Prolog

785 101 41
                                    

"Minggir!"

BUGH!!

Telat. Teriakan peringatan itu benar-benar terlambat dikeluarkan Alea. Suaranya yang menggelegar bahkan nggak merubah fakta bahwa pemuda yang tadi ditabraknya tetap harus tersungkur, nyusruk, dan nyungsep dengan pasrahnya.

Oh, shit men kata gue teh.

"Jatoh, ya?" Bodoh memang. Inilah alasan mengapa kalimat 'nanya itu yang penting-penting aja, bukan yang penting nanya' harus lebih dilestarikan.

Pemuda yang tadi masih berusaha untuk kembali berdiri dan menahan rasa malunya karena beberapa anak di koridor mulai menatap ke arahnya, kini semakin dibuat emosi setelah mendengar pertanyaan paling masuk akal dari gadis di sebelahnya.

"Bukan, kejeglong," jawabnya asal dengan mata yang masih belum melirik ke arah Alea. Ia fokus membersihkan seragam sekolahnya yang sedikit kotor terkena lantai.

Alea menggaruk tengkuknya yang memang tiba-tiba terasa gatal. Dengan ragu, gadis itu berusaha menoleh sepenuhnya pada korbannya yang masih menundukkan kepala. Melihat laki-laki itu masih sibuk membersihkan lututnya, dengan keberanian yang bahkan tidak lebih besar dari kuku semut, gadis itu ikut mendekatkan kepalanya dan tiba-tiba menempatkan wajahnya tepat di hadapan wajah sang korban. "Maaf, ya?"

"ANJING!"

Bukan penampakan, bukan jumpscare. This is alea dan kebodohannya. Lagian, orang mana yang akan meminta maaf tepat di depan mata?

Namun ternyata, mendengar umpatan yang memang diteriakkan tepat di depan wajahnya, berhasil membuat remaja perempuan itu tersungut emosi begitu saja.

"Kenapa kasar banget?! Kan gue cuma minta maaf, bukan minta makan, minta sertifikat tanah, minta bubur kacang ijo, minta-"

"SURAT GUE!" Celotehan Alea yang tadinya akan terukir panjang, terpotong begitu saja saat Radhi menangkap surat cinta yang dibuatnya semalam dengan penuh pengorbanan kini berada di bawah telapak sepatu Alea dengan sadisnya.

"Eh?" Sepatu hitam itu sontak terangkat saat Radhi mendekatkan tangannya meraih surat yang kini mulai mendapatkan motif terbaru. Sebuah telapak sepatu.

Pemuda itu membuka mulutnya tak percaya. Menatap kasihan pada surat yang kini sudah digenggamannya.  Ia menoleh pada gadis yang masih ikut menatap surat miliknya. Radhi tampak memejamkan matanya sesaat, berusaha menenggelamkan emosinya yang sepertinya hendak timbul ke permukaan.

"Anak mana lo?!" sungutnya menuntut.

"Belom punya..." balas Alea dengan polosnya.

Radhi berdecak, "Bukan anak kandung!"

"Ya, anak tiri juga belom punya..."

"ARGH!!" Kali ini pemuda dengan kaos hitam dan seragam yang tak dikancing itu benar-benar mengacak rambutnya frustasi.

"Maksud gue, lo kelas berapa?!" tanyanya setelah akhirnya memilih untuk merevisi pertanyaannya sebelum semakin kemana-mana.

"Sepuluh MIPA 1."

"HAH?!"

Gila. Sepertinya, ini adalah ketidaksengajaan yang paling disyukuri Radhi. Fakta bahwa Alea berada di kelas yang sama dengan pujaan hatinya, ternyata adalah hikmah dari tragedi nyusruknya hari ini.

Dengan penuh harapan, ia menyodorkan surat yang sudah mulai lecek itu ke telapak tangan gadis yang kini berada tepat di hadapannya.

"Kasih ke temen lo yang namanya Sophia."

Walau rada kebingungan, Alea menganggukkan kepalanya mengiyakan sebelum akhirnya ia menyadari sesuatu. "Tapi, Sophia yang mana?"

"Sophia yang anak kelas lo. Pokoknya, lo harus kasihin surat dari gue, bilangin dari abang ganteng."

"Kok lo maksa?!"

"Siapa yang maksa? Itu kan bentuk tanggung jawab lo karna udah nabrak gue."

"Ya, kan gue gak sengaja?! Emangnya gue udah nyusun rencana buat nabrak lo? Lagian, lo juga ngapain planga plongo di tengah koridor, gue kan lagi buru-"

Mulut Alea tertutup begitu saja saat sebuah telapak tangan mendarat tepat di depan bibirnya. Bocah perempuan itu berteriak tertahan berusaha melepaskan tangan itu dari mulutnya.

"Berisik," ucap Radhi tepat setelah ia menjauhkan telapak tangannya dari Alea.

"Ish! Tangan lo bau naga!" kesal Alea menatap sinis ke arah remaja laki-laki itu tak terima.

Alih-alih merasa tersinggung, Radhi malah terkekeh pelan mendengar hinaan yang dituturkan gadis kecil di hadapannya.

Berikutnya, ia mengambil pulpen dari dalam tas dan meraih telapak tangan Alea begitu saja. Tak peduli si pemilik tangan yang kini mengerutkan alis menatapnya tak percaya.

"Ini nomor WA gue. Kalau temen lo ada ngomong sesuatu, langsung infoin ke gue, ya. Disimpen nomornya, Radhika Bagaskara XII IPA 8."

Setelah memberikan nomor whatsapp miliknya, selanjutnya pemuda itu pergi begitu saja. Meninggalkan Alea yang masih melongo di tempatnya. Menatap bolak balik telapak tangannya dan laki-laki yang kini sudah mulai menjauh darinya.

"Orang gila," ucap gadis itu pelan tak ingin ambil pusing dan kembali berjalan ke arah kelas dengan mata yang masih fokus menatap surat di genggamannya.

Namun, langkah pelannya tiba-tiba terhenti begitu saja. Saat ia mulai menyadari kecerobohan kedua kalinya yang mulai terjadi hari ini.

Alea lupa. Ia lupa harus memberikan surat ini pada siapa karena pertanyaannya mengenai 'Sophia yang mana?' tadi belum terjawab. Pasalnya, di X IPA 1 ada dua anak perempuan yang bernama Sophia. Sophia Daniella dan Amora Sophia.

Jadi, ia harus memberikannya pada Sophia yang mana? Sophia The First, kah?

Namun, saat kepalanya sibuk berpikir, mata bulat gadis itu tak sengaja menangkap sebuah tulisan kecil di sudut kiri amplop surat. Tulisan yang akhirnya membuat Alea mengangguk paham



For Mi Amor.

 
"Oh, buat Amora Sophia."

 

Dan mulai saat itu, alur cerita yang sudah disusunnya sejak masa SMP mulai berubah.


 

Mungkin, benar kata Mba Taylor.


 

And maybe we got lost in translation.

 

 

  

 
    
 

***

Love Letter.

Ketika surat cinta mengubah alur cintanya.

- utiscriptz

Love LetterWhere stories live. Discover now