5th of November

51 1 0
                                    

Kita tidak mengingat hari-hari. kita mengingat momen-momen.

-Cesare Pavese


Dua minggu yang lalu, Kak Hanum, Fathur, Bang Juna, dan Fandi berencana akan pergi mendaki gunung. Aku juga turut diajak setelah mereka tahu aku ingin ikut. Akan tetapi karena satu dan lain alasan, rencana untuk mendaki bersama anak-anak kantor yang sudah jauh-jauh hari kami sepakati itu, diganti menjadi touring ke danau saja.

Malam sebelum hari keberangkatan, Kami semua sepakat untuk menginap di rumah Fathur -yang kebetulan searah dengan jalan menuju danau, agar bisa menghemat waktu. Terasa lebih efisien.

"Berangkat sekarang kita, Mbak?" Bunda bertanya padaku.

Aku mengangguk. "Kaja..."

Aku akui jika aku kelewat antusias, padahal jarum jam di dinding masih menunjukkan pukul 18.45. Tapi aku berangkat satu jam lebih awal dari waktu yang telah dijadwalkan.

Tiba di lokasi yang telah ditentukan, benar saja aku sampai lebih awal. Belum ada siapa pun yang sampai selain aku, bahkan Fathur yang akan membawaku dengan motornya juga belum tiba. Waktu melesat tanpa terasa, sudah setengah jam lebih aku menunggu bersama Bunda. Tidak lama, Fathur datang. Dia beranjak turun dari motornya, menyapa sebentar lalu menyalami punggung tangan Bunda.

aaaa happy. first time ngerasain dijemput fathur.

Tak lama setelah itu, yang lain akhirnya tiba di titik kumpul. Lengkap sudah kami semua berkumpul, lantas tanpa membuang waktu lagi kami segera berangkat menuju rumah Fathur. Malam itu terasa dingin, angin malam berembus menusuk tulang, jalanan yang gelap ramai oleh lampu kendaraan. Di jok depan Fathur tidak memakai jaket, padahal udara sangat dingin seharusnya dia memakai jaketnya, bukan? Entahlah.

Kami berhenti sejenak di tempat pengisian bensin, menunggu fandi dan bang juna mengisi bensin motor mereka. Tepat di bawah sebuah pohon rindang dengan bunga berkelopak putihnya, Fathur menoleh padaku, bertanya, "Pohon apa ini, Dhir?"

"Nggak tahu," Aku menggeleng pelan. Lantas sedetik kemudian berhasil mengingat sesuatu. "Eh, pohon kamboja nggak, sih?"

"Iya, bener. Kamboja."

"Abang waktu itu pernah sebelum pakai motor yang ini, mogok di atas fly over. Terus ada orang baik yang bantuin dorong sampe pom bensin ini." ucap Fathur, memberitahu.

"Orang baik emang pasti selalu ditolong sama yang baik." Jawabku sembari menyunggingkan senyum di wajah.

Setelah mengisi bensin, kami kembali melanjutkan perjalanan. Aku melihat jalanan sekitar, rumah-rumah yang kami lewati di bawah siraman cahaya lampu jalan terasa menenangkan, meski udaranya begitu dingin. Rumahnya terasa jauh, jalan menuju rumahnya sulit untuk diingat bahkan oleh aku si pengingat ini.

"Enak ini seblaknya, Dhir." Fathur berkata saat kami melewati warung seblak.

"Iya kah? Berarti ini tempat biasa makan seblak sama Marsya?" Tanyaku, lebih terdengar seperti sengaja menggodanya.

Dia menggeleng pelan. "Nggak ah, kalau makan seblak sendiri aja."

Di jok belakang, aku hanya diam tidak menanggapi.

Begitu sampai di rumahnya, mataku liar memperhatikan sekitar ruangan. Rumahnya rapi, kebanyakan gemini memang begitu. Kami makan malam dengan lauk yang dibawakan Bunda padaku. Mereka semua menyukainya, tidak terkecuali Fathur. Katanya, sambal kecap buatan Bunda sama seperti buatan uminya, tidak terlalu pedas namun tetap pas. Senang mendengarnya.

Glimpse of MemoriesWhere stories live. Discover now