Lamaran Saga

3 3 0
                                    

Hasna memejamkan mata menikmati semilir angin yang mengusap wajahnya dengan lembut. Menenangkan dan menyejukkan, membuat angannya terbang pada satu orang yang di rindukannya. Sudah hampir satu bulan ia libur semester dan kekasihnya pulang ke kampung halaman. Bagaimana ia tidak merindukan sosok Saga yang menenangkan?
Gadis yang hanya mengenakan hijab instan itu menghirup aroma pagi yang menyejukkan, berdiri di atas balkon kamar setelah selesai membantu Ibunya di dapur. Tak ada kegiatan lain selama liburan selain membantu pekerjaan Ibunya. Tak apalah, setidaknya ia belajar untuk terbiasa setelah menjadi seorang istri suatu hari nanti.

“Sagara Almeer, kapan kamu kembali? Apa kau tidak merindukanku? Ah ku rasa tidak. Pasti kampung halamanmu jauh lebih menarik daripada aku,” lirihnya sendu. Gadis itu tersenyum kecut mengingat sudah tiga hari ini pria itu tidak memberi kabar. Bahkan pesan terakhirnya ceklis satu. Menyebalkan bukan?

“Atau jangan-jangan Saga tergoda dengan kembang desa di kampungnya? Sampai-sampai dia lupa kalau ada aku yang menunggu kabar darinya siang dan malam. Huh, mengapa dia begitu menyebalkan?”

Hasna menuangkan kekhawatirannya seorang diri, sesekali meremas jemarinya dengan kesal. Membayangkan jika sang pujaan hati sedang bersama gadis desa yang cantik jelita membuatnya cemburu tanpa alasan. Hingga sebuah sepeda motor yang begitu di kenalnya masuk ke dalam pekarangan rumah membuatnya terkejut. Gadis itu mengucek kedua matanya untuk memperjelas penglihatan.

“A-apa aku tidak salah lihat? Bu-bukannya itu Saga?”

Seorang pria turun bersama seorang wanita paruh baya, bahkan pria yang tak lain adalah Saga itu membantu wanita itu turun dari motor.

“Apa aku begitu merindukan Saga sehingga aku berhalusinasi?” Hasna kembali memperjelas penglihatannya. Gadis itu menyipitkan matanya, pria itu benar-benar nyata. Bola matanya hampir saja keluar saat pria yang ada di bawah sana tersenyum sembari melambaikan tangan ke arahnya.

“I-itu Saga? Ini bukan halusinasi? Itu beneran Saga?” Gadis itu mendelik tak percaya.

Sementara itu Saga dan wanita paruh baya yang bersamanya berjalan ke arah pintu masuk membuat Hasna kelimpungan.

“Oh My God. Itu beneran Saga! Saga ada di sini. Tapi kenapa dia ke sini? Matilah aku. Ayah bisa ngamuk.” Gadis itu segera berlari cepat keluar kamar. Ia berteriak mencari Ibunya ke dapur.

“Ibu ....” teriaknya histeris. Sementara itu Ibunya sudah membuka pintu, Saga yang ternyata bersama Ibunya sudah berdiri di depan pintu rumah. Tubuh Hasna membeku, ia hanya bisa melongo tanpa bisa berbuat apa-apa.
“Ningsih, ya ampun. Ini beneran kamu, Ning?” Ibu Hasna segera memeluk wanita yang sudah lama tak di temuinya.

“Loh, kamu Ambar? Ambarwati teman kecilku?” Ibu saga menunjuk Ibunya Hasna. Ia pun merasa terkejut karena tak menyangka akan bertemu dengan teman lamanya. Bu Ambar mengangguk membenarkan, keduanya berpelukan untuk melepaskan kerinduan.
Hasna tertegun saat melihat Ibunya memeluk wanita yang datang bersama kekasihnya. Mereka seperti sudah saling mengenal lama. Begitu pun dengan Saga, ia tak menyangka jika Ibunya mengenal Ibu Hasna. Ada sedikit harapan untuk hubungannya bersama Hasna ke depan. Siapa tahu dengan adanya hubungan lama yang terjalin di antara ibu mereka maka hubungannya dengan Hasna akan mendapatkan restu.
Kedua sahabat lama itu mengurai pelukan setelah beberapa saat. Bu Ambar mempersilahkan tamunya untuk duduk. Saga dan Bu Ningsih pun menurut, mereka duduk bersisihan.

“Hasna tolong buatkan minuman buat tamu kita sayang,”

“Ba-baik, Bu.” Hasna segera berlalu ke dapur untuk membuatkan minuman untuk calon mertua dan kekasihnya.
Ah betapa senang hati Hasna melihat kedekatan antara Ibunya dan calon mertuanya. Mungkin ini langkah yang baik untuk hubungannya bersama Saga ke depan.

“Saga benar-benar membuat jantungku hampir copot. Setelah beberapa hari menghilang sekarang muncul tiba-tiba membawa Ibunya. Untung saja jantungku tidak copot beneran,” ucapnya sambil mengaduk minuman yang ia buat. Gadis itu membawa tiga gelas teh  dan beberapa camilan, sebelum benar-benar melangkah ia menetralkan jantungnya yang tak mau diam sedari tadi. Kekasihnya itu selalu saja membuat kejutan dalam hidupnya.

“Siapa yang datang?” Suara Ayah yang datang dari luar mengejutkan gadis itu. Hampir saja membuat Hasna menjatuhkan nampan yang di bawanya.

“Astagfirullah Ayah. Ayah mengagetkan Hasna,” ucap gadis itu.

“Ada siapa? Kenapa kau sangat repot. Ibumu mana?” tanya Pak Abdullah tanpa peduli apa yang di katakan oleh anaknya.

“I-ibu di depan menemani tamu,” jawab Hasna gugup. Apa yang harus ia katakan tentang tamu itu? Haruskah ia jujur atau tidak? Baru melihat wajah datar Ayahnya saja sudah membuat Hasna takut. Apalagi jika mengatakan bahwa yang datang itu kekasihnya? Bisa pingsan dia.

“Siapa tamunya? Kenapa tidak memanggil Ayah?”

“Eh__ Maaf Ayah. Hasna baru saja mau memanggil Ayah setelah membuat teh,”

“Harusnya panggil Ayah dulu, baru buatkan minuman untuk tamu. Kamu ini bagaimana sih? Lagi pula Ibumu juga tumben tidak memanggil Ayah dulu. Sepertinya tamu itu sangat penting sampai kalian berdua melupakan Ayah.” Pak Abdullah segera berlalu menuju ruang tamu. Hasna hanya mendesah pelan, ia pun segera menyusul ayahnya.
Saga yang melihat Pak Abdullah langsung menjabat tangan calon mertuanya dan mencium punggung tangan pria itu dengan takzim.
“Wah, siapa ini? Sepertinya kita belum bertemu.” Pak Abdullah duduk di samping istrinya.
“Ayah, ini Ningsih teman lama Ibu. Ayah masih ingat ‘kan? Dan ini anaknya Ningsih,” kata  Bu Ambar mengenalkan tamunya.

“Yang dulu menjadi tetangga kita?”

“Iya, benar. Apa ayah masih ingat?”

“Ingat, Ayah masih sangat ingat. Bahkan sangat ingat mengapa mereka pindah ke kampung,” ucap Pak Abdullah dengan senyum sinis.

Bu Ambar dan Bu Ningsih saling tatap sebentar,  atmosfer di ruangan itu seolah berubah. Pak Abdullah serta Ningsih tahu benar dengan masa lalu Bu Ningsih. Ketegangan di ruang tamu itu sedikit mengendur saat Hasna datang meletakkan minuman di atas meja. Setelah selesai ia langsung menyalami Bu Ningsih tak lupa mencium punggung tangan wanita itu.

Bu Ningsih terlihat senang melihat Hasna, ia membelai lembut kepala gadis yang di cintai anaknya itu.

“Kamu pasti Hasna, ya?” tanya Bu Ningsih.

“Nggeh, Bu. Saya Hasna,” jawab Hasna sopan.

“Kamu cantik,”

“Terima kasih Bu,” Hasna lalu duduk di sebuah kursi yang kosong. Saga melempar senyum pada kekasih yang di rindukannya itu. Selama hampir satu bulan membuat rasa rindu di antara keduanya membuncah. Hasna dan Saga begitu yakin jika hubungan mereka berdua akan lancar ke depannya. Berbanding terbalik dengan Bu Ningsih, ia tersenyum getir. Mengingat bagaimana calon besannya yang begitu keras kepala. Ia sangat mengenal keluarga Pak Abdullah. Belum lagi tentang masa lalunya yang pasti akan menjadi penghambat hubungan Saga dan Hasna.

Bu Ningsih menghela napas berat, memejamkan mata sejenak guna mengusir segala keraguan dan ketakutan yang diam-diam menyelinap ke dalam hatinya.

“Kamu apa kabar?” tanya Saga pada Hasna.

“Aku baik, kamu pasti lebih baik bukan? Sampai-sampai hampir membuatku pingsan karena serangan jantung,” sindir Hasna pada kekasihnya. Saga hanya tertawa kecil melihat kekasihnya.

Pak Abdullah memperhatikan sikap Hasna dan Saga, tanpa di jelaskan pria itu tahu apa yang terjadi di antara keduanya.

“Hasna, apa kalian sebelumnya sudah saling mengenal?” tanya Pak Abdullah pada anaknya.

“Eh, iya Ayah. Hasna dan Saga satu kampus,”
Pak Abdullah manggut-manggut. Ia mulai membaca situasi.

“Lalu Ningsih, setelah sekian lama tidak bertemu ada tujuan apa kamu dan anakmu ke rumahku?”

Bu Ningsih menarik napas berat, sebenarnya niat Ibu dan anaknya itu baik. Tapi karena situasinya yang rumit membuat wanita itu ragu untuk mengutarakan niatnya. Melihat ibunya yang tampak kesulitan berbicara, Saga mengambil alih.

“Maaf Pak, perkenalkan nama saya Sagara Almeer. Maksud kedatangan saya dan Ibu saya kesini karena ingin melamar Hasna untuk menjadi istri saya,”

“Apa? Melamar?” Pak Abdullah tampak terkejut. Begitu pula dengan Bu Ambar.

crearuna
Cyatophilla
deanakhmad
gadisgaul6
SamuderaPrinting


Jurang KastaWhere stories live. Discover now