18

985 275 86
                                    


Halooo! Ketemu lagi wkwkw.

"Mir. Ayok ikut Ibuk ke tempat kerja calonnya Omar." Cindy masuk menghampiri Ilmira di kasur melipat baju-baju putranya, sedangkan Ammar langsung bangun dari rebahannya di sisi Al Kautsar.

"Ten pundi (di mana), Buk?" Ilmira menumpuk kaus-kaus Al Kautsar lalu membawanya ke lemari milik balita itu.

"Sebelah toko e Omar. Kayak e Ibuk lupa bilang kalau Minggu lalu pas kalian nginap di Pakis, Ibuk sama Ayah ngelamar cewek buat Om. Dia sendiri yang pilih," cerita Cindy antusias karena sebentar lagi keluarganya akan bertambah.

"Ceweknya pake kerudung, agak tinggian dari Mira ya, Buk?" Ammar menyahut. Cindy mengangguk. "Oh jadi juga sama perempuan itu."

"Sinten (siapa ) to, Mas?" Ilmira menerima tumpukan kaus dalam Al Kautsar dari Ammar.

"Yang ketemu kita pas lihat ruko itu lho," jawab Ammar seraya mengangkat Al Kautsar ke pangkuannya. Bayi yang sebentar lagi berusia satu tahun itu berusaha menggapai rambut Ammar yang panjang. "Diterima lamarannya?" Kepala sedikit merunduk karena tarikan kuat Al Kautsar di rambutnya.

"Belom. Minta waktu buat mikir katanya tapi ini wes seminggu lebih, Om juga nggak kasih info apa pun," tutur Cindy.

"Terus Risma gimana?" Ammar menggelitik perut Al Kautsar sampai bayi itu menggeliat geli di pangkuannya. "Katanya lagi deket sama dia." Ammar memancing ibunya saja walaupun sudah tahu endingnya saat mereka ngobrol sebelum paginya bertemu Khaira.

Omar bertanya padanya apakah sikapnya pada Risma berlebihan? Setelah mendengar apa saja yang Omar katakan, Ammar menjawab masih batas wajar. Karena itu Omar langsung tancap gas mendekati Khaira.

Ibu dua orang anak itu menghela napas panjang. Sebenarnya ia sungkan pada Risma tapi bagaimana lagi kalau putranya memilih Khaira. "La ya mbuh kui Omar. Ibuk ya ngirae sama Risma lho, la kok malah karo cah liyo. Piye njajal Ibuk Iki lek ketemu Risma. Sungkan masio ta Ibuk nggak melok-melok (ya nggak tahu itu Omar. Ibu ya ngiranya sama Risma, kok malah sama orang lain. Gimana ini Ibuk kalau ketemu Risma. Sungkan Ibuk ini biarpun nggak ikut-ikut)."

"Ya Ibuk biasa saja ke Risma. Nggak usah bahas yang nyerempet ke hubungan mereka. Anggap saja Ibuk nggak tahu soal mereka." Ammar menyerahkan Al Kautsar pada Ilmira untuk disuapi makanan yang istrinya panaskan di dapur tadi. "Ayo aku antar. Katanya mau ke tempat calonnya Om."

Cindy mengangguk dan segera keluar kamar Ammar untuk berganti pakaian. Setelah kepergian ibu mertuanya, Ilmira memperhatikan outfit Ammar. Ya ampun kenapa setelah menikah pria itu terlihat lebih glow up, tidak terlihat seperti pria beristri.

"Nggak usah mikir aneh-aneh kalau nggak mau aku kerjain," seloroh Ammar kala mendapati tatapan lekat Ilmira.

Wanita itu menggeleng lalu menghampiri Ammar dengan Al Kautsar di gendongan. Ilmira memeluk pinggang suaminya dengan satu tangannya kemudian mendongak dengan tatapan memuja. "Mboten kok. Sudah percaya njenengan nggak bakal aneh-aneh."

###

Di malam lainnya, Omar dan keluarganya datang untuk ke rumah Khaira untuk membicarakan soal proses pernikahan—Omar sudah memberitahu ibunya soal jawaban Khaira. Rencananya Cindy nanti mengada acara ngunduh mantu dengan mengundang semua karyawan Omar, keluarga besar, dan sahabat-sahabat mereka tapi urung lantaran Khaira minta diadakan pengajian saja.

Awalnya Cindy bingung kenapa begitu dan di saat yang lain berlomba-lomba menyelenggarakan dengan meriah, Khaira malah minta sederhana saja. Setelah diberi penjelasan, akhir mereka setuju, walaupun Omar sempat menolak. Baginya, perasaan Adiba itu bukan urusannya dan tidak ada hubungannya dengan dirinya, jadi Khaira tak perlu memusingkan soal itu.

"Ya wes nggak apa-apa. Penting sah, Om. Nanti kamu undang Ardi dan Beni saja," perintah Rasyidin menengahi. Ia paham maksud Omar tapi ia juga berusaha mengerti posisi Khaira, dan Rasyidin pikir jalan tengahnya seperti itu sampai nanti keadaan memungkinkan untuk mengumumkan hubungan keduanya.

"Tapi, Yah ...." Kalimat Omar terputus melihat gelengan Rasyidin, hal itu membuatnya kesal. "Sekarepmu lah." Omar keluar dari ruang tamu agar tidak lebih jengkel lagi.

Khaira sebenarnya tidak enak membuat Omar kesal tapi ia butuh waktu untuk mengumumkan hubungannya nanti dengan Omar. Ia tidak mau dibenci ataupun dikucilkan sebab rasanya sungguh menyakitkan.

"Nanti biar saya yang urus surat-suratnya." Bayu menawarkan diri suka rela. Perasaannya lega karena Khaira mau menikah dengan Omar. "Untuk wali nikahnya apa saya boleh? Karena kondisi Bapak tidak memungkinkan."

"Boleh. Justru wajib kamu sebagai saudara kandungnya," sahut Pak Lek Harto.

Cindy yang tahu putranya kesal setengah mati, minta Khaira untuk menyusulnya. Mungkin sedikit membujuknya agar tidak terus marah, ujarnya.

Khaira menuruti permintaan Cindy. Di luar, pria itu tengah merokok di bangku dekat kandang ayam. Wanita itu pun mendekati Omar. "Pak ...."

"Mas!" ralat Omar ketus.

"Iya." Khaira menuruti kemauan Omar. "Mas itu ...." Ucapannya berhenti melihat tatapan tajam Omar. Bibirnya seperti otomatis diam karena sorot itu.

"Aku nggak ngerti sama kamu, cuma gara-gara Diba, sampai sembunyi-sembunyi gini. Orang nikah itu dimeriahkan ini malah disembunyikan."

"Saya nggak mau nyakitin Diba. Nanti pelan-pelan saya kasih tahu dia," jawab Khaira tak enak hati. "Yang pentingkan sah."

"Ya memang tapi ... ah sudahlah. Sekarepmu." Omar sungguh jengkel tapi jika perdebatan ini dilanjutkan bisa batal pernikahan ini. "Aku sudah bilang Bapak, Bayu, sama Bima kalau habis nikah kamu aku bawa ke rumah Ibuk. Lebih dekat juga jaraknya."

Khaira kaget baru tahu hal ini. "Kok minta izinnya sama mereka? Sama saya kok nggak minta izin juga? Nggak dikasih tahu juga rencana Mas."

"Ini dikasih tahu. Lagian sengaja biar kamu nggak bisa ngeles. Kalau ngomongnya langsung sama kamu, ada aja alasannya." Omar terkekeh melihat Khaira merengut sebal. "Lagian kalau dah nikah, istri kudu nurut sama suami selama itu buat kebaikan to?" Khaira mengangguk walaupun enggan. "Ya sudah beres kalau gitu. Soal Bapak sama Bima, nanti kita carikan jalan keluarnya."

Buntu sudah jalan Khaira mencari alasan menentang rencana Omar. Dan ia pikir, semua ini aneh baginya. Sangat asing, di mana selama ini Khaira mempunyai rencana sendiri, tidak ada yang mengatur, tapi mulai hari ini dan selamanya akan ada orang yang mengaturnya, dan baginya seperti masuk penjara yang penuh aturan.

"Tapi saya boleh kerja kan?" Bagi Khaira ini juga paling penting, dengan begitu ia tidak akan sungkan kalau harus memberi bantuan pada keluarganya. Ia tidak mungkin membiarkan Bayu menanggung tanggung jawab keluarga sendirian.

Pria itu mengangguk. "Boleh tapi ada syaratnya. Sama tolong sesekali bantu Ibuk di rumah sebelah. Kasih beliau kadang capek bolak balik ke sebelah."

Rumah sebelah? Memang ada berapa rumah yang dimiliki keluarga Omar? Jujur saja, Khaira belum pernah sekalipun bertandang ke rumah pria itu. Tapi bukankah itu hal wajar karena baru kemarin ia memberi jawaban untuk lamaran Omar.

Seolah tahu yang dipikirkan oleh Khaira, Omar pun menambahkan, "Ibuk ada usaha catering. Dulu Mira istri Bang Ammar yang bantuin tapi pas hamil dan rewel, sama Abang nggak boleh sampai sekarang. Aku kasihan lihat Ibuk, apalagi beliau nggak segesit dulu. Memang ada asistennya tapi Ibuk masih turun tangan juga."

Oh. Khaira pikir ada apa di rumah sebelah yang Omar katakan tadi. "Insyaallah. Terus itu syaratnya apa?" Ia pikir semua harus jelas di awal agar tidak ada perdebatan di belakang.

"Belum kepikiran. Nanti saja."

"Lho kok nanti. Kalau syaratnya ngerugiin saya, ya nggak adil. Saya nggak mau. Sekarang saja disebutkan biar sama-sama adil."

Omar tak peduli dengan protes Khaira. Memangnya kalau tidak mau wanita itu bisa apa? Melawannya? Yang benar saja. "Ya nggak apa-apa. Toh bukan aku yang rugi." Ia pun berdiri dari bangku kayu itu, masuk ke rumah meninggalkan Khaira yang kesal. Satu sama, pikir Omar.

Tbc.

Yang mau baca duluan bisa ke Karyakarsa. Part 44 otw update

Btw, ada yang kangen Ammar Ilmira kek aku nggak sih? 🤣

Stole Your Heart Where stories live. Discover now