4. Apel Pagi

1 1 0
                                    

Seperti biasanya di lapangan itu pukul tujuh, para genator pengabdian berbaris untuk melaksanakan apel pagi. Murid-murid tahun pertama berada di bagian depan. Lalu, dengan adanya kunjungan mendadak, mereka mengakhiri upacara dengan pemberian hormat. Barisan terbelah menjadi dua, menciptakan koridor panjang dari podium ke mobil dinas. Seorang wanita yang menjadi kehormatan bagi apel pagi kali ini berjalan di koridor tersebut. Ia diikuti tiga pengawal dan seorang asistennya. Ia mengenakan sanggul, kebaya merah tua dan rok lipat batik. Selendang biru tua dari kain tenun disampirkan di bahu kanannya, lalu disematkan di pinggangnya dengan bros permata. Tubuhnya berisi layaknya wanita paruh baya pada umumnya, tetapi caranya berjalan memancarkan wibawa dan prestisi. Ia melayangkan senyum pada barisan genator muda yang memberi hormat padanya selagi ia berjalan. Lalu, ketika ia melihat seseorang di barisan terluar, ia berhenti. Wanita itu tersenyum pada Musa.

"Ibu mendengar keberhasilan kalian." Ia tersenyum lebih lebar, menyadari juga kehadiran Gio dan Senna di samping Musa. "Selamat."

Musa mengulang hormatnya pada ketua Majelis Tinggi, Galuh Srikandi.

"Tidak kusangka Ibu Sri akan datang." Seorang genator merebahkan tubuhnya di rerumputan di tanah miring. Ia pemuda dengan wajah runcung dan rambut sebahu yang diikat ke belakang. Seorang gadis yang duduk di sampingnya berceletuk, "Aku tidak terlalu peduli, yang penting kita luang setelah apel pagi ini."

Satu pemuda lainnya mengiyakan. Apel pagi sudah berakhir hampir sejam yang lalu. Sebagian besar genator sudah meninggalkan lapangan. Sekarang pun, ketiga genator ini sedang mengobrol di jalan berundak di taman belakang markas genator pengabdian.

"Omong-omong, apa kau tahu siapa yang disapa Ibu Sri?" Gadis tadi bertanya pada pemuda kedua, yang kemudian dibalas, "Kau tidak tahu? Yang katanya ikut menggagalkan upaya pencurian benda warisan nasional."

Tepat saat si pemuda menjawab, lima orang yang mereka bicarakan menuruni undakan. Si pemuda pirang menyadari kehadiran mereka, melirik sinis dan mengatakan, "Yang paling bersinar di angkatan tahun pertama. Siapa lagi kalau bukan tim asuhan anggota Pandawa terkenal."

Telinga Senna menangkap sindiran itu, tetapi ia bersikap acuh.

"Yah, kita juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa mereka memang benar hebat atau mereka cuma merekayasa untuk tampak hebat. Misi sebesar itu juga biasanya diberikan pada senior, kan? Itu pasti hasil nepotisme."

Senna berhenti menuruni tangga. Musa dan Gio menahan kedua lengannya.

"Keributan cuma merugikan kita." Musa berkata tenang di telinga Senna. Si pemuda pirang mendongakkan kepalanya ke belakang, lalu melemparkan senyum menghina pada Senna. Senna membalasnya dengan sorot mata ingin melakukan kekerasan. Azure dan Lunar juga kenal orang itu. Dia ketua tim 2, seangkatan dengan mereka. Musa memberi isyarat pada teman-temannya untuk terus berjalan. Mereka melewati ketiga orang itu tanpa sepatah kata.

Tenda bubur ayam dipenuhi pelanggan. Ibu-ibu dengan anaknya yang masih kecil, beberapa pria dengan kemeja dan dasi rapi, gadis-gadis remaja yang menunggu sambil mengobrol seru, satu-dua lansia yang duduk dan makan tanpa suara. Musa membawa nampan berisi dua mangkuk bubur lagi ke meja teman-temannya.

"Sekali lagi kita bertemu, kupatahkan rahangnya." Senna duduk mengangkang ke arah luar meja. Mukanya masih menyisakan kekesalan karena kejadian tadi. Lunar, yang duduk di sampingnya, berkomentar begini, "Dia masih anak asrama. Seharusnya dia tidak main-main denganku. Akan kupadamkan listrik kamarnya selama tiga hari."

Azure mendukung keputusan tersebut. Gio mengatakan tidak boleh seperti itu, seminggu baru adil. Senna pun tertawa. Musa meletakkan nampan di atas meja, lalu menggeser mangkuk bubur ke dekat Gio dan dirinya. "Jangan bicara yang buruk-buruk di hadapan makanan."

Mereka berdoa, lalu makan bubur ayam dalam kesunyian. Seorang pedagang koran keliing memasuki tenda penjual bubur, lalu meletakkan dagangannya di meja sebelah sebelum beranjak ke depan gerobak penjual. Musa menyuap lagi. Sepasang matanya tak sengaja membaca judul utama koran hari itu. '14 TAHUN SEMENJAK PENANGKAPAN PERI BUMI, BENARKAH SEBUAH SKENARIO?'

Selesai makan, mereka memutuskan untuk bersantai di alun-alun kota, hanya lima belas menit naik bus. Alun-alun sedang lengang. Kebanyakan yang datang berkunjung adalah orang-orang yang berolahraga dan para orang tua dengan kereta dorong bayi mereka. Musa, Azure, Lunar, Senna dan Gio duduk berurutan di bangku taman, menghadap patung berhiaskan air mancur dan kolam ikan di sekelilingnya. Patung itu adalah patung Airlangga, pendiri negeri Humbreau.

Pada zaman dahulu, ketika ras Estellion membangun kembali peradaban mereka, tujuh orang pahlawan berkumpul di sebuah pulau kecil bernama Pasai. Tujuh orang ini kemudian menyusun sistem kehidupan ras Estellion yang bertahan hingga sekarang. Mereka yang menentukan wilayah mana saja yang akan menjadi wilayah Negeri Dalam, atau daratan yang disembunyikan untuk ras Estellion, kemudian membaginya sesuai batas samudra. Tujuh orang ini disebut sebagai Tujuh Penggagas.

Airlangga adalah pahlawan yang ditugaskan untuk mendirikan Negeri Dalam di Samudra Hindia, yang kemudian bernama Humbreau. Patungnya menunjukkan bahwa ia pria dengan senyum dan tatapan teduh, tubuh yang tinggi tegap, dan memancarkan keanggunan. Rambutnya rapi disisir ke belakang, sementara jubah semata kakinya terkancing rapat. Tangan patung Airlangga menyangga sebuah buku yang terbuka, sementara tangan satunya memegang ujung pena dengan posisi tegak lurus. Dalam sejarah, Airlangga disebutkan sebagai seorang cendekiawan. Buku adalah sumber utamanya dalam merancang negeri Humbreau, sedangkan pena adalah senjata utamanya. Patung Airlangga berdiri teguh beralaskan refleksi air. Langit biru dan awan-awan putih melatari. Cahaya matahari menempa lapisan perunggunya hingga nampak berkilauan.

"Sudah lama kita tidak melihat Master." Lunar tiba-tiba berceletuk. Ia mengamati patung Airlangga dengan tatapan melamun.

"Benar juga." Gio balas berceletuk. Azure bergumam. "Apa kita ke rumahnya saja?"

"Tidak perlu, dia pasti sedang sibuk." Musa menanggapi.

"Sepertinya Master juga sedang di luar kota," imbuh Senna. Percakapan ini terjadi tanpa seorang pun saling menoleh. Perhatian mereka hanya tertuju pada patung Airlangga. Itu sampai Musa menegakkan punggungnya dan berujar, "Daripada itu, pastikan persiapan kalian untuk besok. Kita berangkat enam pagi, langsung bertemu di pangkalan."

"Aku dan ketampananku sudah siap." Senna membalas. "Berangkat sekarang pun, aku siap."

"Jangan dengarkan, nanti kau gila." Lunar mencerocos pada Musa secepat kilat. Senna membalas tak kalah secepat kilat-nya. "Kau yang gila."

Azure terkikik geli. "Ternyata ada persiapan yang lebih penting dari fisik dan bawaan."

"Apa?" Gio bertanya. Azure tersenyum padanya. "Mental."

"Pokoknya, hanya itu pesanku." Musa menyudahi celetukan tak bermakna ini. Ia mendesah, lelah dengan kenyataan. "Misi ini akan membantu kita untuk mencuri start di tahun berikutnya. Kalian ingat, kan, apa kata Master? Poin kita untuk tahun ini sudah terpenuhi dan kita tinggal menunggu ujian. Tapi, masih ada waktu sampai tiga minggu lagi dan jika waktu kita kosong selama itu, justru akan ada catatan di hasil akhir."

"Tenang saja, Musa." Azure menengok pada Musa. Senyumnya ceria. "Ini bukan misi pengawalan kita yang pertama. Lagipula, kita akan membawa putri itu ke Bohstrout saat festival. Kita akan bersenang-senang."

"Omong-omong festival," Gio berdiri dengan malas, "Aku baru ingat bahwa kakakku mengirimkan banyak sekali paket dari festival di kotanya dan memintaku untuk mengirimkan sebagiannya ke rumah. Sepertinya, paket-paket itu datang hari ini. Aku duluan, ya, mau sambilan dulu jadi tukang pos."

Gio melambai, lalu dibalas oleh teman-temannya. Setelah Gio sudah lima langkah ke arah barat, Lunar berdiri tiba-tiba. "Tunggu, aku ikut!" Ia lalu menggandeng tangan Azure. "Ayo, kau tidak mau pulang sendirian, kan?"

Azure melambai pada Senna dan Musa sembari berlari dituntun Lunar. Burung gereja mencicit dari pepohonan. Senna dan Musa saling pandang. Senna berucap, "Mau kencan denganku?"

Musa berdiri, lalu berjalan ke arah timur tanpa basa-basi. Ia mendengar Senna memanggilnya. "Ya sudah, sampai jumpa besok!" Ia membalasnya dengan acungan jempol.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 28 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fantastic Fantasy: Tune by the CureWhere stories live. Discover now