakan itu. Dan bagaimana jika dia tidak mau? Bagaimana jika dia meng-iyakan tapi sebenarnya di dalam hatinya ada keterpaksaan?

Aku hanya diam saat berjalan menuju parkiran, memakai helm, menghidupkan mesin motor, kemudian kami beriringan meninggalkan halaman sekolah.

Sampai pada menit dimana Fathur dan aku akan mengambil arah pulang yang berbeda, Fathur seperti biasa menoleh padaku, berseru. "Hati-hati, ya."

Persis di ujung kalimat Fathur, aku memberanikan diri menyampaikan keinginanku. "Makan bakso, yuk?"

Aduh, rasanya ingin sekali menepuk jidat sendiri saat menyadari malah kalimat seperti itu yang keluar dari mulutku. Sangat berbeda dari apa yang di rencanakan.

Dia tersenyum, mungkin sedikit kaget mendengar ajakan itu dariku. "Bakso dimana? Emang Dhira tau warung bakso di sekitaran sini?" Fathur bertanya padaku.

"Tauu," Jawabku, lalu disusul pertanyaan lagi, "Mau?"

Dia mengangguk sambil tersenyum, kemudian bersiap mengikuti arah motorku.

Hanya butuh waktu lima menit saja untuk sampai di warung bakso itu. Setelah memakirkan motor, kami duduk saling berhadapan di meja pertama deretan sebelah kiri dari pintu masuk. Warung bakso ini punya tempat yang cukup luas, dengan meja-meja tersusun berbaris sejajar, panggung live music kecil di bagian depan, dan sejumlah pekerja yang mengenakan baju seragam berwarna merah khas warung bakso tersebut. Bisa ku lihat, ada sekitar 6 orang pekerja, sebagian bertindak sebagai pelayan, dan sebagian lainnya bertugas menyiapkan pesanan.

Fathur memperhatikan sekeliling, kemudian berkata. "Sering Dhira ke sini?"

"Nggak sering, ini ketiga kalinya."

Dia menganggukkan kepala pelan. "Kayak sering dengar nama warung ini, ternyata di sini."

Salah seorang pelayan menghampiri meja kami, memberikan menu dan mempersilakan kami untuk memesan. Selesai memesan, bilang terima kasih, pelayan berjalan pergi.

Bisa ku lihat, Fathur mengambil setusuk sate kerang yang memang sengaja di hidangkan pada tiap-tiap meja, lantas memakannya. Sembari asyik mengunyah, Fathur menatapku, bertanya. "Dhira suka kerang?"

"Nggak." Aku diam sejenak, lantas bergumam. "Sukanya Abang."

Hahaha, did I just openly flirt with Fathur? this is crazy.

Dia mengalihkan pandangannya, tertawa. Jujur saja, wajahku terasa panas. Sangat malu.

Lepas dari situasi canggung beberapa saat. Fathur mengambil dua gelas kosong, menuangkan air pada keduanya kemudian meletakkan salah satunya di hadapanku.

Lima menit berlalu, dua mangkuk penuh bakso pesanan kami di kirimkan ke meja kami. Tanpa diminta, Fathur dengan segala kepekaannya mengambil sendok dan garpu, mengelapnya dengan tisu terlebih dulu, lalu diletakkan secara berpasangan ke dalam mangkuk ku, dan mangkuknya.

Why is he so cool?!

Rasanya jerit dalam dadaku ingin sekali ku suarakan saat ini juga.

Aku menyendokkan satu bola bakso ke dalam mulut. Memperhatikan Fathur yang ada di hadapanku, sekilas. Seperti Fathur biasanya, saat makan pun begitu santun dan tidak tergesa-gesa. Mungkin Fathur memang di didik oleh keluarga yang tertib—yang menganggap semua hal punya waktunya masing-masing.

Saat isi dalam mangkuknya sudah hampir habis, dia mengalihkan pandangan pada mangkuk ku—yang bahkan belum berkurang separuh. Kemudian menarik satu senyum di wajah tanpa mengatakan apa pun.

Suasana hening sejenak. Tak lama, Fathur kembali bertanya. "Telur suka?"

"Nggak. Prefer ke dadar sama mata sapi, kalau rebus gitu kurang." Jawabku.

Dia menganggukkan kepala tanda mengerti.

Pesanan Fathur yang lain diantar ke meja kami. Segelas jus terong belanda. Fathur tersenyum, bilang terima kasih. Dia memang pandai memilih buah yang mengandung berbagai nutrisi penting termasuk vitamin c dan antioksidan.

"Kalau ini, suka?" Fathur kembali bertanya padaku, sembari menunjuk gelas berisi jus terong Belanda pesanannya.

Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil.

Tanpa basa-basi, Fathur langsung mengambil gelas kosong, mengisi penuh gelas tersebut dengan jus miliknya, lantas meletakkannya tepat di samping mangkuk ku. Yap, dia membagi separuh jus miliknya denganku.

"Makasih," ucapku padanya.

Hari semakin sore. Kedua mangkuk bakso kami sudah tandas. Rasanya sayang sekali kalau harus pulang sekarang. Aku ingin menikmati momen ini sedikit lebih lama lagi, momen saat duduk berhadapan berdua dengan Fathur. Jadi, untuk menambah cerita pada momen kali ini, aku sudah menyiapkan berbagai pertanyaan yang akan ku lontarkan padanya.

time always flies so fast when you spend it with someone you like or when you do something you are fond of.

Aku membuka dengan topik obrolan yang pertama. "Abang emang harus di move dulu baru nge-move ya?"

Tawanya yang santun terdengar. Di ujung tawanya, dia berkata. "Nggak lhoo. Emang lagi males aja."

"Kalau dari yang Dhira baca, gemini itu suka nge-flirt. Lah ini nggak, berarti bukan Dhira ya orangnya?"

Fathur tertawa semakin keras. "Kok tahu Abang gemini?" lanjutnya.

"Tauu, dongg." jawabku kemudian disusul tawa bersama.

"Nggak, lagi malas aja Abang." Tiba-tiba dia menimpali lagi.

"Oh, belum selesai ya sama yang kemarin? mau disembuhin dulu? tapi kalau orang lama yang salah nggak boleh kasih dampak ke orang baru, nggak fair tau..."

Dia tersenyum sebagai jawaban.

Sore itu, banyak hal yang kami ceritakan. Tentang sedikit masa lalunya, adiknya, masakan yang sering dibuatnya, usia legal untuk berpacaran, pekerjaan baruku, kisah horor di ruko kantor kami yang lama, bagaimana jadinya jika seseorang kerasukan dan beragam cerita random lainnya. Selalu menyenangkan saat mendengar Fathur bercerita, melihat Fathur mendengar cerita, dan saat Fathur merespon cerita dengan jawaban yang selalu saja bagus.

Waktu magrib sudah hampir selesai, kami bersiap untuk pulang. Sebelum sampai pada parkiran motor aku melihatnya, dan berkata, "Makasih, udah di temenin makan."

"Makasih juga," sahutnya.

Lalu kami pulang dengan arah yang berbeda. 

Glimpse of MemoriesWhere stories live. Discover now