Prolog

29 3 4
                                    

Butiran air hujan mulai membasahi tempat persinggahan Wira. Gemuruh angin yang disusul dengan kilatan cahaya petir tidak membuat pemuda berkulit sawo matang itu segera angkat kaki dari tempatnya. Ia merasa perlu bertahan, berlama-lama di tempat yang jauh dari hingar-bingar keramaian ibu kota.

Wira bergeming lama dengan kepala terangkat, memandang dua papan kayu yang tertancap di masing-masing gundukan tanah dengan perasaan sedih yang mendalam. Mata yang biasa tersorot hangat, sekarang hanya bisa memandang hampa yang sarat akan luka. Dalam kurun tiga malam, lingkar hitam tumbuh melingkupi area kelopak matanya. Terlihat jelas jika pemuda itu melewatkan jam tidurnya. Wira masih berharap jika semuanya hanyalah mimpi yang saat ia terbangun, semuanya sudah kembali berjalan normal. Tidak ada lagi hal mengerikan seperti yang sedang ia hadapi saat ini.

Pakaian hitam yang ia kenakan basah kuyup. Pemuda itu membuka sedikit mulutnya, hendak menyuarakan isi hatinya yang kembali tertahan di pangkal tenggorokan. Ironinya ia kembali gagal, sebagaimana ia tidak bisa menjalankan amanah dari orangtuanya. Ia menunduk dalam dengan kedua tangan terkepal, mengumpulkan sisa tenaga di sana. Kepalanya menggeleng pelan, tidak terima dengan jalan yang diberikan Tuhan. Dan akhirnya tangis pemuda itu pecah meski tanpa suara dan tersamarkan oleh deras air hujan.

Pilu, ia harus menerima kenyataan pahit ini. Meski tidak mudah, tapi kenyataan sudah terungkap jelas di ujung mata.

"Abang.... udah, ya, sedihnya. Aku nggak mau Abang jadi sakit." Payung hitam berusaha melindungi tubuh jangkung Wira. Meski kesulitan, tapi sosok bertubuh mungil yang kini berusaha memayungi pemuda itu tidak putus asa untuk bisa melindungi tubuh kakaknya dari air hujan. "Belle sama Bang Juna di sana pasti sedih liat Abang kayak gini. Ayok pulang, Bang...." lanjut anak perempuan yang sama-sama berpakaian hitam. Ia akhirnya putus asa dan memilih untuk mengulurkan tangannya, menyentuh tangan kanan Wira yang sudah sedingin es.

Rubi menyelipkan jari-jarinya ke jemari milik Wira membuat pemuda itu menunduk memandang sang adik yang berdiri di sampingnya. "Aku janji bakalan jadi adik yang baik buat Abang, meski nggak bisa sebaik Belle, Bang."

Wira tersenyum tipis. Rubi benar, meski ia telah kehilangan Belle, tapi ia masih memiliki Rubi, adik yang harus ia jaga dan besarkan sepenuh hati. Karena hanya Rubi keluarga satu-satunya yang ia miliki. Dan hanya dengan Rubi ia akan kuat menjalani kehidupan ini.

****

Yok, absen. Darimana kota mana aja nih?

Semoga suka sama pembuka cerita ini, ya.

Jika berkenan, tinggalkan jejak dengan cara memberi voting dan berkomentar ❤️

Terimakasih.

Love and hugs, arinisaaa.

ResapawiraOnde histórias criam vida. Descubra agora