Prolog: Upacara Penyematan

8 1 0
                                    

Hawa pukul Sembilan masih sesejuk hawa pukul lima. Rumput-rumput hijau menghampar di tanah ini, segar dan berembun layaknya baru turun dari langit. Langit itu sendiri biru cerah dengan awan-awan beriak, putih memesona. Suci, bagai hati yang beradab. Burung-burung gereja bercuitan nyaring. Suara mereka saling menyeberangi lapangan, jauh sebelum para manusia ini datang. Di bawah daratan asri ini, ombak berdebur. Nyaring tak kalah saing, menyapa bebatuan bak kawan lama di lautan lepas Samudra Hindia.

“Dunia tak akan melunak, meski kita bersikap bijak.” Seorang pria tua berkata begitu. Ia berdiri di balik podium, orang-orang mendengarkan dalam barisan kursi di depannya.

Ini adalah sebuah upacara, di mana orang-orang berkumpul untuk menyaksikan sebuah prosesi formal berlangsung. Pria tua tadi adalah pemimpin upacaranya. Ia menghadapi sekelompok orang dengan darah langka mengalir dalam nadi mereka, langit dan tanah, serta barisan migrasi burung di cakrawala.

“Sungguh suatu kehormatan, aku datang dari ras yang sama dengan kalian, Ras Estellion.” Ia melanjutkan, bicara dengan intonasi khidmat. Rambutnya separuh putih, separuh abu-abu. Pakaiannya kontras dengan suasana hati pagi ini, serba hitam. Sebuah keris tersampir di pinggang kirinya, sebuah senjata yang badannya meliuk bak badan ular. Sarungnya berwarna emas, terang memantulkan sinar Mentari, berukiran. Di kepalanya, kain tradisional dengan motif warna-warni membebat dahinya, terjuntai ujungnya di belakang telinga. Orang-orang memanggil dirinya Abator Sinan.

“Bencana alam yang tak kalah besar melenyapkan pulau kita dalam semalam. Nenek moyang kita yang berhasil selamat terpecah-belah. Berpencar ke seluruh penjuru dunia, melanjukan hidup dalam kawanan yang bukan milik mereka.”

Ini kota Mada. Kota yang tidak ada dalam peta manapun, di Pulau Mada, pulau yang tersembunyi dari dunia luar. Keberadaan mereka, orang-orang ini, dan orang-orang di rumah mereka, tidak tercatat dalam catatan sipil manapun.

“Namun, meskipun kita menyamar di antara manusia-manusia asing, kita tetap tidak bisa menghilangkan identitas kita.” Ia mengangkat kedua tangannya di udara. “Ras kita, Ras Estellion, adalah ras manusia yang punya energi berlebih daripada ras manusia lainnya. Warna aura kita dapat dengan mudah terlihat oleh mata telanjang. Dan kita, punya bakat kelainan.”

Bakat kelainan adalah sebutan mereka semua untuk kemampuan yang hampir supranatural dan super yang merek amiliki. Layaknya bakat pada umumnya, bakat kelainan tak akan ketemua jika tak dicari. Namun, sekalinya dicari, bakat itu harus selalu dilatih. Contoh dari bakat kelainan adalah Abator Sinan mampu membentuk pusaran angin hingga tornado.

“Emosi menguasai manusia, itu bisa jadi benar. Di saat kita merasakan emosi luar biasa, warna aura kita terpancar mengelilingi tubuh kita dan mengubah warna rambut kita. Tanpa sengaja, kita menemukan bakat kelainan kita, yang orang lain sebut kekuatan super. Di masa lalu, nenek moyang kita mendapat masalah karena itu. Kita dianggap penyihir, dirasuki setan, dianggap membawa kutukan.”

Podium tempatnya berdiri terbuat dari kayu mahoni yang dipelitur rutin setiap tahunnya, karena upacara ini diadakan tiap tahun. Adalah upacara penyematan Namanya. Semacam upacara kelulusan, namun alih-alih memakai toga dan jubah kelulusan, semua murid di sini memakai pakaian adat suku masing-masing.

Bagian panggung yang kosong berada di sisi barat podium. Di pinggir panggung, tepat menghadap semua orang, para master berdiri, tersenyum dan tertunduk khidmat. Master adalah sebutan bagi para guru. Nantinya, mereka yang akan memandu tim-tim baru genator dalam menjalankan tugasnya.

“Hingga akhirnya waktu mempertemukan kembali leluhur kita. Satu persatu kabar tersiar tentang orang-orang Ajaib dan kita tahu di situlah keluarga kita, bangsa kita. Lalu, setelah para leluhur saling menemukan, mereka membawa diri mereka beserta keturunan mereka pulau-pulau yang belum terjamah, lalu menamai diri mereka Ras Estellion, anak-cucu bintang. Orion menjaga mereka, juga kita, lalu mengangkat jiwa suci mereka ke langit hitam untuk bersinar. Ingat kata orang tua kita: jika tak ada cahaya, maka jadilah cahaya. Leluhur kita telah menunjukkan jalan untuk menjaga peradaban ini. Kita dilindungi oleh sihir dan cinta. Leluhur kita mengamanatkan tugas untuk melindungi Negeri Dalam lewat genator. Prajurit sejati kita, pelindung kita, penjaga ketentraman kehidupan Negeri dalam dari ancaman Negeri Luar. Hari ini, generasi genator baru telah lahir.”

Fantastic Fantasy: Tune by the CureWhere stories live. Discover now