BAB 03. MENJADI SEORANG TEMAN

441 89 11
                                    

“Mau pergi ke mana?” tanya Wang Yibo ketika ia melihat Linyi yang hendak keluar rumah dengan berpakaian rapi.

Pemuda itu lantas menoleh, wajahnya tampak masam kala harus bertemu muka dengan Yibo. Untuk beberapa waktu, dia lupa kalau kakak tirinya itu sudah pulang ke rumah.

“Bukan urusanmu aku pergi ke mana pun.” Setelah mengatakan itu, dia langsung pergi tanpa mengacuhkan Yibo lagi.

Di belakangnya, pria itu masih berdiam diri di tempat. Menatap tajam punggung sang adik yang perlahan menghilang dari sebalik pintu.

Dari semalam gelagat pemuda itu sungguh mencurigakan. Ia yakin, ada suatu hal yang menarik sedang dia sembunyikan darinya. Namun sekeras apa pun dia menyembunyikan itu, ia pasti akan menemukannya dengan sangat cepat.

Ketika ia kembali ke kamar untuk membaca buku, netra hitamnya tak sengaja melihat sebuah kartu nama di atas nakas yang kemarin seseorang itu berikan kepadanya.

Kilasan tentang netra jelaga teduh itu lagi-lagi merangsek masuk ke dalam ingatan. Bagaimana dia menatap matanya dengan pupil bergetar, dan bagaimana dia menyentuh dadanya, itu benar-benar lucu.

Yibo ingin melihatnya lagi, dan tanpa pikir panjang, ia langsung menghubungi nomor di kartu nama tersebut.

•••

Di sinilah mereka sekarang, di restoran mewah berbintang lima. Wang Yibo meminta Xiao Zhan datang ke tempat ini untuk menemaninya makan siang sebagai bayaran atas biaya laundry kemarin.

“Apa Anda sudah menunggu lama?” tanya Yibo ketika melihat Xiao Zhan sudah duduk di meja yang ia reservasi.

“Ti-Tidak, saya juga baru saja datang.”

Seperti perjumpaan mereka di waktu itu. Xiao Zhan datang dengan menggunakan hoodie dan masker hitam yang hampir menutupi seluruh wajah. Tampaknya dia sangat berhati-hati agar tidak dikenali oleh penggemar.

Sangat lucu, rasanya Yibo tak tahan untuk tidak tersenyum.

“Buka saja masker itu, saya tahu siapa diri Anda. Restoran ini juga sepi, jadi Anda tak perlu khawatir dengan para penggemar.”

Tentu saja dia pasti sudah tahu siapa dirinya ini, semalam ia tanpa pikir panjang memberikan kontak pribadi pada pria asing di depannya itu.

Menoleh kanan dan kiri, ternyata tempat ini sangat sepi. Hanya ada dia dan Wang Yibo saja di dalam sini. Aneh, dari yang ia tahu. Restoran ini biasanya sangat ramai dikunjungi banyak orang, tetapi rupanya cukup kosong.

Tanpa menaruh rasa curiga, Xiao Zhan akhirnya membuka masker yang menutupi wajahnya. “Oke.”

Wang Yibo tersenyum samar saat melihat wajah model itu yang ternyata begitu cantik, lebih cantik dari yang dia lihat di layar kaca kemarin siang.

Sebenarnya Wang Yibo sengaja memesan seluruh lantai tempat ini, ia pikir seorang publik figur pasti tidak ingin penggemar melihat sosoknya yang bebas berkeliaran bersama orang lain.

“Anda ingin makan apa?” tanya Wang Yibo memeriksa daftar menu makanan.

“Bukankah seharusnya saya yang menanyakan itu pada Anda? Kan, saya yang berutang biaya laundry di sini.”

“Anda benar,” jawabnya tenang.

Saat Xiao Zhan melihat-lihat daftar menu, pemuda itu tak menyadari ada sepasang obsidian kelam sedang fokus menatap dirinya, bukan pada buku menu yang dia pegang.

Gambar makanan mewah yang pria itu lihat pada buku menu di tangannya tidaklah seenak pemandangan yang dia lihat di depan mata. Daging restoran ini memang lembut, tetapi dia yakin daging yang terdapat pada wajah Xiao Zhan yang putih, jauh lebih lembut dan halus.

Setelah mencatat seluruh pesanan, pelayan itu segera undur diri. Membiarkan Wang Yibo dan Xiao Zhan duduk berdua selagi menunggu makanan siap.

Sejak pria itu datang dan duduk di hadapan Xiao Zhan, raut wajahnya terlihat sedikit gelisah. Mata hitam teduhnya terus-menerus melirik ke layar ponsel, seperti sedang menunggu sesuatu yang muncul di sana. Dan benar saja, tak berapa lama muncul sebuah notifikasi pesan di layar ponsel Xiao Zhan.

Pemuda itu langsung meraih ponselnya yang berada di atas meja, buru-buru hendak membalas pesan. Namun sebelum itu, dia sempat melirik ke arah Wang Yibo dengan ragu. Sangat tidak sopan menurutnya, jika dia sibuk sendiri padahal ada seseorang bersamanya.

“Maaf, saya harus membalas pesan ini sebentar.”

Wang Yibo tetap mengukir senyum ramah. Tak ingin lawan mainnya merasa berat hati. “Tentu saja, silakan.”

Usai membalas pesan tersebut, Xiao Zhan baru bisa fokus pada pria di hadapannya lagi.

“Apa itu manajer Anda lagi?”

“Oh, bukan.”

“Syukurlah jika bukan, saya tak ingin Anda terbebani karena harus datang ke sini sekadar menemani saya untuk makan siang bersama,” ungkap Wang Yibo halus. Ia memang bicara secara tenang dan lembut, tetapi kata-katanya penuh dengan tekanan.

Entah mengapa kata ‘terbebani’ membuat Xiao Zhan sedikit gelisah. Sejujurnya dia merasa berat hati datang ke sini sebab sudah memiliki janji kencan dengan seseorang yang sangat ia cintai, namun janji kencan itu terpaksa harus batal karena Wang Yibo tiba-tiba saja menghubunginya untuk makan siang bersama.

“Jika itu bisa menggantikan biaya laundry-nya, saya rasa tak masalah.”

Sebelah tangan kekar dengan urat hijau kontras di kulit putih terulur ke hadapan Xiao Zhan. Dapat pemuda itu lihat garis kurva tipis tersungging di wajah tampan pria yang berada di depannya.

“Rasanya sangat tak sopan mengajak seseorang makan bersama tapi kita tidak saling mengenal satu sama lain. Jadi perkenalkan, saya Wang Yibo, senang bisa bertemu dengan Anda lagi Tuan model Xiao?”

Kedua sudut bibir Xiao Zhan lantas tertarik ke atas, kemudian dia balas menjabat tangan Wang Yibo sebelum memperkenalkan dirinya sendiri.

“Seperti yang sudah Anda ketahui, saya model Xiao Zhan. Senang juga dapat bertemu dengan Anda lagi, Tuan Wang.”

Tidak sampai 10 detik, jabat tangan itu langsung dilepas oleh Xiao Zhan. Masih bisa Wang Yibo rasakan jejak hangat drai telapak tangan pemuda itu yang tertinggal di tangannya. Memang tidak terasa panas, namun dia merasa ada sesuatu hal di dalam dirinya seperti terbakar oleh hal-hal yang tidak bisa dia pahami, dan itu sangat menarik baginya.

“Euhm, Zhan ....”

“Ya?” Responsnya.

“Maukah kamu menjadi temanku?” tanya Wang Yibo tiba-tiba, dia bahkan mengatur kalimatnya menjadi informal agar terdengar lebih santai. Dia tahu ini sangat terburu-buru, tetapi jika tidak begini, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan pemuda itu.

Sejenak Xiao Zhan terdiam untuk berpikir, kemudian dia menganggukkan kepala tanda setuju.

“Tentu saja.”

Stockholm SyndromeWhere stories live. Discover now