"Assalamu'alaikum. Fikra bangun, yuk."

Fikra melenguh pelan. Dia rapatkan kembali selimutnya sampai menutup kepala.

Keisya tertawa kecil. Disibak olehnya selimut putih perlahan-lahan. "Sebentar lagi azan subuh."

"Lo solat duluan aja," jawab Fikra dengan suaranya yang parau lalu berbalik badan. Tubuhnya meringkuk menahan dingin dari AC kamar.

Keisya bangkit mematikan pendingin ruangan. Dia ambil wudu lalu memakai mukena merah jambu pucat, hadiah seserahan pernikahannya. Kemudian dia kembali duduk di tepi ranjang sambil membaca musaf Al-Qur'an. Masih ada waktu sekitar 20 menit menuju azan. Keisya berikan toleransi pada suaminya untuk terlelap lebih lama sambil dia senandungkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Perempuan itu mulai tenggelam dalam indahnya susunan huruf dan ayat. Sementara laki-laki yang belum ingin beranjak dari ranjang perlahan-lahan membuka mata. Samar-samar dia lihat wajah istrinya yang telah terbalut mukena.

Perempuan bodoh yang terjebak dengan laki-laki bergelar putra kyai. Begitu logika dalam hati berkata, tetapi perbuatannya berlawanan dengan nalarnya. Fikra setengah bangkit untuk berpindah. Bukan berpindah ke sisi kiri ranjang yang lapang. Seorang 'Gus' yang tidak ingin dipanggil 'Gus' merebahkan kepala di pangkuan istrinya.

"Biarin kayak gini dulu," ucap Fikra sebelum Keisya bertanya atau mengucap kata.

Keisya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Jadi yang semalam memang bukan mimpi untuknya. Apa yang terjadi pagi ini juga bukan mimpi untuknya. Rasa sayangnya pada Idad tak pernah berubah. Dia siap untuk lebih banyak mengalah dan mengasihi. Lebih banyak memberi dibandingkan menerima.

Setidaknya, ketakutannya sudah terpatahkan oleh apa yang terjadi semalam. Keisya tidak hidup dalam cerita di mana pengantin laki-laki menolak untuk menyentuhnya.

"Kita salat dulu sama-sama. Nanti setelah itu, kamu boleh istirahat di pangkuanku lagi."

Fikra bangun tanpa kata sanggah. Diambilnya air wudu lalu bersiap-siap solat menjadi imam untuk Keisya.

***

Empat hari kemudian.

"Fik, aku boleh pindah kaus-kaus kamu ke lemari yang sebelah sini?" tanya Keisya sedikit berteriak karena dia berada di dalam kamar utama.

"Terserah," jawab Fikra yang terfokus pada laptopnya di ruang makan.

"Aku ganti spreinya juga, ya?"

"Terserah."

Pukul 4 sore mereka menginjakkan kaki di rumah minimalis 2 lantai milik Fikra. Jakarta. Kota yang asing dan tentunya baru bagi Keisya. Kedua matanya segera disambut oleh padatnya kendaraan begitu keluar dari jalan TOL penghubung dari Bandara Soekarno-Hatta menuju daerah Cempaka Putih tempat suaminya tinggal.

Satu jam yang lalu Umi Isna sempat menelpon. "Mbak Eca, Umi sudah bilang ke Bude Maryam sekarang kamu tinggal di Jakarta. Nanti jangan lupa silaturahim ke Bude Maryam dan Pakde Fatih, ya, Nduk. Selama di Jakarta, insyaa Allah mereka bersedia mencarikan guru ngaji untukmu dan kamu juga bisa mengisi kegiatan menjadi relawan di masjid milik mereka."

Keisya tentu menjawab panggilan Umi dengan patuh. Namun, sekarang Keisya harus mendahulukan Fikra melebihi apa pun. Dia ingin merapikan rumah suaminya yang terlihat bagus di luar, tetapi hancur lebur di dalam.

Entahlah sudah berapa lama rumah ini ditinggal oleh penghuninya, tetapi debu di lantai sudah menebal, kamar mandi kering menyeruakkan bau dari lubang pembuangan air, dan isi lemari sudah berserakan tak berbentuk.

TANAH BAGHDADWhere stories live. Discover now