Bab 22| Flashback; Satu Titik, Terpancing

65 9 2
                                    

Ia berteman dengan kegelapan, tetapi tidak berdamai dengannya.
Adakalanya kegelapan menemaninya, tetapi adakalanya pula kegelapan menyakitinya.
Menghancurkan hati maupun tubuhnya.

Titik Koma; Sketsa

...

"Kamu sedang menjadi pelukis yang bahagia, hm?"

Gama yang berhadapan dengan kanvasnya kini tertawa pelan, kuas berada di tangannya mengoles warna hijau muda pada bagian rerumputan. Penggunaan warna yang gunakan akhir-akhir ini cerah, begitu juga dengan ilustrasi di buku sketsanya.

Bukan suatu gambaran gelap, baik warna, ilustrasi, maupun makna yang disampaikan.

"Seseorang berada di taman bunga, hm?" tanya Pak Aryan, mengangkat sebelah alis, sembari bergumam, memperhatikan lukisan tersebut dsri belakang kursi Gama. "Sudah bagus. Oh, ya, gelombang untuk bagian awannya, Gama. Perlu kamu perhatikan lagi."

Gama mengangguk. Membuat lengkungan yang lebih jauh terlihat dengan komposisi warna putih dan biru muda.

Seperti biasa, terkadang ketika ada waktu luang, pria paruh baya itu meluangkan waktu untuk menemani Gama di ruang seninya. Bahkan salah satu loker yang tidak terpakai pada akhirnya bermanfaat di mana Gama seringkali menyimpan peralatan lukis milik pribadinya di sana.

"Kamu benar-benar berbeda, Gama." Pria itu melirik anak muridnya sejenak, entah berapa kali tertawa pelan. "Mungkin sebenarnya kamu tidak pendiam juga, bersosialisasi dengan seseorang dan mendapat dukungan dari banyak orang lain benar-benar membahagiakan, bukan?"

Gama mengangguk. "Aku bisa bertukar pikiran dengan teman-teman. Ketika kegelapan mengambil alih, secepat mungkin mereka datang dengan membawa banyak topik pembahasan yang seru. Pikiranku tidak terlalu berfokus pada hal yang menyakitkan."

Pria itu mendengarkan saja, menggeser kursi kayu tepat di sebelah Gama.

"Tapi sejujurnya, berada di situasi membahagiakan seperti ini juga menakutkan." Gama mengeluarkan cat berwarna cokelat lalu memadukannya pada warna hitam dan cokelat kuning bersebelahan di paletnya. "Apa kebahagiaan seperti ini akan terus hadir setiap saatnya? Rasanya menakutkan kalau harus terjun bebas dan kembali kegelapan."

"Nikmati saja apa yang terjadi di setiap harinya, Gama." Pria itu tersenyum hambar, melipatkan kedua tangan ke dada. "Hari buruk memang selalu ada, tetapi kamu jangan sampai lupa kalau hari baik juga akan datang."

"Akan kuingat." Gama mencondongkan tubuh, menambahkan detil pada beberapa objek gambar. "Semoga ketika aku berada di kegalapan, ucapan itu masih teringat."

"Berhubung suasana hati kamu membaik, saya boleh menanyakan beberapa hal kepada kamu?"

"Boleh," Jawab Gama.

"Jujur saja, saya tidak pernah berada di posisi kamu dan tidak memgerti bagaimana kamu memiliki emosi, tapi ketika berada di kegalapan ... Apa benar-benar gelap?"

Gama terdiam sejenak, membayangkan sekilas dan memutar beberapa kilas ketika kegelapan seakan mengambil alih tubuhnya. Mungkinkah tisak semua orang merasakan? Tapi, jika dipikirkan lagi, Gama merasa seperti itu. Ketika kegelapan mengambil alih maka ia akan terpuruk jauh. Sementara ketika kebahagiaan mengambil alih, rasanya seperti di awang-awang, segala jenis ucapan tidak akan ia ambil pusing. Ya, asalkan tidak berhubungan langsung pada pemicu kegelapan tersebut.

"Sangat," Jawab Gama. "Rasanya seperti ketika berada di ruang yang sempit dan gelap, lalu seperti terdengar suara keramaian padahal sudah jelas Bapak tidak tahu apakah wujud itu benar-benar nyata ataukah tidak, seperti Bapak berusaha berbicara, tetapi tidak ada yang mendengarkan, mereka melontarkan banyak kata buruk dan perbandingan untuk Bapak."

Titik Koma; SketsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang