☁️ㅣ3. Pengawal yang Menghilang

Start from the beginning
                                    

"Kenapa bisa gak adil?" tangan Isabela terlipat di depan dada, pandangannya melirik ke arah Rembulan yang tenang di tempatnya. "Selama ini, orang asing masuk dan jadi pusat perhatian kalian, sementara keluarga sendiri diabaikan, bahkan malah dikatain kasar. Mana sopan santun keluarga kalian? Benar 'kan, Rembulan?"

Kedua bola mata Rembulan terangkat dan terarah pada Isabela yang sedang memperlihatkan kilatan tajamnya. Rembulan tahu, Isabela terlihat sekali membela Hana dan Hanina. Predikat 'Cucu Kesayangan Nenek' benar-benar diambil oleh gadis kembar itu. Lalu mengenai perkataan Isabela barusan, Rembulan rasa itu tidak benar.

Hanya saja, Rembulan tidak bisa menyangkal. Hanya bisa menyunggingkan senyuman kaku. "Iya, Nek."

"Gak bis--"

Perkataan Alvaro terpotong, saat pintu utama terbuka dan Laila datang bersama pembantu. Mereka berdua baru saja selesai berbelanja kebutuhan sehari-hari.

Laila yang pertama sadar akan keadaan yang tampak tidak baik. Ada Isabela yang berdiri di depan tiga anaknya, sementara di belakangnya ada dua gadis lain yang ia ketahui, mereka anak dari adik suaminya--Andhika.

"Mama!!" Alvano berdiri, detik berikutnya berlari pada Laila. Binaran matanya terpancar jelas, sebab melihat Laila, seperti melihat malaikat penyelamat yang datang. "Mama, kami dihukum nenek!" adunya.

"Dihukum? Kalian emangnya bikin ulah apa?" tanya Laila, ia membawa Alvano untuk kembali mendekat ke ruang tamu dan menyerahkan barang belanjaannya pada sang pembantu.

"Mereka menyakiti Hana dan Hanina, hanya karena anakmu," ketus Isabela.

"Bukan itu masalah intinya." Alvaro bersuara. "Varo ngatain Hana bukan karena Bulan."

"Emang Hana aja gak becus," celetuk Alvano. Ketika sadar, Alvano langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.

"Intinya kalian berdua harus menuruti Hana dan Hanina mulai hari ini, sampai sebulan ke depan!" Isabela berucap mutlak. Tidak mau menjelaskan apapun lebih detail pada Laila karena ia rasa Laila tak perlu ikut campur dalam masalah ini.

Laila tersenyum pada Isabela, ia paham jika sifat Isabela memang tidak mau kalah. "Mama gak mau dengerin sudut pandang Bulan dulu? Seenggaknya, dengerin semua cerita mereka, lalu simpulin. Hukumannya juga kenapa berat sebelah, Ma?"

"Maksud kamu apa meragukan keputusan saya?! Memangnya kamu siapa di sini? Di mana posisi kamu? Selama ini, menantu saya hanyalah Reina dan Asya! Tidak ada tambahan lagi!"

Tidak ada yang tidak terkejut mendengar ucapan dari Isabela. Alvaro dan Alvano saling tatap sementara Rembulan langsung meraih tangan Laila untuk ia genggam dalam posisi duduknya. Ingin sekali Rembulan berdiri, memeluk Laila dan menariknya pergi dari sini, tapi kedua kakinya tidak mengabulkan itu saat ini.

"Iya, Ma. Nggak papa." Laila masih tersenyum, tidak mau terlihat goyah apalagi di hadapan anak-anaknya. "Laila cuman mau Mama ngertiin cucu Mama yang lain. Alvaro, Alvano, dia kan cucu Mama. Selain Hana dan Hanina, Mama harus dengerin Alvaro dan Alvano."

Rahang Isabela mengetat melihat ketenangan yang ditunjukkan Laila, suaranya hendak keluar lagi, tapi lengannya ditahan seseorang.

"Kami akan jalanin hukumannya. Nenek puas?" Alvaro berkata dengan suara dalamnya, matanya melirik tajam pada dua gadis di belakang Isabela. "Nenek gak perlu libatin Mama, atau hina dia. Nenek keterlaluan," ucapnya setelah itu ia pergi ke meninggalkan keadaan begitu saja.

"Alvaro!" Isabela berteriak, namun diabaikan membuatnya segera menghadap pada Laila. "Itu ajaranmu 'kan?!"

Laila menggeleng. "Ma, pembelaan itu bukan hanya ajaran dari seseorang, tapi juga muncul dalam hati dan tekadnya." Setelah mengatakan itu, Laila meminta Alvano untuk memindahkan Rembulan ke kursi roda, dan mereka segera pergi dari ruang tamu.

Awan untuk RembulanWhere stories live. Discover now