Kembali

1 0 0
                                    

Bab 13 Kembali


“Hasna makan dulu biar cepat sembuh,” ujar Ibunya sambil memegang bubur yang ada dalam genggamannya. Hasna menggeleng lemah, sudah dua hari ia siuman. Sudah dua hari pula ia sangat sulit di bujuk untuk makan. Bu Ambar sangat sedih melihat putrinya yang kehilangan semangat hidup. Wajahnya terlihat begitu pucat dan bibir yang biasa tersenyum ceria itu tidak ada lagi. Yang ada hanya Hasna yang selalu diam dan muram.

“Sedikit saja nak,” lagi, Bu Ambar menyodorkan sesendok bubur kepada gadis itu. Bukannya membuka mulut Hasna malah membuang wajah.

Bu Ambar menghela napas berat, kedua bahunya merosot. Tak tahu lagi bagaimana caranya untuk membujuk anak gadisnya untuk sekedar membuka mulut. Wanita paruh baya itu menyerah, meletakkan kembali semangkuk bubur itu ke atas nakas.

“Makan buah aja, ya?”

Tak ada respon dari Hasna, meski begitu Ibunya tetap memotong buah apel lalu memberikannya pada Hasna.

“Ayolah Nak, buka mulutmu. Bagaimana kamu bisa sembuh kalau tidak mau makan?”

Hasna menoleh, lalu menatap Ibunya sendu.
“Hasna tidak mau sembuh. Kenapa Ibu membawa Hasna ke rumah sakit? Harusnya Ibu biarkan saja Hasna mati waktu itu!” Air mata gadis itu melesak keluar, membasahi wajahnya yang pucat.

“Tidak ada seorang Ibu yang akan membiarkan anaknya mati, Hasna. Bahkan seorang Ibu rela mengorbankan apa pun untuk anaknya.”

Hasna terisak lirih, ia menangkup wajah dengan kedua tangannya. Bu Ambar meletakkan kembali sepiring apel yang sudah di potong, duduk di tepi ranjang dan memeluk anaknya yang malang.

“Ibu tahu kamu kecewa, tapi jangan terlalu larut dalam kekecewaan. Kamu harus percayakan semuanya pada Allah. Hadiah tidak selalu terbungkus dengan indah,”

Keduanya berpelukan erat, Hasna hanya bisa menangis sementara Ibunya menenangkannya.

“Jika kalian berjodoh, Allah pasti akan memberikan jalan.”

Tak henti-hentinya Bu Ambar memberikan nasihat serta semangat untuk anak gadisnya.
Setelah tenang barulah Bu Ambar melepaskan pelukannya, menyuruh Hasna kembali berbaring. Gadis itu ikut saja dan berbaring membelakangi Ibunya dan menghadap dinding.

“Ibu akan keluar sebentar,” ucap Bu Ambar sebelum keluar. Ia mengelus pucuk kepala anaknya dengan lembut. Setelah selesai wanita paruh baya itu keluar dari ruang rawat Hasna, terdengar pintu yang di tutup dari luar.

Tak berapa lama pintu terdengar kembali di buka, suara langkah kaki mendekat. Hasna pikir itu Ibunya sehingga ia tak membalikkan tubuh. “Kenapa Bu? Hasna tidak mau makan. Bawa saja lagi buburnya,”

“Kenapa tidak di makan?” suara itu bukanlah milik Ibunya, itu suara seorang laki-laki yang sangat ia kenal. Sontak saja Hasna membalikkan tubuhnya, matanya mendelik mendapati pria yang begitu di cintainya ada di depan mata. Mengulas senyum lembut dengan wajah teduh yang selama ini di rindukannya.
Mata Hasna mengembun, bibir pucatnya tersenyum.
“Saga,” lirihnya hampir tak terdengar.

“Iya Hasna. Ini aku, Sagamu.” Pria itu duduk di sisi ranjang, memeluk tubuh Hasna yang bergetar. Wanita itu kembali terisak dalam dekapan Saga.

“Maafkan aku. Maafkan aku Hasna,” lirihnya sembari mengelus rambut panjang kekasihnya. Saga langsung pergi ke rumah sakit setelah melalui diskusi alot dengan Ibunya. Dengan banyak pertimbangan akhirnya Bu Ningsih mengizinkan anaknya menemui Hasna.

“Kamu ke mana saja? Aku pikir kamu tidak akan pernah datang,” ucap Hasna di sela tangis.

“Maaf aku sedikit terlambat. Tapi sekarang aku sudah di sini, kau harus makan biar cepat pulih.” Saga mengurai pelukannya, menatap wajah Hasna yang penuh air mata. Tangannya terulur mengusap sisa air mata dengan lembut.

“Kita makan ya? Biar aku yang suapi,”

Hasna menggeleng, ia benar-benar tidak berselera untuk makan.

“Kenapa? Kau tidak ingin sembuh?”

“Untuk apa aku sembuh? Jika bersamamu aku tidak bisa,”

“Hasna, tidak boleh seperti itu. Allah punya rencana yang baik untuk kita,”

Hasna hanya diam saja, ia hanya menatap pria yang ada di hadapannya. Ia baru menyadari bahwa tubuh Saga sekarang sedikit kurus, sama dengan dirinya. Saga melihat luka di pergelangan tangan Hasna yang tertutup perban. Ia mengambil tangan itu dan menatapnya sedih.

“Apa ini masih sakit?”

Hasna menggeleng, “Tidak lebih menyakitkan di banding perasaanku,”

Saga menghela napas berat, tampaknya sang kekasih memang belum bisa menerima kenyataan pahit yang harus mereka hadapi.

“Hasna, jangan melakukan hal ini lagi. Aku tidak mau kehilangan kamu. Jadi aku mohon, tolong jaga diri baik-baik. Aku akan memperjuangkan cinta kita.” Saga menatap manik indah milik kekasihnya. Ia sudah berjanji akan memperjuangkan cintanya apa pun yang terjadi. Binar di mata sayu gadis itu tampak jelas terlihat, ia menatap tak percaya pada Saga.

“Kau akan memperjuangkan cinta kita?”

Saga mengangguk, “Ya, aku tidak mau kehilangan kamu. Aku sadar cinta itu butuh perjuangan bukan? Aku tidak akan menyerah hanya karena badai kecil yang menghempas perahu kita.”

Hasna terharu, ia kembali menitikkan air mata.
“Hei, kenapa menangis lagi? Apa kamu tidak bahagia? Kamu tidak suka dengan ucapanku?”

Hasna menggeleng, “Justru karena aku sangat bahagia, Saga. Selama beberapa hari kamu mengabaikan pesanku. Aku pikir kau benar-benar sudah lelah dengan hubungan kita dan kau akan menyerah. Makanya aku berpikir kalau mati lebih baik,”

“Kamu salah, Hasna. Maafkan aku karena mengabaikan kamu sehingga membuatmu mengambil langkah yang salah. Seharusnya aku memberimu semangat dan sama-sama berjuang untuk cinta kita. Maafkan aku,” ucap Saga penuh sesal. Ia tidak menyangka jika Hasna akan senekat ini. Untung saja nyawa gadis itu bisa di selamatkan. Jika tidak? Maka ia akan menyesali semuanya seumur hidup bahkan mungkin ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

“Jangan terus-terusan meminta maaf, lebaran masih lama.” Kelakar Hasna. Saga ikut tertawa, wajah ceria Hasna kembali lagi. Ia bersyukur karena kekasihnya kembali ceria. Ia bertekad akan memperjuangkan cinta mereka apa pun yang terjadi. Meski semesta menolak, ia tidak akan menyerah dengan mudah. Hasna patut di perjuangkan, bukan di tinggalkan. 

“Nah gitu dong, senyum kan cantik.”

“Mulai deh rayuannya keluar,”

Keduanya tertawa bersama seperti tidak ada yang terjadi sebelumnya. Saga membujuk kekasihnya itu untuk makan dan akan   menyuapinya. Hasna mengangguk, ia menurut saja saat Saga menyuapi bubur rumah sakit yang terasa hambar. Jika itu dari tangan orang yang di cintai, meski rasanya asin sekalipun akan tetap terasa manis.

Tanpa mereka sadari, dua pasang mata sedang mengintip di celah pintu. Itu adalah Adnan dan Ibunya, keduanya tampak ikut bahagia melihat pemandangan di depan mereka. Bahkan Bu Ambar menitikkan air mata melihat binar kebahagiaan yang terpancar di wajah anaknya meski masih pucat.

“Allhamdulillah, Bu. Akhirnya kak Hasna mau makan dan senyumnya kembali lagi,” ucap Adnan tanpa mengalihkan pandangannya dari sepasang kekasih yang ada di dalam sana.

“Iya, Nak. Semoga seterusnya akan begitu. Semoga mereka bisa bersama. Ibu akan melakukan apa pun demi kebahagiaan kakakmu,”

“Adnan juga,”





Jurang KastaWhere stories live. Discover now