Terdengar desahan istigfar dari wanita paruh baya berjilbab abu-abu. "Jadi, Mbak Eca nggak mau menemani Umi sarapan?"

Patah. Ada yang hancur di dadanya ketika Umi berkata demikian. Sungguh, Keisya sedang tidak mampu mengontrol dirinya. Tidak pernah ada niat untuk menyakiti wanita yang selalu memeluknya penuh kasih dan sayang. Hanya saja, sekarang semuanya tak lagi sama.

Seorang Ustazah Isna yang begitu terhormat karena akhlaknya dan Ustaz Salman yang disegani banyak manusia lantaran kontribusinya dalam dunia dakwah bukanlah orang tua kandungnya.

Keisya merasa tidak berhak atas semua perlakuan baik berlebih dari keduanya. Jangankan kelembutan serta perhatian, pelan-pelan Keisya merasa tidak memiliki hak tinggal di ndalem pengasuh PPMI Fathimah Al-Fihriyah.

Kemarin pun dia sempat berencana pindah kamar. Keisya ingin tidur di kamar yang pernah dia tempati bersama Pendar. Tepatnya, saat dia menemani sahabatnya yang mengikuti program menghafal Al-Qur'an satu tahun yang lalu di pondok mereka. Kamar tersebut berada di lantai 2 gedung asrama mahasantri sisi barat. Namun, rencananya digagalkan oleh Umi dan Abah.

"Duduk bersama Umi dulu, Nak, sebentar saja. Umi bawakan kue-kue kesukaan Mbak Eca." Isna menuntun Keisya untuk duduk dengannya. Tiba-tiba Isna sangat ingin menangkup wajah mungil putrinya. Dia telusuri garis wajah yang kedua matanya merah, sembap, dan memiliki rona hitam di sekelilingnya.

Remasan tangan Keisya pada sprei tempat tidur menguat. Dadanya bergemuruh begitu hebat. Pancaran ketulusan dan perlakuan lembut yang Umi berikan melelehkan batinnya yang terluka. Bibirnya yang selalu berkata bahwa dia kecewa atas rahasia yang selama ini disembunyikan ayah dan ibu angkatnya adalah dusta. Keisya tidak pernah benar-benar kecewa, apalagi membenci mereka.

Tubuh kurus Keisya sudah berada dalam pelukan Isna. Perempuan yang menyelesaikan studi pendidikan tinggi di jurusan komunikasi dan penyiaran Islam tak berkutik, selain mati-matian menahan tangisan. Kalaulah istilah anak angkat tak pernah dia dengar, sudah pasti yang dia lakukan sekarang membalas pelukan Isna dengan erat. Mengadukan segala kerisauan batin dalam dekapan ibunya seperti biasa.

"Umi kangen Mbak Eca." Diusapnya punggung Keisya yang terbalut kerudung hitam.

Emosi negatif telah melenyapkan logika. Keisya malah membalas ungkapan Isna dengan pertanyaan, "Umi belum menjawab pertanyaanku. Siapa orang tua kandungku sebenarnya?"

Tidak ada jawaban, Keisya hanya mendengar Isna mulai terisak. "Seberapa hina masa lalu orang tua kandungku sampai Umi harus menyembunyikannya?"

"Sayang, jantung hati Umi dan Abah ...." Dikuatkan pelukannya pada Keisya.

Dengan bibir bergetar dan air mata yang terus tumpah, Keisya kembali bertanya, "Seberapa kotor bayi yang dilahirkan sampai Umi tidak mampu menceritakan? Tolong jawab, Mi!" Kali ini dia berbicara tak hanya penuh dengan penekanan, tetapi juga menaikkan nada bicara.

"Keisya!"

Suara Abah yang menyerukan namanya menyadarkan seluruh alam sadar. Pelukannya dengan Umi terlepas. Dilihatnya air mata mengalir di pipi Isna. Seumur hidup, tak pernah dia membuat Umi menangis, kecuali karena 3 hal. Tangis haru saat Keisya menyelesaikan hafalan Al-Qur'an 30 juz di pondok tahfidz tingkat SMP, air mata bahagia saat dirinya lulus SMA dengan predikat siswa terbaik, dan terakhir tangisan panik Umi lantaran Keisya kecil kritis akibat keracunan makanan.

Salman meletakkan kantung kresek berisi 3 bungkus nasi kuning di meja. Pengajian di desa binaan telah Salman batalkan demi menyelesaikan kesalahpahaman dengan putrinya. Pagi-pagi setelah selesai menjadi imam solat subuh di masjid, Salman pergi ke pasar membeli nasi kuning favorit Keisya. Sayangnya, dia harus melihat Keisya mencecar istrinya dengan berbagai pertanyaan yang memilukan.

TANAH BAGHDADWhere stories live. Discover now