Meski tak percaya, Agnes akhirnya pelan-pelan merebahkan tubuh mendekati lantai. Ia mengintip dari celah pintu di bagian bawah. Dan seketika itu, ia membelalak dan kembali berdiri.

"Bagaimana?"

"Kakinya tak kelihatan!"

"Sudah kubilang, itu hantu!"

"Kau ini!" sanggah sang rekan. "Siapa tahu cuma mahasiswi biasa. Orangnya duduk di atas kloset."

Mahasiswi berambut pirang tersebut tidak ingin ambil risiko. Jika benar hantu, bagaimana nasib tidurnya nanti malam? Maka, ia pun mengusulkan untuk mencari seorang mahasiswa.

Apes, Alwi melintas di depan toilet ketika mereka keluar. Lebih apes lagi, keduanya mengenal Alwi karena berada dalam satu jurusan dan satu kelas. Berdasarkan faktor tersebutlah, keduanya kemudian menyeret Alwi masuk ke dalam toilet.

"Cepat, Alwi! Cepat! Ada hantu!" gegas mahasiswi berambut pirang. Tak sadar ia memeluk erat lengan Alwi sembari menunjuk-nunjuk bilik toilet paling ujung.

"Hantu apa? Belum tentu!" protes Agnes.

"Lalu, hubungannya denganku?" sisip Alwi. "Kalau memang hantu, kalian tinggal lari saja. Kenapa harus membawaku masuk toilet? Reputasiku terancam kalau-kalau orang lain tahu. Kau juga, Mutia! Kenapa peluk-peluk?"

Sang gadis berambut pirang cemberut. Terpaksa dilepasnya lengan Alwi.

"Sudah, reputasimu sudah hancur," ujar Agnes. "Tadi, banyak yang lihat waktu Mutia menyeretmu kemari."

Alwi menepuk jidat dan menggeleng-geleng.

"Mutia takut kalau benar ada hantu. Aku mau buktikan bahwa yang menangis di toilet bukan hantu. Kau ada di sini supaya Mutia berani saja."

"Tapi, tangis itu sepertinya tidak lagi terdengar." Mutiara, mahasiswi berambut pirang, mengajak teman-temannya untuk membisu barang sejenak.

Benar saja. Suara tangis yang sempat sayup-sayup itu kini sudah menghilang. Mutiara semakin yakin bahwa itu adalah tangis hantu, arwah penasaran mahasiswi yang dulu bunuh diri di toilet ini.

"Pasti bukan!" Tidak mudah bagi temannya untuk yakin bahwa tadi adalah tangis hantu. Cepat saja ia meraih gagang pintu bilik toilet tersebut. Begitu gagang diputar, pekik Mak Lampir menggema dari dalam.

Mutiara begitu saja terkulai mendekap Alwi. Sementara Agnes, tanpa sadar melenting mundur dengan wajah pucat.

Alwi yang pada mulanya turut tersentak, dengan sigap menguasai perasaan. Dengan rasa penasaran yang tiba-tiba muncul, ia mengambil alih membuka pintu. Saking kencangnya ia memutar gagang, rumah kunci sampai terbengkas.

Tampaklah seorang gadis tengah duduk jongkok di atas kloset yang masih menutup. Ia hendak mendekatkan ponsel ke telinga ketika pintu terbuka. Mata gadis itu merah. Pipinya basah. Ulah Alwi membuatnya kaget.

"Wiwid?"

Begitu tahu yang membuat teman-teman satu jurusannya takut setengah mati tak lain tetangga di samping rumah, Alwi tak kuasa menahan geli di perut. Puas menertawai Wiwid, giliran ia iba terhadap gadis itu. Diajaknya Wiwid ke kantin. Setelah Mutiara membuka mata karena gelak tertawa Alwi, kedua teman satu jurusannya itu bergegas pamit.

"Aku akan dijodohkan...!" Akhirnya, setelah nyaris lima menit hanya memandangi segelas teh es di depannya, Wiwid membuka mulut. Alwi sendiri makin terenyuh karena mata Wiwid yang sembab. Kira-kira, sudah setengah jam ia menangis di toilet. Ditambah lagi, kemarin malam ia juga lebih memilih menangis berjam-jam sampai akhirnya tertidur. Kabar bahwa sang ayah akan menjodohkannya, seakan membuat dunianya rontok.

VIA Bagian PertamaWhere stories live. Discover now