Pria tak bernasab

2 2 0
                                    




“Pergilah Ningsih! Bawa anak harammu pergi dari sini. Sampai kapan pun aku tidak akan pernah setuju dengan hubungan mereka,” kata Pak Abdullah sembari menatap Bu Ningsih dengan tajam.

“Apa yang ayah katakan? Kami saling mencintai, ayah. Saga dan Ibunya sudah jauh-jauh datang ke sini untuk melamar Hasna,”

“Apa kau benar-benar sudah di butakan oleh cinta? Apa kau tidak mendengar tadi apa yang Ayahmu ini katakan? Pria yang kamu cintai itu tidak bernasab! Tidak jelas asal-usulnya. Dia anak hasil pemerkosaan!”

“Hasna tidak peduli! Hasna Cuma mau menikah dengan Saga, ayah.”

“Kamu benar-benar sudah di butakan oleh anak haram ini, Hasna!”

“Cukup ayah. Jangan menghina Saga terus menerus! Saga pria yang baik. Dia sangat mencintai Hasna,”

“Lihatlah putrimu, Ambar! Dia bahkan berani menentangku hanya karena anak haram ini. Bagaimana jika mereka benar-benar menikah? Bisa-bisa dia tidak akan mengingat ayah Ibunya,”

Bu Ambarwati hanya terisak melihat anaknya. Keteguhan cinta Hasna melawan keegoisan suaminya. Ia bingung harus apa karena dirinya pun tak kuasa melawan suaminya.

“Hasna, sudahlah. Aku sadar siapa aku. Mungkin kita memang tidak di takdirkan untuk bersama,” lirih Saga penuh kesakitan. Hatinya begitu perih melihat kekasihnya dan Ibunya. Sementara Bu Ningsih menangis sejak tadi, merasa bersalah atas masa lalu kelam yang tak pernah di bayangkan akan begini jadinya.

Hasna menggeleng dengan kuat, ia menatap Saga dengan tatapan sendu.
“Tidak Saga. Aku hanya ingin menikah denganmu. Aku hanya mencintai kamu, Saga.”

“Kita berbeda, Hasna. Jurang yang memisahkan di antara kita begitu curam. Jangan menentang Ayahmu hanya demi aku,”

“Apa kamu menyerah, Saga? Apa cintamu hanya sebatas ini? Kau ingin menyerah dan melepaskan aku begitu saja?”

Saga menggeleng pelan, ia tak kuasa menerima hinaan dari Pak Abdullah yang begitu menusuk dan menyakitkan. Apalagi itu menyangkut masa lalu kelam Ibunya yang dirinya pun tidak tahu sebelumnya. Yang ia tahu ayahnya meninggal saat dirinya masih kecil. Saga belum bisa menerima kenyataan yang ternyata begitu pahit dan menyesakkan. Semuanya terjadi secara tiba-tiba, melukai hati serta perasaannya.

Hasna tersenyum miring, ia menatap Saga penuh air mata.
“Kau boleh menyerah, tapi tidak dengan aku. Aku akan terus memperjuangkan cinta kita. Bahkan jika aku harus mati sekalipun!”

“Hasna, apa yang kamu katakan?”

“Jika tidak berjodoh denganmu maka akan lebih baik jika aku berjodoh dengan kematian,” ucapnya tanpa ragu.

“Lihatlah apa yang telah anakmu lakukan pada anakku, Ningsih. Bahkan anakku lebih memilih mati jika tidak berjodoh dengan anakmu. Hebat sekali rayuan yang kamu ajarkan. Sama seperti para pria di masa lalu, kamu sangat pandai merayu sehingga mereka bisa membuatmu hamil,” sindir Pak Abdullah.

“Cukup, Pak! Jangan menghina Ibu saya lagi. Anda sudah banyak menyakiti hati saya dan Ibu saya. Jika anda tidak menerima lamaran kami ya sudah. Jangan bawa masa lalu yang tidak penting dan terus menerus menghina Ibu saya!” ucap Saga dengan suara keras. Urat-urat leher pria itu tampak menonjol dengan wajah yang memerah menahan marah. Jika saja Pak Abdullah tidak lebih tua darinya, maka pria itu sudah melayangkan pukulan padanya.

“kamu bilang masa lalu itu tidak penting? Jangan bodoh kamu. Masa lalu itu penting untuk menentukan masa depan. Mau jadi apa anak dan calon cucuku jika menikah dengan pria tak bernasab seperti kamu? Belum lagi keluarga kalian itu sangat miskin dan tidak punya apa-apa. Memangnya orang tua mana yang mau anaknya menderita? Kamu mau kasih anak saya makan apa? Makan batu?”

“Ayah, sudahlah.” Bu Ambar mencoba menghentikan suaminya tapi malah di bentak oleh Pak Abdullah.

“Diam kamu! Kamu itu Cuma seorang istri. Tidak berhak untuk berbicara. Aku lebih tahu mana yang terbaik untuk anakku,”

Bu Ambar akhirnya diam, tak ingin membuat kemarahan suaminya menjadi lebih besar.

“Saga sebaiknya kita pergi dari sini Nak,” ucap Bu Ningsih. Ia sudah tidak tahan lagi dengan penghinaan Pak Abdullah yang begitu menyakitkan. Saga mengangguk, tak ada lagi yang perlu di bicarakan pada Ayah kekasihnya. Restu tidak akan pernah di dapat.

“Saga jangan pergi,” lirih Hasna dengan tatapan memohon. Saga mendekati Hasna, menatap sedih pada kekasihnya.

“Maafkan aku, Hasna. Aku tidak layak untukmu. Maaf karena mencintaimu dan tak bisa mewujudkan mimpi kita,”

Hasna menggeleng, “Ini bukan salah kamu, Saga. Ini hanya karena keegoisan ayah. Seandainya ayah bisa sedikit menurunkan egonya maka semua ini tidak akan terjadi. Ayah yang sok bermartabat, sok terpandang dan sok suci. Ayah yang hanya bisa memandang orang lain dari harta, tahta dan kasta! Padahal Ayah tidak lebih dari orang rendahan yang haus akan pujian,” Hasna menatap ayahnya penuh kebencian.

Plaakk ....
Pak Abdullah menampar anak gadisnya dengan keras sehingga membuat semua yang ada di sana terkejut.

“HASNA!” teriak Saga dan Bu Ambar bersamaan. Kedua orang itu  berlari menghampiri Hasna yang tersungkur sembari memegangi pipinya yang terasa perih dan panas.

“Kamu tidak apa-apa, Nak?” tanya Bu Ambar dengan memegangi pipi kanan Hasna. Hasna menggeleng, perasaannya lebih terasa sakit di bandingkan dengan tamparan ayahnya.
Sementara Saga hanya diam, mengepalkan kedua tangannya dengan geram. Pria itu berdiri menghampiri Pak Abdullah.

“Kenapa anda menamparnya? Anda tega menyakiti darah daging anda sendiri. Tidak hanya perasaannya tapi juga fisiknya. Apakah anda layak di katakan pria terhormat?” sindir Saga. Bu Ningsih mendekati anaknya, menarik Saga agar menjauh.

“Sudah Saga, jangan memperburuk suasana. Sebaiknya kita pulang. Sudah jelas kita tidak di terima di keluarga ini,”

“Bagaimana Saga bisa pergi sementara orang yang Saga cintai mendapatkan perlakuan buruk dari pria yang ia sebut ayah, Bu? Dia tidak pantas di sebut ayah!”

“Dasar tidak tahu malu! Kau menyebut aku tidak pantas di sebut ayah sementara kau tidak punya ayah. Dasar tidak bermoral!”

Saga tersenyum sinis, “Lebih baik tidak punya ayah sama sekali daripada mempunyai ayah seperti anda,” ucap Saga penuh sarkastis.

Wajah Pak Abdullah semakin memerah, ia benar-benar sangat marah sekarang.

“Dasar anak haram. Pergi kamu dari rumahku!” Usir Pak Abdullah tanpa belas kasih.

“Anda tidak perlu mengusir kami. Kami akan keluar dari rumah ini sekarang juga,” ucap Saga lalu mengajak Ibunya untuk pergi dari sana. Sebelum keluar rumah ia menatap kekasihnya yang hanya bisa menangis di pelukan Ibunya.

“Saga jangan pergi,” teriak Hasna dengan suara serak. Ia meremas dadanya dengan kuat. Semua ini begitu menyakitkan dan menyesakkan. Tak pernah ia bayangkan jika cintanya akan berakhir begitu tragis.

Saga tersenyum lembut, “Jaga diri baik-baik,” ucapnya pelan. Lalu ia segera pergi bersama Ibunya tanpa menoleh lagi. Membawa kepingan hati yang berserakan. Membawa pergi cintanya yang di paksa kandas sebelum berlayar. Saat sampai di motornya pria itu mengusap sudut matanya yang berair. Menatap langit yang begitu cerah dan menghela napas berat.

Usapan lembut di punggungnya kembali menguatkannya.
“Sabar ya Nak, mungkin Hasna memang bukan jodohmu.” Wanita paruh baya itu menepuk pelan punggung anak laki-lakinya.

“Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini, Bu? Seharusnya hari ini adalah hari yang membahagiakan untuk Saga dan Hasna,” lirihnya.

“Maafkan Ibu, Nak. Jika saja masa lalu Ibu tidak buruk, mungkin kamu dan Hasna bisa bersama.”

“Ibu, ini bukan salah Ibu. Mungkin ini sudah jalan Allah untuk cinta kami. Mungkin Allah cemburu pada Saga karena terlalu mencintai makhluk-Nya.”

“Tapi, Nak __”

“Sudahlah Bu. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Ini semua tidak mudah bagi Ibu. Bahkan Saga tidak tahu bagaimana menderitanya Ibu di masa lalu. Tapi Saga tetap bangga pada Ibu karena bisa membesarkan Saga sampai seperti ini,”

Bu Ningsih menatap anaknya penuh keharuan. Benar yang di katakan anaknya, tak mudah membesarkan anak tanpa seorang suami dan di bawah hinaan serta keadaan yang memprihatinkan. Serba kekurangan dan hidup sebatang kara di kampung orang.

“Sebaiknya kita kembali ke kost Saga. Besok kita pulang ke kampung,”

Bu Ningsih hanya mengangguk, keduanya lalu pergi meninggalkan kediaman Pak Abdullah sekeluarga.

Sementara itu di dalam rumah,
“Ayah keterlaluan!” teriak Hasna kecewa. Ia masih tidak terima dengan sikap ayahnya yang semena-mena.
Pak Abdullah  menoleh, menatap anaknya dengan berang.

“Apalagi ha? Kamu mau ayah pukul sampai mati?”

“Pukul saja ayah, pukul Hasna sampai mati biar ayah puas!”

“Keterlaluan kamu, Hasna! Sejak kapan kamu menjadi pembangkang seperti ini? Anak si Ningsih itu benar-benar sudah membawa pengaruh buruk kepada kamu,”

“Berhenti menyalahkan Saga dan Ibunya. Hasna seperti ini karena ayah!”

“Kenapa menyalahkan ayah? Mereka yang salah. Kamu sudah salah pergaulan! Otak kamu sudah di cuci sama mereka,”

Hasna mendengus kesal, dadanya naik turun menahan emosi. Berdebat dengan ayahnya tidak akan pernah ada habisnya.

“Kamu harus segera menikah dengan Maulana,” ucap Pak Abdullah. Mata Hasna terbelalak.

“Apa? Maulana?”

“Iya, pria yang datang tempo hari. Dia benar-benar serius ingin menjadikan kamu istrinya.”

“Hasna tidak mau,” tolak gadis itu dengan tegas.

“Kamu tidak berhak menolak! Ayah akan tetap menikahkan kamu dengan Maulana. Suka atau tidak, ayah tidak peduli!”

“Ayah egois! Maulana itu sudah punya istri. Hasna tidak mau menjadi istri kedua!”

“Lalu kamu mau menikah dengan siapa? Dengan anak haram itu?”

“Jangan sebut Saga anak haram, ayah.”

“Lalu apa? Anak itu tidak bernasab. Mau jadi apa nanti anak keturunan kalian? Yang benar saja, Hasna. Mau taruh di mana wajah ayah pada keluarga besar kita? Apa kata mereka nanti jika kamu menikah dengan pria tidak bernasab. Sudahlah, keputusan Ayah sudah bulat. Kamu harus menikah dengan Maulana!” Pak Abdullah segera berlalu dari sana. Kepalanya terasa sangat pusing.

Hasna menggeleng dengan kuat, ia benar-benar tidak mau menjadi istri kedua.

“Ibu, tolong bujuk ayah. Hasna tidak mau menikah dengan Maulana,” ucapnya penuh iba.

Bu Ambar hanya tertunduk pasrah, ia tidak bisa menyelamatkan putrinya. Perintah dari suaminya adalah titah yang tak bisa di bantah.

“Maaf, Hasna. Ibu tidak bisa menentang keputusan ayahmu,”

Hasna menangis histeris setelah mendengar ucapan Ibunya. Ia meronta dalam pelukan sang Ibu. Mengapa dunia tak berpihak padanya? Mengapa keindahan yang beberapa hari lalu di bayangkan menjelma menjadi penderitaan yang baru saja di mulai. Penderitaan yang tak akan pernah ia tahu ujungnya.

Jurang KastaWhere stories live. Discover now