Prolog

15.2K 544 23
                                    


"Leo," bisikku pelan di telingannya. Aku meletakkan tanganku pelan dipunggungnya. Tubuhnya yang tinggi dan berotot saat ini dibalut jas yang hanya membuatnya terlihat makin seksi dan menggoda. Otot-otot yang mengintip malu-malu dari balik jasnya benar-benar membuatku ingin mengusapkan tanganku di sana. Tapi aku berusaha fokus dengan kamarahan yang sudah kusimpan serapi mungkin di balik senyumku beberapa hadi ini. Dan apa yang kurasakan saat ini hanya membuatku ingin  membuat adegan nyata dari kisah-kisah kejam film psikopat.

Tentu saja aku yang menjadi psikopatnya dan Leo menjadi korbannya.

Punggung Leo terasa tegang di bawah sentuhanku. Dia ingin berbalik menghadap ke arahku tapi aku menahan tubuhnya untuk tetap membelakangiku dengan memeluk pundaknya dari belakang. Mmm... Otot-otot punggungnya. Oh, fokus, Nia. Kami berdua saat ini berdiri di atas tangga dan aku berada dua anak tangga di atas Leo sehingga tubuhku akhirnya bisa menyamai tingginya yang mencapai 180 cm itu.

Aku menyempatkan diri tersenyum pada ibunya Leo yang menatap kami dengan wajah haru dari kursinya.

Aku mendekatkan wajahku ke samping wajah Leo hingga bibirku menyentuh telinganya. Tubuh pria itu bergetar dan aku makin mencengkram erat pundaknya hingga kukuku tertanam di pundaknya yang keras seperti beton.

"A----apa yang kamu inginkan, Nia?" tanya Leo dengan suara terbatanya.

Aku terdiam sebentar karena harus melempar senyum palsu lagi pada ayahku yang sedang menatapku dengan wajah bahagia."Penderitaan lo." bisikku dengan begitu pelan dan kejam. Kali ini aku yakin suaraku jauh lebih seram dari psikopat mana pun.

Aku lalu memindahkan tanganku memeluk leher pria yang sudah mengucapkan sumpah setianya di altar bersamaku tadi. Semua orang yang melihat kami pasti berpikir bahwa kami berdua adalah pasangan pengantin baru yang sangat mesra. Nyatanya jari-jariku sedang mencekik leher suamiku itu.

"N---nia, leherku," Leo terbatuk karena aku menutup jalan napasnya.

Aku melepaskan tanganku dari lehernya dan kembali berbisik di telinganya."Gue bakal buat lo menyesal udah menikahi gue. Tiap hari, bahkan di tiap tarikan napas lo, gue bakal buat lo menderita. Ingat ini, Tuan Argatama."

Aku lalu berbalik untuk meninggalkannya. Tapi Leo menarik lenganku hingga aku berakhir dalam pelukannya. Aku melotot padanya dan mendorong keras dadanya menjauh dariku."Apa-apaan lo?" tanyaku dengan gigi terkatup dan tetap memasang senyum karena semua orang yang menghadiri acara pernikahan kami.

Leo menatapku dengan mata penuh tekad, persis tatapan yang dia beri saat melamarku sebelumnya. Banyak lamaran yang kutolak maksudnya. "Aku akan sebaik mungkin mempertahankam pernikahan ini, Nia. Meski karena terpaksa, aku masih berharap kita bisa saling mencintai."

Aku menatap Leo diam untuk beberapa saat. Cukup membuat lelaki kaku itu merasa malu dengan ucapannya sendiri. Aw, kalau aku sedang tidak marah, aku pasti sudah mencubit pipinya saat ini. Dia terlihat sangat manis.

Tapi masalahnya adalah aku masih terlalu marah padanya hingga ingin menjadikan bola matanya sebagai kelereng.

Aku mengusap pipinya yang merona lalu berbisik di telinganya."Coba aja. Sementara itu gue bakal nyakitin lo. Sesering dan sedalam mungkin." kataku lalu mencium pipinya yang terasa kasar bekas cukuran.

Wajah Leo makin memerah. Dia membuka-menutup mulutnya tapi aku menaruh jariku di bibirnya."Shhh... Gak usah repot-repot ngomong, Kin. Nanti lo bakal sering teriak kesakitan oleh gue."

"Cie... Mesra bener."

Aku dan Leo menoleh ke arah suara itu. Devan, Tony dan Ronald berdiri dengan senyum menggodanya dan alis yang naik-turun mirip ulat bulu.

Aku tertawa mendengarnya lalu memindahkan tanganku ke leher Leo lagi tanpa melepaskan tatapanku dari ketiga sahabat suamiku itu."Maklum,  Leo udah gak sabar banget mau ke kamar." balasku sambil mengedipkan sebelah mataku pada ketiga lelaki tampan itu.

Ketiga lelaki itu bersiul heboh sementara Leo mengeluarkan suara tercekik.

"Katanya dia mau yang kasar dan menantang, padahalkan ini yang pertama buat gue." ucapku lagi.
Ucapanku itu membuahkan teriakan heboh dan siulan sumbang ketiga lelaki tampan itu.

Aku lalu pergi meninggalkan Leo yang menatapiku tak percaya dan mulutnya yang menganga. Teman-temannya segera mendatanginya dan menggodanya dengan kejam sementara aku berjalan pergi dengan senyum licik.

Ini baru dimulai. Kita lihat apa dia bisa bertahan menghadapi siksaanku selanjutnya.

Don't Panic! It's Only Love.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang