Hari terakhir sebelum dimas menjadi sarjana teknik arsitektur, rasa resah mulai menyelimuti hati dimas karena harus menjalani hubungan jarak jauh dengan maira.

Jarak yang harus dimas tempuh setiap dia harus menemui maira di jogja memang kurang dari tiga jam.
Jarak pendek yang tak terlalu melelahkan, tapi hal itu tetap membuat dimas tak puas, karena sebelumnya dimas hanya perlu waktu sepuluh menit untuk menjangkau maira.

Rasa resah di hati dimas semakin buruk saat maira menelvon kalau dia tidak bisa ikut menginap di villa.

"Uti dateng sayang, aku nggak bisa nginep kalau uti di rumah, nanti ayah marah", jawab maira begitu dimas menanyakan alasannya.

"Kemaren kamu bilang iya artinya kamu udah janji ra, aku juga udah bilang keluargaku kalau kamu ikut nginep disini", tegas dimas dengan nada tidak puas.

"Yaudah besok aku datang pagi sebelum kamu ke kampus gimana", bujuk maira pada dimas.

"Bener ya pagi, pokoknya aku bangun kamu udah harus ada di sini", pinta dimas yang tak lagi menyembunyikan rasa kesalnya.

"Iya", jawab maira dengan lembut.

Jawaban iya yang maira janjikan, tidak maira tepati.

Dimas dengan wajah kesal berusaha membawa dirinya yang sudah rapi dengan jubah wisudanya masuk ke dalam mobil.

"Nanti juga rara dateng dek, udah dong masa mau wisuda malah wajahnya di tekuk gitu", ujar mami mita.

"Rara kebiasaan mi, kalau janjian pagi pasti nggak pernah di tepati", gerutu dimas.

"Udah udah nanti juga pasti dateng", bujuk mami mita, sambil mengusap pundak dimas.

Maira, tersangka yang membuat dimas uring-uringan sepanjang pagi, baru datang pukul sembilan, dengan membawa senyum manis untuk ia pamerkan pada dina dan zaki.

"Kata dimas kamu datengnya jam enam pagi ra", tanya dina setelah memeluk maira.

"Ngambek sepagian dimas karena kamu belum dateng ra", ujar zaki menambahi.

"Aku ketiduran mbak, lupa nyalain alarm", jawab maira sambil tersenyum.

"Udah sarapan belum", tanya dina.

"Udah mbak tadi", jawab maira.

Perbincangan ketiganya dipotong oleh rania dan arya yang penasaran pada sosok pacar om dimas yang mereka sayangi.

"Hai", sapa maira pada keduanya.

"Kenalan dong", pinta maira sambil berlutut menyamakan ketinggiannya dengan arya.

"Aku ina, ini arya, adikku", ujar rania pada maira.

"Hai arya, boleh peluk nggak", tanya maira.

Arya mengangguk dan langsung berjalan ke pelukan maira.

Sisa pagi yang maira habiskan dengan keluarga kecil dina, diisi dengan maira yang berusaha mendekatkan diri dengan dua bocah manis yang membuat maira tak berhenti tersenyum.

Meski awalnya rania dan arya terlihat malu untuk mendekat pada maira, tapi pada akhirnya, mereka tak beranjak dari sisi maira yang dengan sabar memberikan kehangatan hatinya.

"Mi boleh nggak arya nggak duduk di car seat arya, biar bisa duduk sama mbak ina sama kak maira", pinta mulut kecil arya dengan mata yang sulit di tolak.

"Kak maira, bukan tante maira nih", goda dina pada arya.

"Katanya kak maira masih muda, jadi nggak mau dipanggil tante maira", bisik arya di telinga dina.

"Kok belum masuk mobil, nanti kita telat", ujar zaki pada dina dan arya.

"Ina ayo dong nanti telat", teriak dina dari luar villa.

"Bentar tunggu kak rara, lagi di kamar mandi dulu", ujar rania.

Dina dan arya kemudian masuk mobil terlebih dahulu sambil menunggu rania dan maira keluar dari villa.

"Loh arya kok nggak pakai car seat", tanya maira begitu dia dan rania membuka pintu mobil.

"Nggak mau katanya ra, biar bisa duduk sama kamu sama ina", jawab dina.

Maira kemudian menatap arya dengan hangat lalu mengusap rambutnya.

"Bahaya sayang kalau nggak duduk di car seat", ujar maira pada arya.

"Pa nyetirnya pelan aja ya", pinta rania pada papanya.

"Siap princess", jawab zaki.

Dengan senyum di wajahnya, dina melihat aktivitas kedua anaknya yang tampak sibuk bercanda dengan maira, kemudian menatap suaminya yang tersenyum lembut padanya.

"Pi", teriak rania.

Zaki yang terkejut, langsung menginjak rem mobilnya secara mendadak.

**

After SunsetNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ