LXXII. Sayang

819 68 9
                                    

"Cantik yang ini, Na." Rajendra menyematkan jepitan bunga lotus di sisi kiri kepalaku. Aku menatap pantulan diriku di cermin. Rajendra benar. Cantik yang lotus. Tapi aku ingin kupu-kupu!

"Kupu-kupu terlalu besar. Kesannya kekanakan. Bagus yang itu." Rajendra tetap pada opininya. Aku cemberut. Hari ini kami berencana pergi ke pasar sekitar. Kata Rajendra, sih, sidak. Inspeksi dadakan.

"Lagipula kupu-kupu terlalu mencolok. Kita mau ke pasar, bukan ke pesta," imbuh Rajendra lagi, membuatku mencopot seluruh hiasan yang ada di rambutku dan menggantinya dengan satu jepitan bermotif mawar yang merangkum keseluruhan rambutku. Aku mendengkus kasar.

"Yang menyuruh aku pakai jepit rambut juga siapa, ya?" gumamku. Rajendra hanya tertawa. Kami berencana menyamar pagi ini. Gaun yang tidak terlalu mencolok. Segala atribut kerajaan kami tanggalkan. Bukan menyamar, sih, sebetulnya? Karena dengan baju seperti ini pun, mereka bisa mengenali kami bila sudah tahu wajah kami.

Aku awalnya mengeluh saat Rajendra mengajak berjalan kaki. Ayolah, aku bukan lulusan militer sepertinya yang bisa berjalan kaki ke mana-mana tanpa henti. Aku tetap nona bangsawan yang hanya mengenal kastil dan pesta, berjalan kalau dibutuhkan saja. Tapi Rajendra benar-benar tersenyum puas saat aku akhirnya mengganti sandal tinggiku dengan sepatu tanpa hak.

Aku menggamit lengannya erat saat masuk ke dalam pasar yang begitu ramai. Ada banyak orang berlalu-lalang dengan beragam pakaian. Ada yang memakai pakaian tak jauh beda sepertiku, tandanya mereka bangsawan. Ada juga yang memakai pakaian lusuh yang sepertinya sudah berulangkali dipakai sampai tak layak. Ya ampun, aku merasa seperti masuk ke dunia yang lain.

"Kamu mau beli apa?" Rajendra bertanya tiba-tiba. Aku hanya bingung menatap para penjual satu per satu. Ada yang berdagang di pinggir jalan utama. Ada yang membuka toko juga, kios.

Tatapanku menyapu penjuru pasar. Ada banyak toko, ada banyak penjual. Ada banyak pengunjung juga. Aku tidak menyangka akan menemukan banyak nona dan tuan muda yang berbelanja di sini. Pasalnya selama aku menjadi nona bangsawan, aku sangat jarang pergi ke pasar. Hidupku habis untuk belajar.

Aku melirik tajam saat ada dua nona muda yang lewat lengkap dengan pendamping mereka, tapi masih terang-terangan melirik Rajendra. Aku segera menarik Rajendra berjalan lebih jauh.

"Aku mau mencoba jajanan pasar. Ada?" Aku bertanya serius. Aku jarang sekali ke pasar, sampai sebetulnya aku tidak tahu pasar ada apa saja. Selama aku tinggal di Kastil Agradhipa, orangtuaku selalu mencukupi kebutuhanku dengan sangat baik.

Aku tidak perlu keluar untuk mencari ini-itu. Rajendra membawaku ke dunia yang lain, dunia yang selama ini tidak pernah aku sentuh. Mataku berbinar saat melihat penjual buah. Rajendra tiba-tiba berhenti.

"Mau beli?" tanyanya. Aku mengangguk. Mangga harum manis yang besar-besar dan cantik itu terlihat enak! Belum buah naga, aku suka sekali buah naga.

"Ibu, ini satu kilo berapa keping?" Aku langsung memilih mangga yang cantik dan empuk. Tandanya sudah matang kalau empuk, itu kata ibuku. Sementara aku sibuk memilih mangga, Rajendra mengambil anggur dan menyerahkannya pada ibu penjual.

Mataku berbinar setelah membayar buah-buahan. Menenteng kantung berisi buah segar membuat suasana hatiku bertambah baik.

"Makan, yuk, Kak?" Aku mengelus perutku yang mulai terasa sakit karena belum diisi. Rajendra langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Kamu mau makan apa memangnya?" Rajendra bertanya balik. Aku mengendikkan bahu.

"Entah. Eh, itu sepertinya enak, deh." Aku melihat anak kecil berjalan membawa mangkuk dengan pastry di atasnya. Kalau di duniaku dulu, seperti zuppa sup.

Naladhipa : The Crown Princess Where stories live. Discover now