Lebih baik

2 1 0
                                    




Saga membawa Hasna menggunakan kursi roda menuju taman rumah sakit, sembari berbincang dan tertawa kecil. Sudah dua hari ini Saga merawat Hasna dan karena itu pula keadaan Hasna semakin membaik. Senyum yang sempat hilang itu telah kembali, manik yang kemarin redup kini kembali berbinar dan ceria. Hasna yang dulu sudah kembali berkat kekasihnya.

“Gimana kabar Ibu kamu?” tanya Hasna di sela perbincangan mereka. Saga berhenti melangkah ketika sampai di kursi panjang  di bawah pohon kecil taman rumah sakit.

“Kabar Ibu baik,”

“Aku merasa bersalah dan menyayangkan sikap ayah waktu itu. Pasti Ibu kamu sakit hati banget dengan penghinaan yang ayah aku lakukan,” lirih Hasna dengan rasa bersalah yang menggunung. Gadis itu menunduk, menatap rumput yang ada di bawahnya. Saga tersenyum meski kekasihnya itu tidak sedang melihatnya. Saga berjongkok di depan Hasna, lalu menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.

“Ibu sudah memaafkan Ayahmu. Jika tidak, bagaimana bisa aku berada di sini sekarang?”
Hasna mengangkat kepalanya, menatap bingung pada sang kekasih.
“Maksud kamu?” Lipatan di dahi Hasna terlihat jelas.

“Ya tadinya Ibu tidak mau aku kembali ke sini, tapi lama-lama Ibu luluh juga dan memaafkan ayah kamu dan Ibu menyuruhku untuk menemuimu. Ibu pula yang membuatku yakin untuk memperjuangkan cinta kita,” jelas Saga.

Ucapan Saga membuat Hasna tersenyum, gadis itu bersyukur karena kekasihnya mempunyai Ibu yang baik. Tak salah Hasna memilih pria ini.

“Ibumu baik sekali, padahal Ayahku sudah sangat menyakiti kalian. Seandainya saja Ayah mau menurunkan egonya sedikit saja maka semua ini tidak akan terjadi,” sesalnya. Terdengar helaan napas berat dari bibir gadis yang mengenakan hijab simpel pet berwarna mocca itu.

“Jangan menyesali yang sudah terjadi, Hasna. Kita hanya perlu memperbaiki semuanya. Apa yang Ayahmu lakukan juga karena rasa sayangnya padamu. Seorang Ayah hanya ingin yang terbaik untuk anaknya,”

“Tapi kamu yang terbaik untukku, Saga.”

“Aku bukan pria yang terbaik. Tapi aku akan berusaha lebih baik dan berusaha memantaskan diri untuk menjadi suami serta menantu idaman Ayahmu. Meski masa lalu tak dapat di ubah, setidaknya masa depan harus lebih baik bukan?”
“Aku akan meyakinkan Ayahmu bahwa aku bisa menjadi suami yang baik untukmu meski tidak mempunyai harta ataupun Tahta. Aku akan meyakinkan Ayahmu bahwa kasta yang berbeda bisa di satukan dengan kekuatan cinta,” imbuhnya.

Hasna mengangguk, “Tapi bagaimana jika Ayah masih menentang hubungan kita? Ayah itu wataknya sangat keras, Saga. Sulit meyakinkan Ayah apalagi aku sudah di jodohkan dengan Maulana,”

Sesak rasanya mendengar kembali tentang perjodohan itu. Tapi Saga berusaha meyakinkan Hasna serta dirinya sendiri.

“Percayakan semuanya pada Allah, Hasna. Jika Allah berkata “Kun Fayakun” maka hal yang mustahil sekalipun akan terjadi. Kita bisa meragukan manusia, tapi tidak dengan Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan memberikan jalan untuk kita,”

Hasna tersenyum lembut sembari menatap pria yang ada di hadapannya. Ia kagum dengan keyakinan Saga. Hal itu pula  yang membuat dirinya semakin yakin bahwa Saga adalah pria yang terbaik untuknya. Matahari semakin meninggi, keduanya memutuskan untuk kembali ke ruangan Hasna.

“Sebentar lagi masuk waktu Zuhur dan aku mau ke mushola dulu,” kata Saga setelah memastikan Hasna sudah berbaring di ranjang rumah sakit.

Hasna mengangguk, “Baiklah, jangan lama-lama. Nanti aku rindu,”

Saga terkekeh, “Aku hanya sebentar. Masak Cuma ke mushola saja sudah rindu sih?”

“Jangan salahkan aku, salahkan rindu yang selalu hadir tak tahu waktu.” Bibir gadis itu mengerucut membuat Saga semakin terkekeh.

“Ya ampun jangan seperti itu! Kau membuatku tidak sabar untuk menghalalkan kamu, Hasna!”

“Ya sudah, sekarang saja kita halalkan!” Tantang gadis itu dengan gayanya yang tengil.

“Kau menantangku?” Sebelah alis pria itu terangkat.

“Ya, jelas. Hasna Azzura menantangmu Tuan Sagara Almeer,”

“Kau itu lucu,”

“Lucu mana aku atau kelinci?”

“Jelas lebih lucu dirimu. Mana ada kelinci yang lucu,”

“Jangan menggodaku, nanti aku terbang!”

“Ya tinggal di tangkap,”

Hasna terkekeh, “Pergi sana! Nanti keburu Zuhur,”

“Ya, baiklah. Aku pergi sebentar, jangan rindu!”

“Mana bisa aku tidak merindukanmu?”

Saga hanya menggeleng dengan senyum yang terus mengembang. Ia berharap kebahagiaan mereka tidak segera lenyap dan bersatu dalam ikatan pernikahan yang suci. Ia bertekad akan memperjuangkan Hasna dan meyakinkan calon mertuanya.
“Aku pergi dulu,”

“Hati-hati calon imamku. Semoga nanti aku bisa menjadi makmum setiamu,”

“Ya, suatu saat kita akan sholat bersama. Aku akan menjadi imammu dan kamu akan senantiasa menjadi makmumku,”

“Aamiin ....”

Saga segera pergi dari sana, meninggalkan Hasna seorang diri. Hasna menatap pintu yang telah di tutup oleh Saga, senyum tak juga lepas dari wajahnya. Tak lama Bu Ambar dan Adnan masuk, membawa beberapa bungkus makanan.

“Sayang, Saga mana?” tanya Bu Ambar.

“Saga baru saja ke mushola, Bu. Memangnya tidak ketemu?”
Bu Ambar menggeleng, “Tidak.”

“Bagaimana mau ketemu? Mushola dan pintu masuk kan beda arah,” sahut Adnan yang meletakkan bungkusan yang ia bawa ke atas nakas.
“Benar juga, ya.” Ibunya membenarkan.

“Bagaimana keadaan kamu, Nak?” tanya Bu Ambar. Wanita paruh baya itu duduk di sisi ranjang.

“Alhamdulillah sudah semakin baik, Bu.”

“Jelaslah lebih baik obatnya ‘kan sudah ada di sini,” sindir Adnan seraya melirik kakaknya. Yang di sindir hanya mendelik pada adiknya itu.

“Syukurlah kalau begitu. Berarti kita akan segera pulang ke rumah,”

Hasna tampak murung, wajah cerianya hilang seketika. Bu Ambar yang melihat perubahan di wajah anak gadisnya menjadi bingung.

“Kenapa murung? Bukankah akan lebih baik jika kita cepat pulang?”

“Bagaimana dengan Ayah?” tanya Hasna. Ia menatap sendu pada Ibunya. Bu Ambar dan Adnan tampak saling pandang, pasalnya Pak Abdullah marah besar atas tindakan Hasna yang nekat menyayat pergelangan tangannya. Baginya itu aib dan apa yang di lakukan oleh Hasna sudah mencoreng nama baiknya.

“Jangan pikirkan Ayah,”
“Mana bisa Hasna tidak memikirkan Ayah, Bu?”
Ketiganya hanya diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Assalamualaikum,”
Seorang wanita berhijab datang sembari mengucap salam. Semua yang ada di dalam menjawab dengan serentak.

“Nak Aisyah?” Bu Ambar menyambut istri ustadz muda itu dengan ramah. Wanita yang di sapa langsung mencium punggung tangan Bu Ambar dengan takzim.

“Iya, Bu ini Aisyah. Maksud kedatangan saya kemari ingin menjenguk Hasna. Ini ada sedikit buah untuk Hasna,” ucap Aisyah lalu menyerahkan sekeranjang buah pada Bu Ambar. Bu Ambar menerimanya dan tak lupa mengucapkan terima kasih.

“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang kemari,”

Aisyah mengangguk, lalu menatap Hasna yang duduk bersandar.
“Hasna apa kabar? Bagaimana keadaanmu?”

“Allhamdulillah sudah lebih baik. Terima kasih sudah repot-repot menjenguk saya,”
“Tidak repot, saya kesini bersama Mas Maulana.”
Hasna melirik Ibunya, begitu pula dengan Adnan.

“Sekarang Nak Maulana di mana?” tanya Bu Ambar.

“Mas Maulana sedang sholat di Mushola, saya ke sini duluan.”

Bu Ambar hanya mengangguk, sementara Hasna hanya diam tak mau menanggapi.

“Ohya, memangnya kamu sakit apa Hasna?”

“Memangnya ustadz Maulana dan Pak kyai tidak cerita sama kak Aisyah?” tanya Adnan.

Wanita itu menggeleng, ia benar-benar tidak tahu apa pun. Yang ia tahu Hasna masuk rumah sakit dan Maulana suaminya mengajak untuk menjenguk calon madunya itu.

“Hasna sakit biasa,” Bu Ambar menimpali dengan cepat. Membuat Adnan dan Hasna mengernyitkan keningnya. Harusnya Ibunya itu mengatakan yang sebenarnya agar Aisyah bisa berpikir ulang tentang perjodohan antara Hasna dengan suaminya.

“Apa mungkin Hasna kurang istirahat?”

“Bisa jadi begitu. Hasna juga kecapekan karena tugas kuliah yang sangat banyak,”
Adnan dan Hasna semakin heran, kenapa Ibunya harus berbohong?

“Hasna, seharusnya kamu banyak istirahat biar kamu tidak jatuh sakit. Setelah ini kamu harus menjaga kesehatan karena sebentar lagi kamu akan menikah dengan Mas Maulana,”

Hasna tersenyum kecut, ingin sekali rasanya ia menolak mentah-mentah dan membantah. Tapi ia tak cukup bertenaga untuk mendebat wanita yang terlalu mencintai suaminya itu. Sangking cintanya ia bahkan rela di madu hanya demi kebahagiaan suaminya. Di luar akal sehat memang.

“Menikah? Apa maksudnya?” semua yang ada di dalam menoleh ke arah sumber suara. Hasna , Adnan serta Ibunya mendelik melihat sosok pria yang berdiri di depan pintu.

Jurang KastaWhere stories live. Discover now